Senin, 04 Agustus 2008

Lompatan Paradigmatik Program Agropolitan di Indonesia: Dari Paradigma Pembangunan Berbasis Manusia menuju Paradigma Modernisasi (Paradigm Jumping)

Oleh Ivanovich Agusta[1]

Abstract

Regional economics theories may be classified by modernization, dependency, and people-centered development paradigms. Friedmann constructed agropolitan theory within the last paradigm.

Problems emerge since Government of Indonesia and academicians take agropolitan project from people-centered development into modernization paradigms. The paradigm inconsistency results difficulty to implement the project in villages. The project avoids income equality in highly populated villages. On the contrary –within modernization paradigm—Agropolitan Project may increase disparity between growth pole and hinterland villages within the project areas.

Keywords: regional economics paradigms, rural, regional disparity

Abstrak

Teori-teori ekonomi regional dapat dikelompokkan menurut paradigma modernisasi, ketergantungan, dan pembangunan berbasis manusia. Friedmann menciptakan teori agropolitan dalam paradigma terakhir.

Akan tetapi pemerintah Indonesia dan akademisi pendukungnya telah menggeser teori agropolitan ke dalam paradigma modernisasi. Inkonsistensi paradigmatik ini menyulitkan operasionalisasi program agropolitan di lapangan, sehingga alih-alih menciptakan pemerataan kemakmuran di perdesaan padat, justru secara konseptual hingga perolehan impak ternyata meningkatkan kesenjangan wilayah di antara desa-desa dalam satu wilayah program agropolitan.

Kata Kunci: paradigma teori ekonomi regional, perdesaan, kesenjangan wilayah

PENDAHULUAN

Selama berlangsungnya program agropolitan (2002-2005) selalu mencuat keprihatinan atas ketiadaan pemahaman yang sejajar di antara para perencana, pelaksana, pemonitor dan pengevaluasi program. Ketidaksejajaran pemahaman hampir bersifat mutlak, karena sudah muncul sejak tataran filosofis, pemahaman teoritis, penyusunan kebijakan, pemahaman tentang sharing dana oleh Pemda, sampai pada pelaksanaan proyek-proyek agropolitan di lapangan.

Program Agropolitan sempat vakum secara formal pada tahun 2006-2007, kemudian dikembangkan kembali sejak tahun 2008. Berdasarkan pengalaman sebelumnya –dan karena belum diperoleh pemecahan yang tepat—dapat diperkirakan ketidaksejajaran pemahaman di atas akan kembali terulang.

Tulisan ini membahas ketidaksejajaran pada aras filosofis dan teoritis, yang biasa dikenal sebagai lompatan paradigmatik. Pembahasan pada tataran abstrak ini berguna, karena selama ini telah digunakan sebagai bahan penyusun kebijakan di tingkat nasional maupun di daerah. Akibatnya suatu pemahaman yang salah dapat memiliki efek negatif yang mendalam.

Selama ini Program Agropolitan didasarkan oleh teori agropolitan yang dikemukakan oleh Friedmann pada tahun 1970-an (Friedmann, 1979; Friedmann dan Douglass, 1975), padahal teori ini telah berkembang lebih jauh, misalnya dituliskan kembali pada tahun 1998 (Douglass, 1998). Ketika teori agropolitan tersebut diimplementasikan dalam bentuk kebijakan publik, timbul isu-isu penting untuk pengembangan program. Pertama, sejauhmana kebijakan agropolitan selaras dengan teori agropolitan. Pada titik ini teori agropolitan digunakan untuk mengevaluasi logika di balik program agropolitan yang telah dijalankan selama ini. Namun sebelumnya akan digali terlebih dahulu pola pembacaan teori agropolitan mutakhir. Kedua, apa sumbangan teori agropolitan untuk pengembangan program agropolitan. Di sini teori agropolitan digunakan untuk memberikan rekomendasi bagi pengembangan program agropolitan. Tentu saja dengan asumsi bahwa program agropolitan tersebut masih akan tetap dijalankan dengan berpatokan pada teori agropolitan, baik yang pada mula-mula dikemukakan Friedman pada tahun 1970-an, maupun yang telah berkembang dan direfleksikan kembali pada tahun 1990-an (Friedmann, 1992).

