Senin, 04 Agustus 2008

Perumusan Desa Tertinggal yang Berpusat pada Potensi Masyarakat dan Wilayah (Under-developed Villages Criterion Based on People and Regional Potencial

Oleh Ivanovich Agusta[1]

Abstract

Construction on under-developed villages in Indonesia is always political. I constructed about 12,000 in 2005, but in 2006 Government of Indonesia counted 30,000 based on other criterion. We should not interpret the increasing numbers as development fault, but rather moral hazard sign to get more development budget.

Ensuring development based on people’s demand needs under-developed villages criterion based on the people and regional potencials. Items include community development, good governance, and sustainable development. Using Potensi Desa 2006 database, I found about 10,500 under-developed villages in Indonesia now.

Keywords: villages potencials, community development, good governance, sustainable development

Abstrak

Perumusan desa tertinggal selalu bersifat politis. Setelah saya merumuskan sejumlah 12.000 desa tertinggal se-Indonesia pada tahun 2005 untuk ditangani pemerintah, pada tahun berikutnya pemerintah menggunakan rumusan lain sehingga jumlahnya melonjak di atas 30.000 desa. Ini tidak sepenuhnya menunjukkan kegagalan pembangunan, melainkan upaya perolehan dana pembangunan lebih banyak.

Untuk memastikan agar lebih sesuai dengan kebutuhan warga desa sendiri, maka dibutuhkan perumusan desa tertinggal yang berpusat pada potensi rakyat dan wilayah. Aspek-aspek pendukung mencakup pengembangan masyarakat, tata pemerintahan, dan keberlanjutan pembangunan. Dengan menurunkan variabel-variabel ini ke dalam data Potensi Desa 2006, maka diperoleh sejumlah 10.500 desa tertinggal di Indonesia masa kini.

Kata kunci: potensi desa, pengembangan masyarakat, pembangunan yang berkelanjutan, tata pemerintahan

PARADIGMA PEMBANGUNAN BERPUSAT PADA MANUSIA

Perumusan desa tertinggal selalu bersifat politis. Setelah saya merumuskan sejumlah 12.000 desa tertinggal se-Indonesia pada tahun 2005 untuk ditangani pemerintah (Agusta, 2005), pada tahun berikutnya pemerintah menggunakan rumusan lain sehingga jumlahnya melonjak di atas 30.000 desa. Ini tidak sepenuhnya menunjukkan kegagalan pembangunan, melainkan upaya perolehan dana pembangunan lebih banyak.Untuk memastikan agar lebih sesuai dengan kebutuhan warga desa sendiri, maka dibutuhkan perumusan desa tertinggal yang berpusat pada potensi rakyat dan wilayah.

Dalam hubungannya dengan pemberdayaan, terutama kepada masyarakat atau rakyat, namun juga bagi pemerintah pusat dan daerah, serta swasta nasional dan lokal, kebijakan pembangunan wilayah (regional policy) acap kali menghasilkan permasalahan dalam bentuk marjinalisasi penduduk miskin dan lapisan bawah lainnya. Pembangunan wilayah menjadi legitimasi bagi pertumbuhan ekonomi, namun bersamaan dengan pembagian wilayah tersebut tidak terdapat ruang bagi penduduk miskin atau lapisan bawah. Susunan ruang hanya diperuntukkan bagi pertumbuhan ekonomi menengah dan besar. Kalaupuan terdapat pembahasan tentang penduduk miskin dan lapisan terbawah, hal itu dikaitkan dengan tetesan ke bawah (trickle down effect) yang dipandang akan muncul dengan sendirinya.

Oleh sebab itu, upaya pemberdayaan dalam regionalisasi kawasan tertuju kepada penyusunan ruang bagi kelompok miskin dan lapisan bawah lain. Dalam konteks pembangunan regional, maka ciri kerkaitan antar wilayah tetap perlu dipikirkan dalam proses penyusunan ruang bagi lapisan bawah tersebut. Dengan kata lain, pemberdayaan dalam pembangunan wilayah mencakup upaya pengembangan wilayah yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi lapisan bawah, disertai upaya pengembangan keterkaitan antar wilayah untuk mendukung tujuan ini.

Pembangunan hendak dimaknai dan diarahkan untuk tetap menciptakan peluang kebersamaan antar lapisan masyarakat dalam menjalani pembangunan, serta memastikan keuntungan bagi lapisan terbawah di pedesaan, secara relatif dari lapisan-lapisan yang lebih tinggi. Pemikiran untuk menggeser lapisan bawah yang di belakang ke depan sejalan dengan pemikiran Chambers (1987), putting the last first. Begitu pula menggeser peran para penguasa dan lapisan atas ke belakang (putting the first last) ala Chambers (1993), yang diadaptasi menjadi tut wuri handayani itu.

Jika dirunut lebih jauh, posisi semacam ini mulai muncul persis setelah Indonesia merdeka, yaitu menggantikan orientasi kepada elite dan kepentingan kolonialisme menuju kemanfaatan bagi lapisan bawah. Selanjutnya kesenjangan antar lapisan masyarakat hendak diatasi melalui konstruksi peluang yang sejajar antara warga desa dan kota, serta antara lapisan bawah dan atas (Sajogyo, 2006). Inilah makna demokrasi.

Paradigma pembangunan alternatif sendiri menyodorkan pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan pemerataan hasil-hasil ekonomi tersebut. Usaha ekonomi kecil dan mikro, sektor informal, maupun pola nafkah alternatif lainnya diapresiasi. Adapun pembangunankelembagaan baru diarahkan untuk menguatkan lapisan bawah, tidak hanya buruh/proletar namun juga petani dan golongan lemah lain. Penguatan tersebut tidak diarahkan untuk berkonfrontasi dengan lapisan atas, namun justru dikembangkan pola hubungan bersama antar lapisan masyarakat. Dengan kata lain, usulan emansipasi diterima, namun keswadayaan lapisan bawah tersebut diikuti kerjasama dengan lapisan-lapisan lainnya. Posisi demikian tidak memungkinkan revolusi (untuk menghancurkan kelas atas), melainkan reformasi untuk menjalin kolaborasi antar pihak dan antar lapisan.

Dalam kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat, paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia ini memiliki tiga model, yaitu pengembangan komunitas (community-development), pembangunan/pola nafkah berkelanjutan (sustainable development/livelihood), dan tata pemerintahan yang baik (good governance) (Manzo, 2000). Lihat Tabel 1. Pola pengembangan komunitas memiliki tujuan khusus pada kemandirian komunitas, pengembangan kapasitas, kepercayaan diri, dan kesadaran diri (Uphoff, 1986). Di sini kebutuhan didasarkan pada konstruksi lokal. Pelaksanaan pembangunan dipusatkan pada kebersamaan (partnership) antar agensi. Pendekatan ini lebih tepat dilakukan pada komunitas lokal. Kegiatan diorientasikan kepada pengembangan kondisi saat ini atau memecahkan masalah yang perlu segera diselesaikan.

