Minggu, 20 Mei 2007

Ruang Publik dalam Republik (Public Sphere in the Republic of Indonesia)

Oleh Ivanovich Agusta

Rangkuman Bahan
Bahan yang akan didiskusikan di sini ialah hasil studi kasus forum warga tingkat kecamatan di Majalaya, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat. Forum Masyarakat Majalaya Sejahtera (FM2S) lahir dari keinginan sejumlah pihak, yaitu akademisi, Pemda dan tokoh masyarakat Majalaya. Forum komunikasi ini juga hendak dijadikan mekanisme perencanaan pembangunan dari bawah, berupa dialog yang adil antara warga desa, perencana dan penguasa daerah.
Sejumlah isu kongkrit sempat menjadi kejadian-kejadian kasus. Isu kerusakan sebagian jalan di kecamatan tersebut direspons dengan memobilisasi dana dari sejumlah pengusaha, selanjutnya digunakan untuk memperbaiki jalan.
Isu lainnya berpihal pemindahan pasar dan penanganan pedagang kaki lima (PKL). Sekalipun belum menghasilkan pemecahan yang tuntas, kini telah ada komisi dan perwakilan PKL dalam FM2S dan pengorganisasian pedagang pasar.
Isu ketidakcermatan dalam penyusunan Rencana Detil Tata Ruang Kota (RDTRK) direspons dengan protes dan advokasi, serta revisi RDTRK.
Dari kajian ketiga kejadian di atas, terlihat bahwa kepentingan lapisan bawah tidak diperhatikan. Pengaturan PKL dimaksudkan untuk mengatasi kemacetan dan kesemrawutan kota. Sayang kedua masalah ini tidak menjadi persoalan PKL, bahkan lokasi perdagangan pada saat ini dipandag strategis. Justru pemindahan lokasi itulah yang menjadi persoalan PKL. Dalam dinamika konflik selanjutnya, pengurus yang terpilih ke dalam FM2S tidak berasal dari PKL. Program pendaftaran PKL dan penerbitan kartu anggota serta iuran lainnya, bahkan menjadi beban bagi PKL sendiri. Adapun pengorganisasian PKL di dalam pasar menghasilkan organisasi simpan pinjam. Sayang tanpa keterbukaan pengelolaan, banyak PKL tidak mempercayainya kembali.
Di sini kendala yang muncul ialah seleksi untuk masuk ke dalam kepengurusan FM2S, di mana warga biasa tidak bisa memasukinya. Hanya tokoh masyarakat yang dipilih dalam forum ini. Warga biasa sulit mengekspresikan kebutuhannya, mempertahankan argumentasinya dalam forum, dan duduk sejajar dengan tokoh-tokoh di wilayahnya.
Dua pelajaran yang bisa diambil ialah, pertama, seringkali partisipasi mula-mula berasal dari inisiatif pihak luar. Untuk mengefektifkan upaya ini, aktivitas tersebut perlu disesuaikan dengan cara hidup dan kapasitas warga miskin yang ada. Kedua, proses partisipasi seringkali menjadi suatu proses politik. Di sini warga miskin –sebagaimana pihak lain sudah mempraktekkannya—perlu mengetahui strategi untuk menggunakan sumberdaya yang mereka miliki dalam rangka mempertahankan kepentingannya.
Pembahasan
Sebagimana proses falsifikasi, apakah dengan kegagalan praktek pembangunan partisipasi –sebagaimana ditunjukkan di atas—maka pondamen partisipasi sesungguhnya lemah? Studi kasus di atas segera mengingatkan kita akan perlunya penyusunan asumsi awal dalam proses partisipasi. Asumsi tersebut meliputi:
1. pandangan bahwa masyarakat atau rakyat memiliki pengetahuan dan kearifan yang memadai untuk menjalankan pembangunan. Pola memandang tokoh masyarakat sebagai pihak yang lebih mengetahui dan lebih bijaksana kiranya sulit diterima. Barangkali alternatifnya ialah memandang adanya local genius atau orang ahli dalam kalangan warga miskin sendiri.
2. kesinambungan kegiatan membutuhkan sebanyak dan sedalam mungkin penggunaan sumberdaya lokal maupun lokalitas lainnya. Pada taraf selanjutnya akan dibutuhkan pegangan yang lebih kuat perihal tataran lokalitas yang dibutuhkan, atau pada tingkat kelompok, atau komunitas, atau organisasi.
3. selain asumsi lokalitas, muncul pula asumsi jaringan ke dalam maupun ke luar lokalitas tersebut untuk menjaga dan mengembangkan partisipasi yang telah ada.
Kiranya buku di atas telah menjelaskan secara faktual dan konseptual perihal masuknya pihak luar ke dalam kelompok dan masyarakat kecamatan. Dalam khasanah asumsi di atas, jelaslah bahwa konteks buku tersebut lebih merujuk kepada kegiatan asumsi ketika. Di mana pihak luar hendak masuk dan menjadi salah satu simpul jaringan.
Kebutuhan akan pihak luar untuk partisipasi pihak dalam sudah lama dijelaskan, dan memang mampu mengubah pola otoritarian lokal menjadi pola organisasi partisipatif. Yang perlu diwujudkan ialah menghindarkan pihak luar ini berperan berbeda dari (istilah di dalam buku tersebut) cara dan kapasitas orang miskin. Sehingga dari dalam penduduk miskin sendiri muncul penolakan (“antibodi”).
Para penulis buku itu merujuk kepada jalan politis atau kekuasaan sebagai upaya pemberdayaan penduduk miskin. Dalam konteks pemberdayaan, jalan kekuasaan tidak sekedar mengandaikan perebutan kuasa (dalam pengambilan keputusan), melainkan juga menghasilkan alternatif lain berupa melarutnya posisi dengan pihak penguasa (penindas?).
Sebetulnya secara struktural, jalan politik ini membutuhkan kerja yang pasti: untuk mendudukkan warga miskin sendiri ke dalam organisasi strategis dan operasional dalam pengambilan keputusan. Organisasi strategis perlu diisi dengan kebijaksanaan dari penduduk miskin sendiri, sementara organisasi operasional diperlukan untuk mengalokasikan sumberdaya penduduk miskin bagi dirinya sendiri.
Segera terlihat bahwa jalan politik perlu diikuti atau disertai jalan kultural, terutama kultural kritis. Di sini diperlukan kontra hegemoni dengan argumen yang terstruktur, sehingga penduduk miskin mampu berargumen kepada pihak lapisan lebih tinggi. Kontra hegemoni sebagai diskursus alternatif juga perlu ditumbuhkan untuk meningkatkan kekuatan psikologis dan menghilangkan rasa rendah diri (yang sebetulnya merupakan alienasi kultural). Dengan demikian asumsi pertama –mempersamakan posisi struktural dan kultural pihak miskin dan lapisan atas—turut terpenuhi pula.