FRIEDMANN PENGANUT PEMBANGUNAN BERBASIS MANUSIA

Dalam Seminar Nasional Pengembangan Agropolitan sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Wilayah secara Berimbang (Bogor, 9 September 2004), beberapa aparat Pemda mengemukakan secara terbuka mengenai kebutuhan mereka akan pemahaman yang komprehensif mengenai teori-teori yang melandasi Program Agropolitan. Secara praktis mereka juga membutuhkan buku-buku yang komprehensif sebagai bahan penyusunan kebijakan di daerah. Namun demikian, bahkan prosiding serangkaian hasil workshop yang dibagikan dalam acara itupun masih menunjukkan posisi yang tidak sejajar, bahkan berlawanan, di antara artikel-artikel di dalamnya.

Secara umum pembahasan terhadap teori agropolitan diletakkan pada dua posisi paradigmatik yang bertentangan, yaitu paradigma modernisasi dan paradigma ketergantungan. Dalam sub bab ini akan ditunjukkan bahwa penggagas awal teori agropolitan, yaitu John Friedmann, memegang posisi paradigmatik pembangunan lainnya, yaitu yang berpusat pada manusia (people-centered development). Hal ini lebih nyata lagi manakala gagasan awal teori agropolitan ini pada tahun 1970-an, diletakkan dalam konstelasi karya-karya Friedmann selanjutnya, sampai akhir 1990-an.

Perkembangan teori-teori pembangunan wilayah sendiri dapat disusun menurut tiga generasi. Pertama, paradigma modernisasi, yang muncul pada tahun 1950-an sampai 1960-an (Helmsing, 1999). Dalam paradigma ini diasumsikan bahwa hubungan suatu wilayah periferi yang lebih miskin dengan wilayah-wilayah pusat yang lebih maju akan mengakibatkan kemajuan dari wilayah periferi tersebut (Tabel 1). Wilayah periferi diuntungkan oleh hubungan dengan pusat, sehingga jika muncul masalah dalam pola hubungan pusat-periferi ini, cenderung digali permasalahan yang muncul dari wilayah periferi. Teori-teori yang muncul dalam generasi pertama ini berbasiskan pertumbuhan ekonomi, sentralistik atau bersifat top-down. Di antaranya yang terkenal ialah teori central place, teori ekonomi neoklasik/integrasi, teori kutub pertumbuhan (growth pole theory), dan teori export-base. Teori-teori dalam generasi ini menekankan pentingnya peran pemerintah, terutama pemerintah pusat, untuk menjadi aktor yang sangat penting dan menentukan corak pembangunan wilayah (Adell, 1999). Hal ini terutama diaksanakan melalui kekuasaan untuk mengatur (kebijakan) dan insentif finansial. Dalam pada itu infrastruktur dipandang sebagai instrumen yang sangat penting untuk meningkatkan demand (permintaan) masyarakat, sekaligus mengatasi kekurangan wilayah mereka.


Tabel 2.1. Posisi Teori-Teori Pembangunan Wilayah

Paradigma Pembangunan Wilayah

Teori Pembangunan Wilayah

Hipotesis Inti

Konsep Pembangunan

Area Intervensi

Target intervensi

Instrumen Intervensi

Modernisasi

Teori Central Place

Lokasi pusat layanan ialah fungsi dari kapasitas yang dibutuhkan dan biaya transportasi pengguna

Perencanaan lokasi yang cocok

lembaga layanan publik; lokasi layanan privat

meningkatkan suplai dan biaya lembaga publik; kesetaraan suplai dan pelayanan

Anggaran pemerintah; subsidi infrastruktur dan bangunan

Ekonomi neoklasik/ integrasi

Disparitas regional adalah fungsi dari kekurangan integrasi pasar dan kekurangan infrastruktur

