Minggu, 20 Mei 2007

Al Islam dan Pemberdayaan Manusia

Oleh Ivanovich Agusta
(alumnus SD Al Islam II tahun 1983)

PENDIDIKAN dasar menjadi bermakna ketika membangunkan nilai-nilai untuk menjalani kehidupan di masa dewasa hingga hari tua. SD Al Islam –minimal menurut pengalaman saya—telah memberikan landasan di atas mana kita mengapresiasi jalan hidup masing-masing.
Murid-murid sekolah dasar memang belum mahir untuk mengekspresikan diri melalui kemampuan logika, yang mengemuka dalam bahasa lisan atau tulisan. Sebaliknya, mereka berdialog dengan perasaan-perasaan, kemudian memendamnya dalam-dalam di hati. Perasaan semacam ini –berbeda dari logika—jauh lebih abadi menetap dalam diri kita, serta sulit untuk dihilangkan.
Endapan perasaan tersebut selanjutnya melandasi –baik kita sadari atau tidak— pola bersikap, pola berpikir, dan pola bertindak di kemudian hari. Nilai-nilai yang dibangun pada masa kecil ini membuat kita bisa merasakan dan menentukan suatu kebenaran atau kesalahan, kebaikan atau keburukan, keadilan atau ketidakadilan, dan sebagainya.
Kelak, pada masa lebih lanjut, kita sedikit demi sedikit menyusun argumen logis guna mendukung nilai-nilai yang telah terlebih dahulu kita dirikan. Oleh karenanya logika yang sejati senantiasa selaras dengan fondasi perasaan kita. Kaidah yang terkait ialah, jika terdapat keragu-raguan yang mendalam, hendaklah kita berdialog dengan hati yang terdalam. Sebab di sanalah letak kebenaran bagi diri kita. Dan, kita telah menumbuhkan serta menyuburkannya –terutama—selama di sekolah dasar.
Melalui pendidikan, nilai atau budaya dalam diri kita menjadi tidak netral, tetapi terbentuk selaras dengan isi pengajaran. Di SD Al Islam nilai diarahkan dan disesuaikan dengan religiusitas atau pengalaman keagamaan. Sebab agama Islam diajarkan setiap hari secara formal di dalam kelas maupun secara informal di luar jam pelajaran. Isi pengajaran tidak hanya mengenai ritual agama, melainkan yang terpenting tentang doktrin agama yang bisa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berlangsung melalui penjelasan guru yang bersifat analogis, yaitu berusaha memahami sifat-sifat ketuhanan lewat penilaian tindakan kita sehari-hari. Kalau kita melihat setiap kursi dibuat oleh tukang kayu, maka lewat analogi disimpulkan bahwa ada Tuhan yang Maha Pencipta segala makhluk. Selain itu, guru memberi teladan bagaimana relijiusitas dilaksanakan dalam praksis.
Cara pengajaran semacam ini masih berpengaruh sebagai landasan pola tingkah laku semasa dewasa. Bagi dosen dan ilmuwan, misalnya, dorongan dan tindakan untuk mengabdikan ilmu pengetahuan bagi kemanfaatan masyarakat di lingkungannya menjadi bermakna berdasarkan doktrin agama, bahwa Allah SWT tidak menginginkan orang yang (hanya) berilmu, melainkan ilmuwan yang mengamalkan ilmunya bagi kebaikan masyarakatnya.
Arti terpenting pendidikan dasar di SD, dengan demikian, ialah mengkonstruksi citra dasar atau paradigma tentang Manusia yang sejati (dengan “M” besar) di dalam jiwa tiap murid dan alumninya. Dalam ranah praksis yang berpangkal dari manusia, hal itu berarti memperluas relijiusitas ke setiap dimensi kehidupan sehari-hari, bukan sekedar ritual agama secara sempit. Sedangkan melalui poros Tuhan, endapan pendidikan dasar memungkinkan kita untuk menghargai ide atau ilham dari Tuhan YME dalam mengarahkan dan memberi arti atas tingkah laku kita.
Seandainya di SD terjadi proses pendidikan yang berlawanan, maka para murid dan alumni justru diajar untuk mengasingkan dirinya sendiri, atau teralienasi. Alienasi ini ditunjukkan oleh penisbahan kekurangan manusia kepada sifat-sifat Tuhan, bukannya mengolah diri sampai mampu menaklukkan misteri duniawi. Contohnya, individu tidak berupaya menjadi orang yang adil, tetapi menisbahkan kemahaadilan ke dalam diri Tuhan semata.