Adapun tujuan khusus pembangunan atau pola nafkah berkelanjutan ialah untuk meningkatkan efisiensi dan kesamaan (equity) perolehan manfaat ini pada masyarakat (Baumgartner dan Hogger, eds., 2004; Blakely, 2002; Ellis, 2000). Pola ini juga hendak menjaga konservasi dan mengelola alam, berorientasi kepada tanggung jawab untuk generasi mendatang, serta demokratisasi (Uphoff, 2002; Warburton, ed., 1998). Kebutuhan masyarakat yang hendak dipenuhi mencakup kebutuhan dasar, namun yang ditemukan melalui partisipasi dan dialog. Wilayah pembangunan lebih fleksibel, sedangkan orientasi waktu pembangunan berjangka panjang.

Pola pemerintahan yang baik menekankan tujuan khusus pada promosi dan penjagaan hak asasi manusia (Antlov, 2002; Rondinelli dan Cheema, 2003; Sjaifudian, 2002). Oleh karena itu demokratisasi menjadi salah satu tujuan lainnya. Di sini kebutuhan dasar masyarakat dipandang sebagai bagian dari hak-hak asasi manusia. Pendekatan pembangunan yang dilakukan mencakup perluasan wilayah pembangunan (scaling up), advokasi politik, gerakan masyarakat (collective action), dan mencerdaskan kehidupan bangsa (public education). Lingkup dan orientasi waktu pembangunan di sini lebih fleksibel. Agensi pembangunan yang hendak digerakkan terutama pada lembaga-lembaga pengelola kebutuhan masyarakat.

Tabel 1. Model Pembangunan Berpusat pada Manusia

Item

Pengembangan Masyarakat (Community Development)

Pembangunan/Pola Nafkah Berkelanjutan (Sustainable Development/ Livelihoods)

Tata Pemerintahan yang Baik (Good Governance)

Ide politis

Pemberdayaan masyarakat

Pembangunan alternatif

Pemberdayaan masyarakat

Pembangunan alternatif

Pemberdayaan masyarakat

Pembangunan alternatif

Tujuan khusus

Kemandirian lokal

Kapasitas, kepercayaan diri, kesadaran diri

Efisiensi dan kesamaan (equity)

Manajemen konservasi dan sumberdaya

Tanggung jawan antar generasi

Demokratisasi (akuntabilitas politis dan partisipasi)

Promosi dan penjagaan hak-hak asasi manusia

Demokratisasi (akuntabilitas politis dan partisipasi)

Konsep kebutuhan

Konstruksi masyarakat

Kebutuhan dasar

Kebutuhan dasar sebagai hak asasi

Pola pelaksanaan

Kerjasama (partnership)

Partisipasi dan dialog

Scaling up

Advokasi politik

Gerakan masyarakat

Mencerdaskan bangsa

Lingkup keruangan

Akar rumput (ketetanggaan, desa)

Fleksibel

Fleksibel

Pemanfaat

Komunitas lokal

Fleksibel

Lembaga tata pemerintahan/ pengelola kebutuhan masyarakat

Orientasi waktu

Saat ini atau pemecahan masalah segera

Masa depan atau jangka panjang

Fleksibel

Sumber: Manzo (2000)

KONSTRUK PEMBANGUNAN BERPUSAT PADA MANUSIA

UNTUK PERUMUSAN DESA TERTINGGAL

Pada bagian ini disajikan tataran konstruk yang lebih operasional. Konstruk yang penting untuk membedakan model pemberdayaan wilayah (yang dioperasionalkan dalam komunitas) mencakup pembangunan berpusat pada manusia, modal, dan resiko.

Di muka sudah ditunjukkan dua ciri khas pembangunan yang berpusat pada manusia, yaitu mewujudkan kemandirian, dan membangun kerjasama (Chambers, 1993, 1987; Friedmann, 1992; Korten dan Sjahrir, eds., 1988; Sajogyo, 2006). Dua ciri ini selalu terdapat dalam model pengembangan masyarakat, pembangunan yang berkelanjutan, pola nafkah yang berkelanjutan, dan tata pemerintahan yang baik (Manzo, 2000). Dengan kata lain, konstruk dibangun menurut matriks dua (ciri khas) kali empat (model), atau berisi delapan sel. Lihat Tabel 2. Isi dari sel-sel di atas menjadi bahan bagi pembuatan turunannya dalam bentuk variabel dan indikator.

Tabel 2. Konstruk Pemberdayaan dalam Pembangunan Berpusat pada Manusia

Model

Kemandirian

Kerjasama

Pengembangan Masyarakat

Kapasitas, kepercayaan, kesadaran

Partnership

Pembangunan Berkelanjutan

Manajemen konservasi, manajemen sumberdaya

Demokratisasi, partisipasi, dialog

Pola nafkah berkelanjutan

Efisiensi

Kesamaan, demokratisasi, partisipasi, dialog

Tata pemerintahan

Hak asasi manusia, scaling up, advokasi politik, gerakan masyarakat, mencerdaskan bangsa

Demokratisasi

Untuk menjaga reliabilitas model indikasi pemberdayaan ke dalam realitas masyarakat, maka susunan skor atau penilaian perlu disesuaikan dengan sebaran keragaman masing-masing variabel dan indikator (Singarimbun dan Effensi, eds., 1992). Dengan kata lain, skor tidak ditentukan secara sewenang-wenang (misalnya diurutkan menurut 1 sampai bilangan tertentu), melainkan diletakkan dalam reliabilitas data lapangan. Bilangan yang mencirikan skor tersebut diambil sesuai dengan proporsi ragam data. Contohnya basis data Potensi Desa 2006 menunjukkan, bahwa fasilitas penerangan jalan utama desa/kelurahan menyebar pada 57,2 persen desa yang memilikinya, sedangkan 42,8 persen desa belum mengaksesnya. Skoring kurang tepat jika diurutkan 1 = tidak ada, 2 = ada, melainkan lebih tepat dijaring menjadi 4 = tidak ada, 6 = ada. Pola skoring terakhir menunjukkan keragaman 4 bagian desa yang tidak mengakses jalan utama dan 6 bagian desa yang mengaksesnya, sesuai dengan keragaman data lapangan. Inilah tanda reliabilitas.

Dengan meletakkan skoring persis pada reliabilitas data lapangan, paling tepat memandang hasil skoring sebagai operasionalisasi modal sekaligus resiko komunitas. Mengingat data Potensi Desa didasarkan pada konsep kapasitas manifes (nyata) pada suatu komunitas, maka pencapaian skor merujuk kepada modal komunitas itu sendiri dalam arti luas (aset) (Sherraden, 2006; Soto, 2001). Pada saat yang bersamaan, skor yang rendah menunjukkan derajat resiko pada komunitas tersebut (Beck, 2005).

