Minggu, 20 Mei 2007

Mengapa Sajogyo: Aksiologi Pendidikan, Penelitian, Pengabdian Masyarakat Desa (Sajogyo: Axiology on Rural Education, Research and Empowerment)

Oleh Ivanovich Agusta

Aksiologi Pemihakan Lapisan Bawah

Di samping alasan keilmuan yang tinggi dan kemampuan meneliti masyarakat desa, banyak pihak memposisikan Prof. Dr. Sajogyo menjadi patokan nilai-nilai kehidupan yang luhur. Dalam ungkapan bahasa sehari-hari, seorang muda memilihnya untuk memenuhi kebutuhan generasi muda akan panutan. Seorang ilmuwan (Wiradi, 1996) juga menuliskan, komunitas ilmiah membutuhkan ilmuwan yang berkarakter.
Pilihan aksiologis tersebut tidak boleh dibiarkan mengambang, melainkan perlu didaratkan pada serangkaian argumen etis. Dibutuhkan penjelasan yang mendalam untuk mempertanggungjawabkan pilihan yang didasarkan contoh sikap Dr. Sajogyo, sebagai suatu pilihan yang menumbuhkan etos bertindak luhur.
Argumen etis atau kategoris harus disampaikan, karena, memakai bahasa David Hume (Scruton, 1986), kalimat deskriptif hasil penelitian sosiologi sekalipun tidak masuk akal untuk diubah menjadi kalimat normatif atau posisi etis. Tidak bisa menarik kesimpulan dari kalimat berita untuk menjadi kalimat perintah. Oleh karena itu akal tidak bisa digunakan sebagai ukuran bagi cara untuk seharusnya bertindak. Bertindak secara bertanggung jawab bukan berarti menguatkan akal, melainkan memperdalam perasaan demi kesejahteraan orang lain.
Dalam konteks pembicaraan di sini, ilmu sosiologi pedesaan menyelesaikan tugasnya dengan mendeskripsikan pola tindakan warga desa dan pihak lain yang berkaitan dengannya. Langkah berikutnya menjadi tugas perasaan atau etika untuk menentukan makna maupun kegunaan informasi sosiologi pedesaan itu bagi pihak lain: lapisan bawah, lapisan atas, orang kota, pemerintah, atau lainnya.
Dalam wilayah inilah Dr. Sajogyo mengulurkan suluhnya. Dalam terang sikap atau karakternya inilah kolega-kolega menemukan etos untuk mendidik, etos meneliti, dan etos memberdayakan masyarakat. Trilogi dimensi etos tersebut sejajar tridharma perguruan tinggi, yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Ini bukanlah trilogi kognitif, melainkan trilogi etis yang benar-benar bisa dipraktekkan, sebagaimana direfleksikan sebagai pengalaman hidup Dr. Sajogyo (2004).
Dirumuskan dari tulisan-tulisannya sendiri (Sajogyo, 1977; Tjondronegoro, 1996), Dr. Sajogyo mengetengahkan posisi aksiologis untuk berpihak kepada lapisan bawah. Dan ia bergeming pada posisi itu (Sajogyo, 2004).