Dengan tidak melakukan tindakan bermakna maka manusia tidak menemukan kapasitasnya yang menjadi jatidirinya. Dalam kaitan di atas, itu berarti ia tidak bisa berbuat adil, melainkan sebatas melamunkan keadilan di sisi Tuhan. Ketika tidak melakukan aksi itulah ia terasing dari hakekat dirinya sendiri.
Kembali kepada bagaimana SD Al Islam dijalankan, tampak bahwa pembebasan menuju Manusia seutuhnya muncul melalui praksis pemberdayaan. Manusia yang berdaya melihat kemahaadilan sebagai isi ideologi yang diwujudkannya dalam praktek berbuat adil dan mencipta keadilan sehari-hari. Kemandirian sebagai hasil pemberdayaan diri merupakan kemenangan kita atas belenggu alienasi tersebut. Ketika refleksi keagamaan memiliki kaki aksi massal inilah sifat subversif ajaran agama muncul. Kiranya makin dipahami bahwa makna agama sebagai pemberian yang baik dari Tuhan kepada seluruh manusia dan alam pada hakekatnya diperankan oleh aksi pemberdayaan, yaitu membebaskan manusia dari belenggu kelemahan, penindasan, pemiskinan menuju keberdayaan pribadi dan masyarakat.
Kalau agama bisa menjadi ideologi untuk melakukan praksis pemberdayaan manusia, maka tidak ada gunanya lagi kritik terhadap alienasi yang dilakukan agama. Paradigma ilahiah yang berdimensi filosofis sekaligus praksis inilah yang bisa membentengi kita dari alienasi religius dan ateisme --artinya kehidupan yang hanya punya arti duniawi atau empirisme-- sebaliknya menjadi kekuatan untuk membangun kemandirian masyarakat secara manusiawi dan berarti. Dan SD Al Islam telah memainkan peran pendidikan yang mendasari praksis pemberdayaan di kalangan alumninya.
Jika makna kemanusiaan baru bisa dialami melalui produknya, yaitu sebagai hasil produksi atau kerjanya, maka persoalan pendidikan selanjutnya berkenaan dengan masalah bagaimana menjaga kreativitas di lingkungan sekolah. Kreativitas memberi peluang kepada kita untuk, pertama, menghasilkan sesuatu, yang bermakna mengetahui kapasitas kita sendiri. Kedua, kreativitas juga berpeluang menciptakan produk secara orisinal. Orisinalitas seseorang memunculkan makna kita sebagai pribadi yang berbeda atau memiliki identitas sendiri. Di sini kita terhindar dari jebakan menjadi massa, yaitu segerombolan manusia yang tidak memiliki identitas, yang oleh orang Jawa dengan tepat dinyatakan sebagai tindakan anut grubyuk.
Bahasan kreativitas di dalam sekolah tidak pernah imun dari keadaan di luar sekolah. Di Indonesia, pengaruh terbesar diberikan oleh kinerja pemerintah. Lembaga pendidikan yang sering dikesankan tidak menunjang kreativitas anak didik maupun para gurunya, hendaklah dibaca juga sebagai kekurangan kreativitas di pihak pemerintah.
Namun keadaan kini tengah berubah, dalam arti bisa menuju hal baru atau kembali lagi ke posisi awal. Tugas sejarah kita ialah menjaga dan mengarahkan agar perubahan masyarakat kita menuju keadaan kebebasan berkreasi, atau disebut pula sebagai demokrasi, civil society, masyarakat madani, apresiasi kepada modal sosial, dan semacamnya. Di sinilah, kita harapkan, letak anak cucu kita berkembang menjadi dewasa serta mewujud sebagai manusia sejati. Perjuangan para guru untuk mempertahankan haknya, peningkatan prestasi siswa di tingkat internasional, misalnya dalam olimpiade fisika, matematika, dan sejenisnya, bisa dibaca sebagai upaya menuju kreativitas lembaga pendidikan.
Dalam seluruh bahasan mengenai kreativitas, senantiasa disetujui bahwa hal ini sangat tergantung kepada individunya masing-masing. Dalam tulisan ini, pihak-pihak yang terkait dan harus kreatif ialah murid, guru, pengurus yayasan, juga orang tua murid dan para alumni. Dengan mengacu kepada potensi kreatif semua pihak di sekolah ini, kita hendaknya selalu menciptakan ruang yang luas segera begitu kreativitas muncul di antara pihak-pihak terkait di atas. Ketika seorang dari salah satu pihak tersebut menunjukkan hasil kreativitasnya, tugas pihak-pihak lain selanjutnya ialah bersama-sama membangun ruang yang luas untuk mendukungnya, tidak mencemoohnya, memberinya rangsangan untuk lebih kreatif lagi, menyebarluaskan berita kreatif ini, dan sebagainya.