Sebagaimana dikemukakan di atas, dalam kondisi modernitas akhir ini aset/modal dan resiko dapat diperhitungkan dan masuk ke dalam batas kesadaran manusia. Inilah yang membedakannya dari masa “tradisional”. Dalam penyusunan skoring sesuai reliabilitas data lapangan tersebut diperoleh penghitungan relatif aset/modal dan resiko komunitas dibandingkan komunitas lain. Dalam konteks pembangunan yang berpusat pada manusia, aspek relativitas ini penting karena menunjukan pola hubungan struktural antar wilayah atau komunitas. Sebagaimana diketahui, pembangunan yang berpusat pada manusia mendasarkan diri pada teori penanggulangan kemiskinan struktural (bukan kemiskinan absolut) (Sajogyo, 2006). Kalaupun menggunakan suatu garis penanda kemiskinan atau ketertinggalan wilayah, argumennya tetap diarahkan pada pengurangan kesenjangan antar manusia, kelompok, komunitas dan wilayah. Dengan demikian dimungkinkan suatu proses pemberdayaan, berupa penanggulangan resiko komunitas dengan cara menambah tenaga/kapasitas bagi lapisan tertinggal untuk menembus struktur menuju lapisan yang lebih maju.

Untuk kepentingan penyusunan program-program pemberdayaan, selain pengetahuan tentang indikasi pemberdayaan relatif, juga dibutuhkan pengetahuan tentang indikasi resiko absolut. Untuk menuju hal ini dilakukan dua langkah:

  1. penyusunan denominator, yang menunjukkan basis kepadatan ruang dan kepadatan warga komunitas. Dengan demikian denominator mampu menjadi faktor pengali bagi komunitas, yang pada akhirnya menghasilkan kuantitas kegiatan yang diperlukan untuk mengatasi resiko. Inilah temuan akan kebutuhan program dan proyek pemberdayaan dalam arti khusus.
  2. penyusun faktor pengali finansial. Hal ini bisa digali melalui pengalaman tentang rata-rata pembiayaan proyek/kegiatan pembangunan menurut jumlah pemanfaat. Sekali lagi, penentuan faktor pengali dinansial menurut pengalaman pembangunan akan meninggikan reliabilitas rancangan biaya pembangunan. Dengan kata lain, di sinilah ditemukan secara finansial aset suatu komunitas (Soto, 2001).

Kembali di sini perlu ditegaskan bahwa pola pembangunan yang berpusat pada manusia hendak memandirikan warga lokal. Dengan demikian temuan akan modal/aset dan resiko komunitas tersebut perlu ditindaklanjuti dalam program atau kebijakan yang memungkinkan manfaat sebesar-besarnya bagi lapisan bawah. Hal ini bisa berujud proteksi, namun dapat pula berujud kemampuan pengelolaan oleh warga lokal sendiri. Di bawah aspek-aspek ini dibahas lebih lanjut.

BASIS DATA POTENSI DESA 2006

Setelah merumuskan konstruk dan realiabilitas skoring di atas, ketepatan model indikasi pemberdayaan komunitas dan wilayah ditentukan oleh basis sumber data yang digunakan. Dalam hal ini tidak sekedar dicari basis data yang relevan, juga perlu ditunjukkan batas waktu bagi reliabilitas data tersebut.

Data sensus seluruh desa yang tersedia paling lengkap dan mutakhir ialah data Potensi Desa 2006. Oleh karena pembaruan data potensi desa lazimnya dilaksanakan setiap tiga tahun sekali, maka dapat dinyatakan bahwa indikasi pemberdayaan ini paling reliabel berlaku pada periode 2006-2009. Potensi desa ialah kemampuan atau daya/kekuatan yang memiliki kemungkinan untuk dikembangkan dalam wilayah otonomi desa. Data Podes ialah satu-satunya data yang berurusan dengan wilayah/tata ruang dengan basis desa/ kelurahan.

Jenis data yang dikumpulkan pada Podes SE (Sensus Ekonomi) 2006 ini adalah keterangan umum desa/kelurahan, kependudukan, ketenagakerjaan, perumahan dan lingkungan hidup, antisipasi dan kejadian bencana alam, pendidikan dan kesehatan, sosial budaya, rekreasi, hiburan dan olah raga, angkutan, komunikasi dan informasi, penggunaan lahan, ekonomi, politik dan keamanan, dan keterangan kepala desa/kelurahan. Data Podes adalah data keruangan (spasial), merupakan satu-satunya sumber data yang lebih menekankan pada penggambaran situasi wilayah (regional) dan pendekatan sektoral. Misal Desa A, apa perlu dibangun daerah sebagai pusat pertumbuhan, yang selanjutnya disusul sector terkait (perdagangan, kesehatan, dll.).

Mutu data Podes 2006 belumlah prima. Terlalu banyak kesalahan ketik untuk menyebut komoditas unggulan desa, misalnya seharusnya padi tetapi ditulis 3padi, padsi, padi s, dan banyak lagi. Mengherankan pula mendapati desa hanya berpenghuni seorang penduduk perempuan, atau hanya berisi satu rumahtangga. Kesalahan seperti ini muncul sejak sensus sebelumnya. Pada Podes 2003 kesalahan pencatatan penduduk dapat mencapai 70 persen di suatu desa, meskipun di desa lain tidak lebih 20 persen. Kesalahan pencatatan infrastruktur bisa mencapai 50 persen, namun jumlah infrastruktur di desa biasanya relatif sedikit.

Sekalipun berbalut kelemahan, Podes tetap satu-satunya data sensus desa yang dimiliki Indonesia. Tidak mengherankan Podes 2006 menjadi pengetahuan mutakhir tentang desa kita, dan segera dijadikan bahan perencanaan pembangunan desa/kelurahan 3 tahun mendatang.

Podes 2003 menyuguhkan 56.838 desa di wilayah pedesaan (83 persen dari keseluruhan 68.813 desa/kelurahan). Kini pada Podes 2006 jumlahnya meningkat menjadi 57.666 desa (tetap berposisi 82 persen dari 69.956 desa/kelurahan). Menarik membandingkannya dengan peningkatan luas desa, dari 162.332.665,6 hektare (rata-rata 2.856 hektare/desa) menjadi 182.819.735 hektare (rata-rata 3.170 hektare/desa). Penambahan jumlah berikut luas desa menunjukkan bahwa desa baru lebih banyak dibangun pada tanah yang sebelumnya tidak dihuni, misalnya wilayah hutan. Sayang ini sekaligus mengindikasikan peningkatan tekanan penduduk terhadap lingkungan, untuk kemudian dieksploitasi menjadi desa.