Hubungan antar wilayah melalui pembangunan infrastruktur

pembangunan infrastruktur; infrastruktur kelembagaan; infratruktur personal

Hubungan wilayah yang berbeda pendapatan

Pengeluaran pemerintah (untuk infrastruktur), kerangka hukum, pendidikan/ pelatihan, informasi

Teori Growth Pole/ konsep pusat pertumbuhan

Lokasi industri adalah fungsi dari cabang penting industri itu, yang akan mengembangkan wilayahnya

Pembangunan pusat industri di wilayah tertinggal

Lokasi industri

Hubungan antar wilayah yang memiliki perbedaan reit pertumbuhan

Subsidi; wilayah industri; modal kerja langsung dari pemerintah

Teori Export-Base

Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah fungsi dari permintaan eksternal

Promosi sektor yang bisa diekspor

Strategi promosi sektoral

Pertumbuhan ekonomi wilayah

Kredit, subsidi, promosi investasi, infrastruktur, kewirausahaan

Ketergantungan

Teori Polarisasi

Disparitas regional muncul sebagai akibat dari hubungan antara wilayah maju dan terbelakang (efek keluar)

Hubungan ekonomi lokal yang terintegrasi; seleksi hubungan antar wilayah

Strategi promosi sektoral; pemilihan teknologi yang cocok

Persiapan langsung untuk mengatasi kemiskinan; penurunan resiko kepada produsen; peningkatan kemandirian

Pengembangan dan inovasi teknologi serbaguna; kredit; subsidi; infrastruktur transportasi lokal; sistem informasi lokal

Pembangunan Berbasis Manusia

Agropolitan; hubungan ekonomi lokal yang terintegrasi; hubungan wilayah yang terseleksi; pembangunan dari bawah; pendekatan wilayah

Strategi pertumbuhan menghasilkan matjinalisasi, ketergantungan dan pengasingan diri. Sebaliknya pembangunan yang mandiri menghasilkan integrasi massa, kepercayaan diri, dan mobilisasi kreatif

Hubungan antara pertanian dan industri kecil yang padat tenaga kerja, berorientasi kebutuhan lokal

Delineasi wilayah; produk unggulan; industri yang cocok, permintaan yang meningkat

Desa, kecamatan, kabupaten, wilayah lebih luas

Kebijakan ekonomi lokal; teknologi lokal, sumberdaya lokal


Dalam teori central place, lokasi pusat layanan merupakan fungsi dari kapasitas yang dibutuhkan wilayah tersebut dan sekitarnya, serta biaya transportasi penggunanya. Pembangunan wilayah di sini diarahkan kepada perencanaan lokasi yang cocok untuk fungsi tersebut. Pemerintah biasa melakukan intervensi melalui pengembangan lembaga pemerintahan dan swasta. Tujuan khusus yang hendak dicapai ialah peningkatan suplai dan biaya lembaga pemerintahan, serta menyetarakan suplai proyek pembangunan dengan pelayanan yang dihasilkannya. Proyek yang dikembangkan berupa penyesuaian anggaran pemerintah, pembangunan infrastruktur ekonomi dan bangunan fisik lainnya.

Teori pembangunan wilayah terintegrasi, atau disebut juga berbasis ekonomi neo-klasik, memandang disparitas regional sebagai fungsi dari kekurangan integrasi pasar dan kekurangan fasilitas infrastruktur. Konsep yang dikedepankan ialah hubungan antar wilayah melalui pembangunan infrastruktur. Oleh sebab itu program pembangunan mencakup infrastruktur fisik, kelembagaan dan personal. Target intervensi program mencakup wilayah yang berbeda dalam pendapatan daerah. Instrumen untuk mendukung program tersebut mencakup pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur, pelatihan dan penyampaian informasi program.