Di sisi lain, meski kreativitas pertama-tama tergantung di tangan individunya sendiri, namun pihak lainnya bisa menciptakan keadaan atau kondisi yang merangsang kreativitas tersebut. Inti dari penciptaan kondisi ini kiranya ialah demokrasi, partisipasi, dan pemberdayaan semua pihak terkait. Hal ini berarti di dalam kelas diciptakan suasana yang menumbuhkan keingintahuan siswa. Bahwa pengetahuan senantiasa berkembang, sehingga hasil yang diajarkan hanya pasti sejauh belum ditemukan hal-hal yang lebih baru. Bahwa pendidikan kita, guru kita, buku kita, teman kita, pendeknya seluruh unsur lingkungan kita, akan membentuk nilai kita dalam memandang dunia di sekitar kita. Dan nilai ini akan senantiasa mempengaruhi pola sikap, pola pikir, dan pola tindakan kita. Bahwa pada akhirnya hasil pendidikan tergantung kepada tingkah laku kita sendiri --inti kreativitas-- dan bukan oleh orang lain --yang paling jauh hanya berperan sebagai penunjang pencipta kondisi bagi energi kreatif.
Dua sisi kreativitas di atas, yaitu sebagai energi orisinal tiap individu dan kebutuhan kondisi yang kondusif tersebut, memiliki dua tipe konsekuensi. Sebagai konsekuensi sisi pertama, maka tiap individu harus dihargai secara manusiawi. Dengan sendirinya tersingkir anggapan negatif bahwa manusia itu bodoh, nakal, licik, dan lain-lain. Sedangkan konsekuensi sisi kedua ialah, sekolah berpeluang menjadi wahana tempat individu senantiasa dirangsang untuk kreatif --yaitu menuju kemanusiaannya sendiri. Dengan demikian kemiskinan, kekurangan gizi, lingkungan kumuh, yang kerap menghinggapi (sebagian) pihak di almamater kita menjadi tantangan --dan berpeluang dikalahkan-- untuk ditanggulangi dengan penciptaan kondisi-kondisi yang kondusif bagi munculnya kreativitas. Tugas ini secara langsung diletakkan di atas pundak guru dan pengurus yayasan pendidikan ini. Tetapi pihak lainnya --murid, orang tua murid, dan alumni-- juga bisa berpartisipasi secara tidak langsung. Yaitu dengan menciptakan kondisi demokratis, partisipatif, dan memberdayakan di lingkungan keluarga. Para murid juga memegang kendalinya sendiri dalam rangka memilih teman sepermainannya. Para alumni senantiasa menjaga kontak untuk kritikan yang membangun sekaligus memberi bantuan semampunya.
Pada Al Islam kita letakkan harapan pendidikan yang manusiawi dan bermutu ini. Kita yakin Al Islam berpeluang untuk mampu menciptakan cita-cita luhur tersebut. Walaupun kita tidak pernah bisa melihat masa depan kita sendiri, peluang ini tetap bisa kita harapkan berdasarkan pengalaman Al Islam yang panjang, yang telah menorehkan garis-garis emas prestasi sekolah, murid, guru, dan pengurus yayasan. Dalam masyarakat kita, siapa orang tua murid dan alumni-alumninya juga menjadi tolok prestasi sekolah; dan Al Islam pun menorehkannya dengan tinta emas.
Kita juga melihat di masa depan struktur masyarakat sedikit atau banyak akan mendekati ciri-ciri demokratis. Kondisi luar sekolah ini kita harapkan menjadi pupuk penyubur pendidikan sejati di dalam Al Islam. Kita yakin bahwa ada energi kreatif yang tersimpan di Al Islam --lagipula telah terbukti nyata selama ini-- dan kondisi kemasyarakatan yang demokratis kita yakini akan menjadi rumah yang ramah bagi Al Islam untuk menyalurkan potensi kreatifnya secara lebih meningkat lagi.
Selamat ulang tahun kepada Al Islam. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan keselamatan, berkah, dan kekuatannya kepada almamater tercinta.