Pendidikan untuk Lapisan Bawah

Aksiologi pemihakan kepada lapisan bawah memberikan terang akan ilmu pengetahuan yang selalu bisa dipraktekkan di tengah masyarakat. Praktek dari ilmu tersebut diarahkan kepada pemecahan masalah. Orientasi kepada pemecahan masalah dapat dipautkan dengan pembelajaran seumur hidup. Dalam proses berkelanjutan ini, pendidik juga belajar dari peserta didik atau murid. Dalam konteks yang diperluas, pendidik selayaknya juga belajar dari lapisan terbawah di pedesaan.
Penting pula dicatat bahwa perumusan masalah sendiri menjadi areal etis. Oleh karenanya rumusan masalah dalam sosiologi pedesaan sebaiknya berkisar pada sejauhmana upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan terbawah di pedesaan, atau di perkotaan (migran dari desa).
Pola pemecahan masalah masyarakat tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk penyuluhan, atau kini boleh dinamakan juga pendampingan. Sehubungan dengan upaya meningkatkan dimensi partisipatif lapisan bawah, maka pendidikan yang cocok dengan aksiologi “berpihak kepada lapisan terbawah” lebih tepat berwujud pendidikan untuk orang dewasa. Seluruh partisipan dalam proses belajar atau mengajar itu berkedudukan setara. Semua tidak berangkat dari pengetahuan kosong, melainkan saling mendiskusikan pola pandang yang berbeda sesuai dengan akumulasi pengetahuan yang sudah pada masing-masing pihak.
Dalam bahasa Dr. Sajogyo (2004), pendidikan sosiologi pedesaan dirumuskan sebagai
..... hubungan antara kerja “penyuluhan yang menyertakan peranan masyarakat (tani dan desa)” dan dilain pihak pilihan “corak sosiologi dan lain cabang ilmu sosial” yang lebih sesuai keperluan pembangunan yang lebih demokratis, dalam kerjasama dan saling menghargai antara sejumlah pelaku (“stakeholders”) pembangunan, terutama (dimulai dari) masyarakat lokal.

Penelitian untuk Lapisan Bawah

Aksiologi pemihakan kepada lapisan bawah lebih tepat dipraktekkan dalam ranah metodologi partisipatif. Pengikat dari beragam paradigma partisipatif ialah epistemologi pragmatisme. Di sini kebenaran diuji melalui kesepakatan oleh semua pihak yang terlibat. Semakin banyak yang menyetujuinya maka kebenaran dari hasil kegiatan penelitian tersebut juga meningkat. Jika dibandingkan dengan metodologi lain yang bercirikan epistemologi korespondensi dan koherensi, dengan segera paradigma partisipatif ini dikenali dari ciri kepraktisan penggunaannya untuk mengembangkan masyarakat. Peneliti (seringkali lebih tepat dimaknai sebagai pendamping) bekerja bersama masyarakat lokal untuk mengenali dunianya sendiri, mendefinisikan dunia tersebut, kemudian meletakkan suatu tujuan ke depan yang akan dicapai bersama (Heron, 1996). Paradigma metodologi positivisme dan pasca positivisme tidak memberikan ruang partisipasi bagi responden secara politis (turut berpikir dan menentukan desain penelitian) dan bagi peneliti secara epistemis (melakukan aksi dalam proses penelitian). Berlainan dengan hal itu, paradigma metodologi partisipatif memberikan ruang secara parsial maupun penuh bagi responden (ko-peneliti) secara politis dan peneliti secara epistemis. Sementara itu, paradigma kualitatif lainnya dicirikan oleh partisipasi parsial pada responden untuk menentukan desain penelitian dan partisipasi parsial peneliti dalam aksi. Paradigma partisipatif sendiri bercirikan partisipasi penuh informan (bersama peneliti) dalam merumuskan desain penelitian, sekaligus partisipasi penuh peneliti (bersama informan) dalam aksi-aksi sebagai konsekuensi penelitian.
Dr. Sajogyo mengambil eksemplar Siregar (2001) dalam membumikan metode partisiaptif di bumi Indonesia. Terdapat perbedaan antara posisi Orang Luar (OL, peneliti) dan Orang Dalam (OD, masyarakat). Keduanya harus berinteraksi, agar menghasilkan kesepakatan tentang pengetahuan yang bermanfaat bagi semua pihak. Peneliti juga perlu mengatasi tradisi Barat yang membedakan teori dari praktek.
Jamak dilakukan dalam paradigma partisipatif untuk menggunakan beragam metode, karena kebutuhan untuk mengevaluasi realitas masyarakat yang kompleks. Hasil dari analisis eklektik ini tetaplah menunjukkan pembedaan pengetahuan (yang sebenarnya merupakan pengetahuan berbasis perbedaan pengalaman), antara Orang Luar (OL) dan Orang Dalam (OD).
Oleh karena epistemologi pragmatis tersebut hanya mungkin berjalan melalui interaksi dan kesepakatan bersama di antara semua pihak (peneliti, informan, dan pihak lain) yang terlibat dalam penelitian, teori yang akan dibangun perlu diletakkan atau dilegitimasi ke dalam definisi ilmu pengetahuan dan teori berbasis kesepakatan bersama pula.