VARIABEL, INDIKATOR, DAN SKOR

Penyusunan suatu model indikasi paling tepat diawali dengan analisis per pemodelan, baru kemudian diikuti dengan penyusunan model, eksekusi model, dan validasi model (Wu dan Sun, 2005). Dalam pekerjaan ini digunakan program komputer kuantitatif SAS. Perlu disampaikan bahwa penggunaan program komputer yang berbeda mungkin menghasilkan angka rincian yang berbeda, sekalipun kesimpulan umum/akhir yang diambil bisa tetap sama. Oleh karena sebagian (besar) data Podes 2006 berujud data ordinal, maka ditempuh prosedur logistik. Di sini digunakan model cumulative logit, dan skoring dioptimasi dengan metode Fisher. Model ini memiliki keleluasaan yang besar, karena tidak terikat oleh asumsi jumlah data yang besar dan sebaran data secara normal. Dengan kata lain, data Podes 2006 layak untuk dianalisis lebih lanjut.

Prosedur yang dilakukan berupa menyusun variabel dependen membentuk data ordinal. Indikator keragaan pembangunan masa kini berupa penanggulangan kemiskinan dapat disusun dari proporsi jumlah keluarga miskin (Pra-KS dan KS-1) per total keluarga di desa yang bersangkutan. Hasilnya berupa data interval, yang kemudian disusun menurut desil menjadi 10 bagian ordinal.

Selanjutnya dilakukan analisis efek (analysis of effects) diikuti analisis estimasi pada masing-masing calon indikator. Di sini terjadi proses (running) berupa satu indikator independen (turunan variabel bebas) dicari kaitannya dengan indikator terikat (turunan variabel terikat). Setelah ditemukan satu indikator, kemudian running dilakukan pada indikator selanjutnya. Demikian proses ini berlangsung sampai akhir running kepada calon indikator Podes 2006 yang ada.

Indikator sebelumnya juga diseleksi untuk menghindari penghitungan ganda yang bisa terjadi pada penggunaan indikator yang sebenarnya komposit, meskipun terlihat sebagai indikator mandiri. Wilayah perdesaan atau perkotaan, misalnya, menurut definisi operasional juga mencakup mata pencaharian utama penduduk, fasilitas wilayah pada aspek infrastruktur, kelembagaan dan politik. Jika indikator komposit ini digunakan, maka akan menghasilkan penghitungan ganda manakala indikator lain (yang sebetulnya mengisinya) turut dihitung.

Dengan menyadari ciri komposit di atas, perlu disampaikan kritik perspektif pembangunan yang berpusat pada manusia terhadap konsep desa dan kota. Indikator komposit tersebut mengakibatkan secara konseptual wilayah perdesaan selalu tertinggal, karena begitu wilayah tersebut maju maka berpeluang besar dialihkan menjadi wilayah perkotaan. Padahal dalam pembangunan berbasis manusia, sekalipun desa bisa mungkin untuk memperoleh kemajuan, yaitu manakala mampu mandiri sekaligus menjalin jaringan dengan wilayah lain.

Konsekuensi pemikiran ini berikut ialah dihindari pula indikator yang tidak bermakna ordinal, misalnya potensi ekonomi, juga sumber penghasilan utama. Dalam perspektif pembangunan berpusat pada manusia, hubungan antara pertanian dan industri tidak bersifat ordinal melainkan nominal. Pertanian sendiri juga bisa mandiri dan maju tanpa perlu menjadi manufaktur. Misalnya dalam Podes terdapat indikator perusahaan pertanian, yang lebih sesuai daripada potensi ekonomi wilayah dan sumber penghasilan utama. Kedua indikator terakhir ini dijadikan berlevel nominal, yang akan berguna untuk menentukan kekhasan suatu wilayah saja.

Berdasarkan matriks konstruks di atas dan ketersediaan data Podes 2006 maka dapat disusun variabel, indikator, dan skor sebagai berikut (Lampiran 1):

  1. Pengembangan masyarakat, mencakup variabel:

Ketersediaan prasarana transportasi, meliputi indikator:

    1. ketersediaan prasarana jalan dan sungai (jalan aspal/beton=4, sungai untuk transportasi atau jalan yang diperkeras (kerikil, batu=3, jalan tanah=2, lainnya=1)

Ketersediaan prasarana telepon untuk umum, meliputi indikator:

    1. keberadaan telepon umum atau wartel (ada=6, tidak ada=4)

Ketersediaan prasarana jasa pos, meliputi indikator:

    1. ketersediaan kantor pos, kantor pos pembantu, rumah pos, pos keliling (ada=7, jaraknya sama atau kurang dari 5 km=2, jaraknya lebih dari 5 km=1)

Ketersediaan prasarana jaringan televisi, meliputi indikator:

    1. penerimaan program TV (bisa=7, tidak bisa=3)

Ketersediaan prasarana listrik, meliputi indikator:

    1. keberadaan penerangan jalan utama desa (ada=6, tidak ada=4)

Ketersediaan prasarana bahan bakar, meliputi indikator:

    1. penggunaan bahan bakar oleh sebagian besar penduduk (LPG=5, minyak tanah=4, kayu bakar=2, lainnya=1)

Ketersediaan prasarana pendidikan dasar, meliputi indikator:

    1. keberadaan SD (ada=8, tidak ada=2)

Ketersediaan prasarana pendidikan menengah, meliputi indikator:

    1. akses kepada SLTP/sederajat (jaraknya sama atau kurang dari 5 km=7, jaraknya lebih dari 5 km=3)

Ketersediaan prasarana pendidikan menengah atas, meliputi indikator:

    1. akses kepada SLTA/SMK(jaraknya sama atau kurang dari 5 km=6, jaraknya lebih dari 5 km=4)

Ketersediaan prasarana kesehatan, meliputi indikator:

    1. keberadaan posyandu (ada=9, tidak ada=1)
    2. keberadaan polindes (ada=6, tidak ada=4)
    3. keberadaan Puskesmas/Pustu (ada=7, tidak ada=3)

Ketersediaan tenaga kesehatan, meliputi indikator:

    1. akses terhadap dokter, mantri, bidan, dukun (dokter=4, mantri kesehatan/bidan=3, dukun=2, tidak ada=1)

Keberadaan wabah penyakit, meliputi indikator:

    1. keberadaan wabah penyakit setahun terakhir (tidak ada=8, ada=2)

Keberadaan perumahan di bawah tegangan tinggi, meliputi indikator:

    1. keberadaan keluarga di bawah jaringan tegangan tinggi (tidak ada =6, ada=4)
    2. keberadaan perumahan kumuh (tidak ada =6, ada=4)
  1. Pembangunan yang berkelanjutan

Tingkat kesehatan lingkungan, meliputi indikator:

