Minggu, 20 Mei 2007

Negara Maut

Oleh Ivanovich Agusta

Tersembul kesejajaran maut di IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri), dan Lapas Pemuda Tangerang. Daftar ringkas ini ternyata memiliki ekor mengerikan yang panjang, sebut saja maut yang menghampiri Munir, petani di lingkungan proyek bendungan, maupun mahasiswa demonstran.
Memelihara maut di tubuh negara bukanlah kehidupan normal. Baik berupa pencabutan nyawa lebih dari sekali setiap tahun di IPDN, atau belasan nyawa beberapa bulan terakhir dalam kerangkeng Lapas Pemuda.
Tindakan mengerikan tersebut berlangsung dalam lembaga negara. Dan usai maut menghampiri, serentak hampir seluruh komponen resmi negara menyembunyikannya rapat-rapat, sembari galak menggeram pihak lain kala hendak membongkarnya.
Lebih mencekam lagi hubungan maut antar lembaga negara tersebut. Peregangan nyawa sudah menyertai calon pegawai negara sejak masa ”pendidikan” (benarkah itu pendidikan dan pencipta soft power ?). Kasus Munir, petani dan mahasiswa menitiskan kelanjutan urusan maut rakyat di tangan pegawai negara resmi. Akhirnya, tubuh rakyat terbui pun masih dipermainkan maut.
Kini hubungan rakyat dan negara bukan sekedar ”melapor kambing malah kehilangan sapi”, atau selalu merugi diburu rente negara atas nama pembangunan. Melainkan sampai pada titik ”berhubungan dengan negara berarti berhubungan dengan maut”.
Selalu ada perlawanan terhadap maut negara, dan itu selalu dihargai. Inu, Munir, petani dan mahasiswa gagah berani membeberkan organisasi maut di sekitar kita. Kepala Lapas dimuat telah mengingatkan atasannya perihal maut di kerangkeng.
Bahwa maut tetap berkeliaran, bahkan cenderung ”menetap” jika menggunakan rumus statistika kematian siswa di IPDN sejak 1990-an dan kematian narapidana Lapas Pemuda sejak setengah tahun terakhir. Ini menunjukkan perlawanan terhadap maut negara perlu digulirkan lebih kuat dan membesar!
Politik terhadap mayat (bukan sekedar tubuh!) selalu membutuhkan solidaritas dari tubuh-tubuh lainnya. Siswa dan narapidana yang tewas tidak dapat membela dirinya sendiri, meskipun merekalah yang sebetulnya paling berhak membela diri. Maka solidaritas kitalah, tubuh-tubuh yang masih hidup ini, guna menyadarkan negara maut.
Membekukan Lembaga Negara
Diskusi pro-kontra bertopik hukuman mati dalam ruang publik beberapa minggu lalu tiada arti. Ternyata kita bukan memelihara hukuman mati, melainkan membesarkan dementor pencabut nyawa.
Sebenarnya tentang penjara terdapat nilai mulia, ”lebih baik salah melepas penjahat, daripada salah memenjarakan orang yang benar”. Kematian narapidana berada jauh dari tolok ukur kemanusiaan tersebut. Tidak sekedar menjajarkan narapidana tidur selayaknya pindang, bahkan bertumpuk (dalam selendang sarung tergantung), lalu maut menyebar lewat penyakit dan perkelahian dalam lembaga negara.
Nurani dan akal dalam lembaga pendidikan mestinya lebih kental, karena lembaga ini menempati ranah budaya. Dengan mengedepankan otot di IPDN, maka titik pijak pendidikan itu masih berada jauh di depan.
Memprihatinkan, bahwa selain tiada mampu menguatkan ekonomi, kini negara pun tidak bisa mengelola ”pendidikan” calon pegawainya hingga penghuni bui. Secara kuantitatif negara tidak mampu menyediakan lokasi penjara. Secara kualitatif negara gagal mengelola dosen dan mahasiswa calon pengganti pemerintah, tenaga medis dan sipir penjara.
Semestinya negara mengelola dalam ranah kapasitasnya sendiri. Jika tidak mampu memenjarakan banyak rakyat, janganlah menangkapi lebih banyak lagi. Jika kesulitan mengajar akal dan nurani kepada calon pegawai negara, janganlah membuka pendaftaran lagi.
Tahap dini sebelum memperbaiki lembaga negara ialah membekukan dulu institusi penyebar maut. IPDN dibekukan, lalu mahasiswanya dialihkan ke perguruan tinggi lain (minimal yang tidak tersohor sebagai sarang tawuran mahasiswa). Kekurangan kuantitas perlu diatasi dengan pembangunan gedung penjara. Jika mahasiswa IPDN dialihkan ke kampus lain, bisakah sebagian narapidana dipindahkan ke bekas kampus IPDN? Daripada mereka menghuni hingga ke gudang penjara, yang sama-sama tidak berterali besi, kecuali gerendel.

Ekonomi, Sosial, Polisi
Penyelesaian yang sempurna ialah meningkatkan derajat ekonomi sembari menjaga solidaritas sosial gunan mengkonstruksi komunitas Indonesia bersama. Seharusnya inilah isi soft power (harus diindonesiakan!).
Untuk meningkatkan peradaban, maut di tengah rakyat sebaiknya ditangani hanya oleh polisi! Pemusatan pengelolaan diharapkan mampu melucuti maut di tengah kerusuhan rakyat atau aksi militerisme. Posisi polisi juga kian menguat guna menyingkirkan maut. Seharusnya kita bersama-sama menjerit kala polisi dihalang-halangi membongkar kasus pembunuhan, baik dihalang-halangi siswa IPDN, sipir penjara atau TNI.
Memang muncul kasus penembakan ngawur oleh polisi. Tapi dengan memusatkan urusan kekerasan di dalam negara hanya oleh polisi, maka klaim untuk mempertanggungjawabkannya lebih terfokus hanya bagi polisi. Daripada hingga kini hanya ditemukan korban tanpa pelaku pembunuhan, lebih baik menyempitkan urusan maut di tangan polisi.
Seandainya manajemen maut ini berjalan, maka kala maut muncul dari lembaga negara, kita cukup mencari pelakunya di tengah kepolisian. Bukan lagi rimba raya dari Sabang sampai Merauke.