Pemberdayaan Masyarakat Lapisan Bawah

Dasar konseptual pemberdayaan (empowerment) ialah kekuasaan (power). Akan tetapi konsep kekuasaan yang dianut tidaklah dalam pengertian tunggal selama ini, bahwa kekuasaan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi atau memaksa pihak lain yang berkedudukan lebih rendah, agar bertingkah laku sesuai dengan keinginan pihak yang lebih tinggi. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat, konsep kekuasaan klasik ini kini lebih tepat dibaca sebagai dominasi, yaitu suatu kekuasaan yang meliputi (power over) pihak lain, sehingga biasa digunakan sebagai alat strategis untuk mencapai tujuan (Stewart, 2001). Strategi utama yang dilakukan ialah dengan memobilisasi sumberdaya dari pihak yang dikuasai menuju kepada pihak yang menguasai.
Adapun konsep kekuasaan yang lebih tepat digunakan dalam program pembangunan masa kini merupakan kebalikan dari dominasi, yaitu pemberdayaan (empowerment). Dalam domain kekuasaan, pemberdayaan dimaknai sebagai kekuasaan yang digunakan terhadap orang atau pihak lain (power to) sehingga lapisan yang terbawah sekalipun dapat membuka peluang bagi kemandirian dirinya sendiri.
Arti baru terhadap kekuasaan ini tertuju kepada kekuatannya untuk meningkatkan solidaritas di antara warga. Solidaritas tersebut dapat bersifat struktural. Mungkin dalam konteks demikian akan muncul semacam revolusi, atau minimal perubahan institusi yang radikal (Althusser, 2004). Institusi tersebut akan mengembalikan alokasi sumberdaya secara adil kepada tiap pihak dalam suatu negara.
Solidaritas juga bisa dibentuk melalui dialog-dialog yang setara antar pihak (Habermas, 1989). Di sini diciptakan ruang publik yang bebas dari penindasan. Aturan-aturan kelembagaan yang hierarkis dan kaku di tingkat lebih tinggi, pada arena dialogis ini dilupakan. Selanjutnya tiap pihak berkomunikasi dua arah pada tataran yang sama.
Pembagian komponen sosial atas sektor negara (public), masyarakat (civil society) dan swasta (private) relevan, disebabkan beragam paradigma pemberdayaan masyarakat yang saat ini beradu, ternyata merupakan kaki dari ketiga sektor di atas. Pemberdayaan yang bersifat desentralistis atau sebaliknya kompromistis terhadap kekuasaan merupakan kaki dari negara. Pemberdayaan yang menekankan sifat persaingan antar aktor menjadi perpanjangan kaki swasta. Adapun pemberdayaan sebagai perubahan struktural beranjak dari kaki lapisan bawah.
Justru dengan menyadari perbedaan posisi dan kekuatan di antara ketiga sektor tersebut, maka diajukan alternatif pembacaan atas hubungan di antara sektor negara, swasta dan masyarakat. Solidaritas sosial merupakan bahasa ciptaan Dr. Sajogyo, dalam kerangka menghubungkan dan mengikat ketiga sektor tersebut. Justru karena menyadari ketidaksamaan sosial di antara ketiga sektor tersebut, maka yang dibutuhkan ialah suatu upaya sosial untuk saling mendudukkan diri sejajar dengan yang lain. Upaya sosial ini dapat dinyatakan sebagai reformasi dari konsep rekayasa sosial. Adapun jalan reformasi konsep tersebut ialah melalui dialog (Habermas, 1989).