    1. akses tempat buang sampah (tempat sampah/lubang/dibakar=7, sungai=2, lainnya=1)
    2. akses tempat buang air besar (jamban sendiri=6, jamban bersama/umum=3, bukan jamban=1)

Akses air minum, meliputi indikator:

    1. Sumber air minum (PAM/air kemasan/pompa listrik/sumur/mata air=8, sungai/danau/air hujan/lainnya=2)

Tingkat pencemaran lingkungan hidup, meliputi indikator:

    1. Keberadaan pencemaran air, tanah, udara (tidak ada=9, ada=1)

Tingkat kerawanan bencana, meliputi indikator:

    1. Keberadaan bencana alam dalam 3 tahun terakhir yang menyebabkan kerugian/kerusakan dalam aspek tanah longsor, banjir, banjir bandang, gempa bumi, gempa bumi disertai tsunami, kebakaran, pembakaran hutan/ sawah/ ladang, dll (tidak ada=8, ada=2)
  1. Pola nafkah yang berkelanjutan

Ketersediaan lembaga perkreditan, meliputi indikator:

    1. ketersediaan lembaga keuangan (Bank umum/kantor pegadaian/BPR=5, koperasi/lembaga keuangan mikro informal=4, tidak ada=1)

Ketersediaan irigasi, meliputi indikator:

    1. ketersediaan sawah irigasi dan sungai untuk irigasi (ada sawah berpengairan=7, ada sawah tidak berpengairan dan tidak diusahakan padahal ada sungai=3)

Keberadaan industri pertanian, meliputi indikator:

    1. keberadaan industri pertanian (ada=9, tidak ada=1)

Keberadaan lingkungan industri, meliputi indikator:

    1. keberadaan lingkungan industri (kawasan industri=5, sentra industri/LIK/PIK=4, tidak ada=1)

Keberadaan ragam industri, meliputi indikator:

    1. keberadaan industri besar, sedang, kecil, rumahtangga (industri besar/sedang=6, industri kecil/rumahtangga=3, tidak ada=1)

Keberadaan ragam perdagangan, meliputi indikator:

    1. keberadaan pasar swalayan, pasar, pertokoan (pasar swalayan=4, kelompok pertokoan/pasar dengan bangunan permanen=3, pasar tanpa bangunan permanen/jarak pasar sama atau kurang dari 5 km=2, jarak pasar lebih dari 5 km=1)
  1. Tata pemerintahan, mencakup variabel

Ketersediaan Kelengkapan Pembangunan, meliputi indikator

    1. keberadaan ketua LKMD (ada=8, tidak ada=2)
    2. keberadaan gotong royong untuk membantu pembangunan (ada=9, tidak ada=1)

Keberadaan fasilitas perlindungan sosial, meliputi indikator:

    1. keberadaan kegiatan panti asuhan, wreda/jompo, cacat/YPAC, bina remaja, rehabilitasi anak, rehabilitasi WTS (ada kegiatan=9, tidak ada kegiatan =1)

Kejadian perkelahian massal, meliputi indikator

    1. Kejadian perkelahian massal 1 tahun terakhir (tidak ada=7, ada dan diselesaikan damai=2, ada tetapi tidak terselesaikan=1)

Kejadian kejahatan, meliputi indikator

    1. kejadian kejahatan 1 tahun terakhir (tidak ada=6, ada=4)

Keberadaan perwakilan rakyat, meliputi indikator

    1. keberadaan BPD (ada=8, tidak ada=2)

Keberadaan organisasi kemasyarakatan, meliputi indikator

    1. keberadaan organisasi kemasyarakatan (ada kegiatan LSM=5, ada kegiatan yayasan/ kelompok/ persatuan kematian/ majelis taklim/ kelompok pengajian/ kelompok kebaktian=3, tidak ada=1)

Keberadaan toleransi masyarakat, meliputi indikator

    1. keberadaan lebih dari satu etnis di desa (ya=6, tidak=4)

Hasil penghitungan skor pada desa-desa yang terdapat dalam basis data Potensi Desa 2006 ialah

Skor maksimum desa: 224

Skor minimum desa: 93

Skor rata-rata desa: 168

Standard deviasi nasional: 19

Jika diuraikan dalam bentuk grafik, maka akan terlihat (Gambar 1) bahwa desa-desa di Indonesia cenderung ke arah kondisi yang maju. Hal ini terlihat pada ekor yang menjulur ke kiri. Berdasarkan hasil analisis di atas, maka kelompok perdesaan dapat digolongkan menjadi:

Desa maju, skor >187

Desa menengah-atas, skor 169-187

Desa menengah-bawah, skor 148-168

Tertinggal, skor <>

Gambar 1. Sebaran Desa di Indonesia menurut Tingkat Kemajuan, 2006

RESIKO, KEBUTUHAN, DAN DENOMINATOR

Sebagai dikemukakan di atas, resiko dalam suatu komunitas pada dasarnya merupakan permintaan program dari komunitas tersebut (demand-driven). Lihat kembali Lampiran 1.

Hal baru yang dikemukakan di sini ialah faktor pembagi, untuk menentukan kuantitas kebutuhan dalam satu wilayah. Oleh karena Podes tidak akurat dalam penghitungan jumlah penduduk dan luas wilayah, maka kepadatan penduduk tidak digunakan di sini. Selain itu, kepadatan penduduk bisa menghasilkan cara pandang yang salah jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa ada desa yang sangat luas dengan penduduk yang sedikit.

Akan tetapi penduduk relatif membentuk satu komunitas yang terpadu, yaitu RT (rukun tetangga). Inilah yang reliabel untuk menghitung kebutuhan infrastruktur tertentu, seperti air bersih, juga untuk pengembangan industri rumahtangga dan industri kecil. Rata-rata satu RT berjumlah 200 orang atau 50 keluarga.

Untuk data tertentu penghitungan keluarga sangat penting, tercakup dengan unit infrastruktur yang akan dibangun, misalnya jumlah rumah kumuh.

Faktor pembagi di tingkat desa digunakan untuk menghitung fasilitas yang dibutuhkan dalam lingkup desa. Contohnya jalan desa (seharusnya juga jembatan), darmaga, juga fasilitas keuangan mikro dan kompleks industri, jga polindes, bidan/mantri kesehatan.

Faktor pembagi tingkat kecamatan digunakan untuk menunjukkan kebutuhan kawasan yang lebih besar. Hal ini penting dalam merumuskan kebutuhan pos, jaringan TV, Puskesmas/Pustu.

DISKUSI

Dengan menurunkan variabel-variabel pengembangan masyarakat, tata pemerintahan, dan keberlanjutan pembangunan ke dalam data Potensi Desa 2006, maka diperoleh sejumlah 10.542 desa tertinggal di Indonesia masa kini (17% dari keseluruhan desa). Jumlah ini telah menurun dari kriteria desa tertinggal pada tahun 2005 (berbasis data Potensi Desa 2003), sebesar 12.000 desa.

Namun demikian masih dijumpai jumlah absolut desa tertinggal yang besar dalam satu propinsi. Jumlah melebihi 1.000 desa tertinggal dalam satu propinsi terdapat di Papua dan Papua Barat (2.616 desa), diikuti Naggroe Aceh Darussalam (1.727 desa). Jumlah absolut desa tertinggal yang tinggi ini menunjukkan satuan biaya pembangunan desa yang sangat tinggi. Dalam konteks pembangunan wilayah nasional, kenyataan ini perlu diperhatikan karena terdapat kongruensi antara jumlah absolut tersebut dengan keinginan untu melepaskan diri (separatis) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketertinggalan pembangunan secara absolut menunjukkan ketimpangan wilayah absolut pula. Ketiadaan penhyelesaian hal ini akan selalu membuka peluang separatisme di wilayah-wilayah tersebut.

Jumlah desa tertinggal yang besar pula (di atas 500 desa tertinggal dalam satu propinsi) terdapat di Sumatera Utara (933 desa), Kalimantan Tengah (619 desa), Nusa Tenggara Timur (588 desa), Kalimantan Barat (543 desa), Kalimantan Timur (534 desa). Wilayah Utara Sumatera, Kalimantan dan Nusa Tenggara kira juga berpotensi untuk mengibarkan protes atas ketimpangan wilayah.

Sementara itu, persentase desa tertinggal yang tinggi dalam satu wilayah akan menentukan kemajuan wilayah tersebut secara keseluruhan. Dominasi (di atas 50%) desa tertinggal menjadikan wilayah tersebut merosot kualitas hidupnya. Seluruh wilayah tersebut terdapat di Indonesia Bagian Timur. Persentase tertinggi lagi-lagi di Papua dan Papua Barat (81%), diikuti Maluku (55%) dan Maluku Utara (55%), lalu Kalimantan Tengah (50%).

Pada derajat yang lebih bawah (desa tertinggal di atas sepertiga wilayah) muncul di wilayah tengah Indonesia, yaitu di Kalimantan. Persentase desa tertinggal yang besar terdapat Kalimantan Timur (46%), dan Kalimantan Barat (37%).

Lampiran 3 menunjukkan skor propinsi menurut indikator desa tertinggal. Ternyata skor tertinggi diraih DIY (sebelum gempa), sedangkan yang terendah oleh ketiga propinsi di Papua. Secara lebih jelas hal ini terjadi pada Gambar 2.Ternyata propinsi yang didominasi desa maju tidak hanya terdapat di Indonesia bagian Barat, melainkan juga di Indonesia bagian Timur. Lokasi tersebut telah lama dicirikan oleh perdagangan antar pulau. Di wilayah Barat tercakup Propinsi Sumut, Sumbar, Lampung, Bangka-Belitung, Jabar, Jateng, Jatim, DIY, Banten. Di wilayah tengah tercakup Propinsi Bali, NTB, dan Kalsel. Di wilayah Timur meliputi Propinsi Gorontalo dan Sulawesi Utara.

Perlu menjadi perhatian munculnya propinsi-propinsi yang biasanya tergolong dalam posisi atas dalam hal PDRB, namun memiliki jumlah absolut ataupun persentase desa tertinggal yang tinggi. Paradoks ini mengindikasikan kekayaan wilayah tidak (bisa) digunakan untuk memajukan wilayahnya sendiri. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh sentralisasi pembangunan berikut anggarannya, atau korupsi di wilayah yang bersangkutan.

Gambar 2. Kemajuan Propinsi menurut Kemajuan Desa, 2006




DAFTAR PUSTAKA

Agusta, I. 2005. Desa Tertinggal dan Subsidi BBM. In: Kompas, April 9, 2005.

Antlov, H. 2002. Negara dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal. Yogyakarta: Leppera.

Baumgartner, R., R. Hogger, eds. 2004. In Search of Sustainable Livelihood Systems : Managing Resources and Change. London: Sage

Beck, U. 2005. Risk Society : Towards a New Modernity. London: Sage

Blakely, E.J. 2002. Planning Local Economic Development : Theory and Practice.

Chambers, R, 1987, Pembangunan Desa: Mulai dari Belakang. Terjemahan Putting the Last First. Jakarta: LP3ES

Chambers, R, 1993, Challenging the Professions: Frontiers for Rural Development. Intermediate Tech.

Ellis, F. 2000. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries. Oxford: Oxford Univ. Pr.

Friedmann, J. 1992. Empowerment: The Politics of Alternative Development. Cambridge: Blackwell.

Korten, DC, Sjahrir, eds. 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Jakarta: YOI.

Rondinelli, D.A., G.S. Cheema. 2003. Reinventing Government for The Twenty-First. Kumarian.

Sajogyo. 2006. Ekososiologi: Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Petani dan Perdesaan sebagai Kasus Uji). Yogyakarta: Cindelaras.

Sherraden, M. 2006. Aset untuk Orang Miskin: Perspektif Baru Usaha Pengentasan Kemiskinan. Terjemahan. Jakarta: Rajawali Press.

Singarimbun, M., S. Effendi, eds. 1992. Metode Penelitian Survai, Edisi Revisi. Jakarta: LP3ES.

Sjaifudian, H. 2002. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance. Bandung: B_Trust dan Ford Foundation.

Soto, H.D. 2001. The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else. London: Black Swan

Uphoff, N. 1986. Local Institutional Developent: An Analytical Sourcebookwith Cases. West Hartford: Kumarian.

Uphoff, N. 2002. Agroecological Innovations : Increasing Food Production with Participatory Development. London: Earthscan.

Warburton, D, ed. 1998. Community and Sustainable Development: Participation in the Future. London: Earthscan.

Wu, H-C, C-T. Sun. 2005. What Should We Do Before Running a Social Simulation? The Importance of Model Analysis. In: Social Science Computer Review Th. 23 No. 2.