Pilihan Kolaborasi

Implikasi lebih jauh dari posisi etis “berpihak kepada lapisan terbawah” ialah memilih pola sikap, pikir dan tindak yang bersifat kolaboratif. Sebetulnya ini adalah pilihan realistis bagi penganut ontologi realisme. Ada suatu kebenaran obyektif yang bisa dituju oleh semua pihak bersama-sama. Kebenaran obyektif itu ialah peningkatan posisi lapisan bawah. Upaya untuk mencapai tujuan tersebut bisa berupa negosiasi secara damai, bukannya konflik yang memanas. Untuk mendukungnya, kebenaran obyektif (etika untuk meningkatkan martabat lapisan bawah) menjadi bahasa bersama yang bisa mengikat kolaborasi tersebut.
Dalam aspek pendidikan, kolaborasi mewujud ke dalam bentuk ilmu sosiologi pedesaan yang bersifat “hibrida” (atau “lintas batas”) (Sajogyo, 1996). Beragam ilmu melihat realitas yang kompleks pada masyarakat desa, sehingga akhirnya ditemukan jaringan pengetahuan yang sistematis tentang masyarakat desa.
Di bidang penelitian, kolaborasi tepat merujuk kepada prinsip triangulasi, baik berupa triangulasi teori maupun metode. Namun yang lebih penting ialah triangulasi peneliti, yang berarti adalah kolaborasi antar peneliti yang berbeda keahlian atau berbeda fokus kajian. Lebih jauh lagi, manakala istilah responden atau informan sudah melebur bersama peneliti, sehingga seluruhnya berperan sebagai co-peneliti, maka triangulasi akan muncul antara peneliti dan tineliti!
Untuk pemberdayaan masyarakat, kolaborasi merujuk kepada solidaritas sosial, baik solidaritas antar pihak yang setara, maupun antar pihak yang berlainan posisi sosial. Pada tingkat yang lebih jauh, bahkan solidaritas sosial ini dapat dimaknai sebagai matra keempat dari resep pembangunan desa, sebagai usulan Dr. Sajogyo. Keseluruhannya menjadi pertumbuhan, pemerataan, stabilitas, lalu solidaritas sosial.


Daftar Pustaka

Althusser, L, 2004, Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Terjemahan dari Essays on Ideology. Yogyakarta: Jalasutra.
Habermas, J,1989. Theory of Communicative Action Vol. 2. Terjemahan dari Theories des kommunikativen Handaelns Band 2. Boston: Beacon Pr.
Sajogyo, 2004, Refleksi Sajogyo: Dari Praktek ke Teori dan ke Praktek yang Berteori. Makalah tidak dipublikasikan.
Sajogyo, 1996, Kata Pengantar, in Sajogyo, et.al.Panen 20th Ringkasan Tesis dan Disertasi 1975-1994 Studi Sosiologi Pedesaan Program Pacasarjana IPB. Jakarta: Puspa Swara
Sajogyo, 1977, Golongan Miskin dan Partisipasinya dalam Pembangunan Desa. In: Prisma Th. 6 No. 3.
Siregar, BB, 2001, Menelusuri Jejak Ketertinggalan: Merajut Kerukunan Melintasi Krisis. Bogor: Pusat P3R-YAE
Scruton, R, 1986, Sejarah Singkat Filsafat Modern: Dari Descartes sampai Wittgenstein. Terjemahan: From Descartes to Wittgenstein. Jakarta: Pantja Simpati.
Stewart, A, 2001, Theories of Power and Domination: ThePolitics of Empowerment in Late Modernity, London: SAGE
Tjondronegoro, SMP, 1996, Dinamika Golongan Lemah Pedesaan: Refleksi atas Karyatulis dan Pemikiran Dr. Sajogyo. In: MTF Sitorus, A Supriono, T Sumarti, Gunardi, eds.Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia: Prof. Dr. Sajogyo 70 Tahun. Jakarta: Grasindo.
Wiradi, G, 1996, Aspek Metodologi dalam Pengembaraan Ilmiah Prof. Dr. Ir. Sajogyo. In: MTF Sitorus, A Supriono, T Sumarti, Gunardi, eds.Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia: Prof. Dr. Sajogyo 70 Tahun. Jakarta: Grasindo.