Tabel. Indikator Desa Tertinggal Berbasis Potensi Masyarakat dan Wilayah

No. Kon sep

Konsep

No. Variabel

Variabel

Indikator

Skor

Angka Skor

Sumber Podes 2006

Departemen/ Lembaga Terkait

Implikasi Kebutuhan

Faktor Pengali

1

Kesiapan Pembangunan

1

Lembaga pembangunan

Ketua LPMD

Ada

8

v1301k2

Depdagri

Tidak ada

2

Tim Pelaksana Kegiatan (TPK)

Desa

Gotong royong membantu pembangunan

Ada

9

v707

Depdagri, Depsos

Tidak ada

1

Pembentukan kelompok (untuk pelaksanaan kegiatan)

RT

2

Transportasi

2

Prasarana transportasi

Prasarana jalan dan sungai

Aspal/ beton

4

v506b6, v901b1

Dep PU

Sungai untuk transportasi, jalan diperkeras (kerikil, batu)

3

Pengembangan jalan dan dermaga

Desa

Jalan tanah

2

Pembangunan jalan

Lainya

1

3

Komunikasi

3

Telepon untuk umum

telpon umum, wartel

Ada

6

v905, v906 (diolah)

Tidak ada

4

Pembangunan telpon umum

Desa

4

Jasa Pos

kantor pos, kantor pos pembantu, rumah pos, pos keliling

Ada

7

v908a, v909

PT Pos Indonesia, Menkominfo, Dep PU

< 5 km

2

v908b

> 5 km

1

v908b

Pembangunan rumah pos

Kecamatan

5

Televisi

Penerimaan program TV

Bisa

7

v910a, b(1-10),c,d

TVRI, Menkominfo, Dep PU

Tidak bisa

3

Pembangunan transmisi TV

Kecamatan

4

Energi

6

Akses listrik

Penerangan jalan utama desa

Ada

6

v502a

PLN, MenEM, Dep PU

Tidak ada

4

Pembangunan penerangan jalan utama

Desa

7

Akses bahan bakar

Penggunaan bahan bakar oleh sebagian besar penduduk

LPG

5

v503

Pertamina, MenEM, Dep PU

Minyak tanah

4

Kayu bakar

2

Pembangunan jaringan distribusi minyak tanah

Desa

Lainnya

1

5

Perkreditan

8

Ragam lembaga keuangan

Bank umum/kantor pegadaian/BPS

5

v1119/1122

Depkeu

Koperasi/Lembaga Keuangan Mikro Informal

4

v1121

Tidak ada

1

Pembangunan lembaga keuangan mikro

Desa

6

Pendidikan

9

Akses pendidikan dasar

Keberadaan SD

Ada

8

v601bk2-3

Depdiknas, Dep PU

Tidak ada

2

Pembangunan SD

Desa

10

Akses pendidikan menengah pertama

Jarak ke SLTP/sederajat

< 5 km

7

v601ck4

Depdiknas, Dep PU

> 5 km

3

Pembangunan SMP

Kecamatan

11

Akses pendidikan menengah atas

Jarak ke SLTA/SMK

< 5 km

6

v601dk4 + v601ek4

Depdiknas, Dep PU

> 5 km

4

Pembangunan SLTA/SMK

Kecamatan

7

Kesehatan

12

Akses sarana kesehatan

Posyandu

Ada

9

v603hk2

Depkes, Depsos

Tidak ada

1

Pembangunan Posyandu

RT

Polindes

Ada

6

v602ik2

Depkes, Dep PU

Tidak ada

4

Pembangunan Polindes

Desa

Puskesmas/Pustu

Ada

7

v602dk2, v602ek2

Depkes, Dep PU

Tidak ada

3

Pembangunan Pustu

Kecamatan

13

Akses tenaga kesehatan

Akses dokter, mantri, bidan, dukun

Dokter

4

v604a-d2

Depkes

Mantri kesehatan/bidan

3

Dukun

2

Distribusi bidan/mantri kesehatan

Desa

Tidak ada

1

14

Wabah penyakit

Wabah penyakit setahun terakhir

Tidak ada

8

v607 (jawaban dibalik)

Depkes

Ada

2

Distribusi bidan/mantri

Desa

15

Kesehatan lingkungan

Akses tempat buang sampah

Tempat sampah/ lubang/ dibakar

7

v504

Depkes, Dep PU

Sungai

2

Pembangunan tempat sampah

RT

Lainnya

1

Akses tempat buang air besar

Jamban sendiri

6

v505

Depkes, Dep PU

Jamban bersama/ umum

3

Bukan jamban

1

Pembangunan jamban umum

RT

16

Air minum

Sumber air minum

PAM/air kemasan/pompa listrik/ sumur/ mata air

8

v608a

PDAM, Dep PU, Depkes

Sungai/ danau/ air hujan/ lainnya

2

Pembangunan instalasi air minum

RT

8

Pertanian

17

Irigasi

Sungai untuk irigasi

Ada sawah berpengairan

7

v1002a

Deptan, Dep PU

Ada sawah tidak berpengairan dan tidak diusahakan, padahal ada sungai

3

v1002 (b-c), v506a

Pembangunan jaringan irigasi tersier

Desa

18

Industri pertanian

Perusahaan pertanian

Ada

9

v1101a-f

Deptan, Depperin, Dep PU

Tidak ada

1

Pembangunan industri kecil/RT

RT

9

Manufaktur

19

Lingkungan industri

Keberadaan lingkungan industri

Kawasan industri

5

v1103

Depperin, Dep PU

Sentra industri/LIK/ PIK

4

v1104

Tidak ada

1

Pembangunan kawasan industri kecil

Desa

20

Ragam industri

Industri besar, sedang, kecil, RT

Industri besar/ sedang

6

v1106, v1107

Depperin, Dep PU

Industri kecil/RT

3

v1108a-h

Tidak ada

1

Pembangunan industri kecil/RT

RT

10

Perdagangan

21

Ragam perdagangan

Pasar swalayan, pasar, pertokoan

Pasar swalayan

4

v1113

Depperdag, Dep PU

Kelompok pertokoan/ pasar dengan bangunan permanen

3

v1110a, v1111a

Pasar tanpa bangunan permanen/ jarak pasar < 5 km

2

v1112

Jarak pasar > 5 km

1

b1111b

Pembangunan pasar

Kecamatan

11

Kegiatan sosial

22

Fasilitas perlindungan sosial

Panti asuhan, wreda/jompo, cacat/YPAC, bina remaja, rehabilitasi anak, rehabilitasi WTS

Ada kegiatan

9

v704a(1-6)k2

Tidak ada kegiatan

1

Pembangunan fasilitas perlindungan sosial

Desa

12

Perumahan

23

Perumahan di bawah tegangan tinggi

Keluarga di bawah jaringan tegangan tinggi

Tidak ada

6

v508a (jawaban dibalik)

PLN, Dep Energi, Dep PU

Ada

4

Pembangunan rumah sederhana

Keluarga

24

Perumahan kumuh

Keberadaan perumahan kumuh

Tidak ada

6

v509b (jawaban dibalik)

Depsos, Dep PU

Ada

4

Pembangunan rumah sederhana

Keluarga

13

Lingkungan

25

Pencemaran lingkungan hidup

Pencemaran air, tanah, udara

Tidak ada

9

v510a-c (jawaban dibalik)

Menneg LH

Ada

1

Pembangunan lingkungan hidup

Desa

26

Kerawanan bencana

Bencana alam dalam 3 tahun terakhir yang menyebabkan kerugian/kerusakan dalam aspek tanah longsor, banjir, banjir bandang, gempa bumi, gempa bumi disertai tsunami, kebakaran, pembakaran hutan/ sawah/ ladang, dll

Tidak ada

8

v513a-h (jawaban dibalik)

Depsos, Dep PU

Ada

2

Bangunan penahan bencana

Desa

14

Keamanan

27

Perkelahian massal

Perkelahian massal 1 tahun terakhir

Tidak ada

7

v1202a (jawaban dibalik)

Kepolisian

Ada, diselesaikan damai

2

v1203c

Ada, tidak terselesaikan

1

v1203c

Pembentukan kelompok (untuk dialog)

Desa

28

Kejahatan

Kejahatan 1 tahun terakhir

Tidak ada

6

v1204a(1-11) (jawaban dibalik)

Kepolisian

Ada

4

Pembentukan kelompok (untuk pengamanan)

Desa

15

Demokrasi

29

Perwakilan rakyat

Keberadaan BPD

Ada

8

v302

Depdagri

Tidak ada

2

Pembentukan BPD

Desa

30

Organisasi kemasyarakatan

Keberadaan ormas

Ada kegiatan LSM

5

v704bk2

Depdagri, Depsos

Ada kegiatan yayasan/ kelompok/ persatuan kematian/ majelis taklim/ kelompok pengajian/ kelompok kebaktian

3

Tidak ada

1

Pembentukan kelompok (untuk kerjasama warga)

Desa

31

Toleransi

Etnis di desa lebih dari satu

Ya

6

v710

Depdagri, Depsos

Tidak

4

Pembentukan kelompok (untuk dialog)

Desa


Lampiran 2. Desa Tertinggal menurut Propinsi, 2006

Provinsi

Maju

Menengah Atas

Menengah Bawah

Tertinggal

Total

BALI

Absolut

244

311

66

1

622

%

39

50

11

0

100

BANGKA BELITUNG

Absolut

24

105

118

21

268

%

9

39

44

8

100

BANTEN

Absolut

184

687

414

38

1.323

%

14

52

31

3

100

BENGKULU

Absolut

34

341

541

203

1.119

%

3

30

48

18

100

D.I. YOGYAKARTA

Absolut

207

160

26

0

393

%

53

41

7

0

100

GORONTALO

Absolut

37

155

169

22

383

%

10

40

44

6

100

JAMBI

Absolut

54

439

491

120

1.104

%

5

40

44

11

100

JAWA BARAT

Absolut

1.849

2.773

561

11

5.194

%

36

53

11

0

100

JAWA TENGAH

Absolut

2.385

4.624

782

14

7.805

%

31

59

10

0

100

JAWA TIMUR

Absolut

2.761

4.052

840

47

7.700

%

36

53

11

1

100

KALIMANTAN BARAT

Absolut

43

276

589

543

1.451

%

3

19

41

37

100

KALIMANTAN SELATAN

Absolut

125

707

801

203

1.836

%

7

39

44

11

100

KALIMANTAN TENGAH

Absolut

22

174

425

619

1.240

%

2

14

34

50

100

KALIMATAN TIMUR

Absolut

43

208

367

534

1.152

%

4

18

32

46

100

KEPULAUAN RIAU

Absolut

4

43

90

11

148

%

3

29

61

7

100

LAMPUNG

Absolut

407

1.056

512

44

2.019

%

20

52

25

2

100

MALUKU

Absolut

13

121

242

459

835

%

2

14

29

55

100

MALUKU UTARA

Absolut

3

54

260

381

698

%

0

8

37

55

100

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Absolut

70

1.251

2.793

1.727

5.841

%

1

21

48

30

100

NUSA TENGGARA BARAT

Absolut

192

349

171

16

728

%

26

48

23

2

100

NUSA TENGGARA TIMUR

Absolut

8

388

1.465

588

2.449

%

0

16

60

24

100

PAPUA + PAPUA BARAT

Absolut

14

114

468

2.616

3.212

%

0

4

15

81

100

RIAU

Absolut

80

502

530

173

1.285

%

6

39

41

13

100

SULAWESI SELATAN

Absolut

146

958

1.075

350

2.529

%

6

38

43

14

100

SULAWESI TENGAH

Absolut

56

446

678

218

1.398

%

4

32

48

16

100

SULAWESI TENGGARA

Absolut

32

491

698

187

1.408

%

2

35

50

13

100

SULAWESI UTARA

Absolut

75

466

382

63

986

%

8

47

39

6

100

SUMATERA BARAT

Absolut

181

301

128

35

645

%

28

47

20

5

100

SUMATERA SELATAN

Absolut

97

787

1.223

365

2.472

%

4

32

49

15

100

SUMATERA UTARA

Absolut

437

1.540

1.442

933

4.352

%

10

35

33

21

100

Total

Absolut

9.827

23.879

18.347

10.542

62.595

%

16

38

29

17

100


Lampiran 3. Ranking Propinsi menurut Kemajuan Desa, 2006

NPROP06

Rataan Skor Kabupaten

Kelompok

Jumlah Kabupaten

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

156

Menengah-bawah

20

SUMATERA UTARA

169

Menengah-atas

19

SUMATERA BARAT

177

Menengah-atas

15

RIAU

167

Menengah-bawah

9

JAMBI

166

Menengah-bawah

9

SUMATERA SELATAN

164

Menengah-bawah

11

BENGKULU

166

Menengah-bawah

9

LAMPUNG

176

Menengah-atas

9

BANGKA BELITUNG

169

Menengah-atas

6

KEPULAUAN RIAU

166

Menengah-bawah

5

JAWA BARAT

183

Menengah-atas

18

JAWA TENGAH

183

Menengah-atas

31

D.I. YOGYAKARTA

190

Maju

4

JAWA TIMUR

183

Menengah-atas

31

BANTEN

174

Menengah-atas

5

BALI

187

Menengah-atas

9

NUSA TENGGARA BARAT

178

Menengah-atas

7

NUSA TENGGARA TIMUR

158

Menengah-bawah

15

KALIMANTAN BARAT

156

Menengah-bawah

11

KALIMANTAN TENGAH

154

Menengah-bawah

13

KALIMANTAN SELATAN

169

Menengah-atas

12

KALIMATAN TIMUR

162

Menengah-bawah

10

SULAWESI UTARA

170

Menengah-atas

7

SULAWESI TENGAH

165

Menengah-bawah

9

SULAWESI SELATAN + SULAWESI BARAT

167

Menengah-bawah

26

SULAWESI TENGGARA

164

Menengah-bawah

9

GORONTALO

169

Menengah-atas

4

MALUKU

153

Menengah-bawah

8

MALUKU UTARA

154

Menengah-bawah

7

PAPUA + PAPUA BARAT

138

Tertinggal

28



[1] Sosiolog Pedesaan Institut Pertanian Bogor. Email iagusta@hotmail.com; webblog www.iagusta.blogspot.com