Adapun teori pusat pertumbuhan (growth pole theory) memandang lokasi industri sebagai fungsi dari cabang penting industri tersebut. Wilayah semacam inilah yang akan mampu mengembangkan wilayah-wilayah di sekitarnya. Tidak mengherankan bahwa konsep yang dikemukakan adalah pengembangan industri di wilayah tertinggal. Intervensi diarahkan kepada lokasi industri. Tujuan intervensi ialah menciptakan hubungan antar wilayah yang memiliki perbedaan reit pertumbuhan. Instrumen program mencakup subsidi, pengembangan wilayah industri, serta penyediaan akses modal kerja langsung dari pemerintah.

Teori export-base menganut pandangan bahwa pertumbuhan ekonomi wilayah merupakan fungsi dari permintaan eksternal. Oleh karena itu konsep pembangunan terfokus kepada promosi sektor-sektor yang memungkinkan untuk pengembangan ekspor. Area intervensi program demikian terpusat pada strategi promosi sektoral tersebut. Program tertuju kepada pertumbuhan ekonomi wilayah, yang dilaksanakan melalui kredit, subsidi kepada sektor strategis, promosi investasi di wilayah tersebut, pembangunan infrastruktur, serta pengembangan kewirausahaan.

Dalam kaitan dengan wilayah agropolitan, diketahui bahwa desa-desa klaster dibagi menurut istilah desa pusat pertumbuhan dan desa hinterland (Rustiadi dan Dardak, 2008; Rustiadi dan Pranoto, 2007). Kiranya hal ini sejalan dengan dengan teori pusat pertumbuhan, yang dikemukakan dalam growth-poles theory.

Kelemahan utama dari teori-teori berparadigma modernisasi ialah ketiadaan gejala penyebaran kesejahteraan (trickle-down effect) secara signifikan dari wilayah pusat ke wilayah pinggiran/hinterland/periferi. Sebaliknya muncul kasus-kasus dimana wilayah periferi mengalami penyedotan sumberdaya alam maupun manusia oleh wilayah pusat.

Di samping itu generasi teori-teori ini sulit menggali akar permasalahan pembangunan yang berasal dari hubungan antara wilayah pinggiran dan wilayah pusat. Kiranya hal ini terkait dengan asumsi yang mendasarinya, di mana akar permasalahan dipandang berasal dari dalam wilayah sendiri. Hal ini mengakibatkan akar permasalahan teoritis ini tidak kunjung teratasi. Demikianlah sehingga pertumbuhan suatu wilayah yang maju tidak bisa menggandeng wilayah-wilayah sekitarnya yang masih miskin. Dengan kata lain, pembangunan wilayah dari generasi teori ini sulit diwujudkan.

Kelemahan-kelemahan dari teori-teori pembangunan di atas kemudian dikritik oleh teori-teori pembangunan generasi kedua, yang biasa disebut sebagai teori-teori ketergantungan. Paradigma ini berkembang dan menguat pada dekade 1960-an. Sebagai reaksi atas generasi pertama di atas, maka teori-teori pembangunan wilayah di sini berada pada generasi yang berlawanan. Di dalamnya justru hubungan antara wilayah tertinggal/periferi dengan wilayah maju akan merugikannya. Ketika wilayah periferi makin terbelakang, kesalahannya ditimpakan kepada pola hubungannya dengan pihak-pihak dil uar dirinya. Paradigma ketergantungan ini mengedepankan pembangunan dari dalam masyarakat sendiri, berbasis aktor, sumberdaya dan kapasitas lokal. Kebijakan pemerintah tidak lagi bersifat dominan, melainkan diarahkan untuk mendukung inisiatif lokal. Di antara teori yang terkenal dalam paradigma ini ialah teori agropolitan.

Teori pembangunan wilayah yang tergolong ke dalam paradigma ini ialah teori polarisasi. Disparitas regional muncul sebagai akibat dari efek keluar sebagai hasil hubungan antara wilayah terbelakang ke/dan wilayah maju. Pembangunan wilayah didasarkan konsep hubungan ekonomi lokal yang terintegrasi, serta seleksi pola hubungan antar wilayah. Intervensi dilakukan dalam bentuk strategi promosi sektoral, serta pemilihan teknologi yang cocok dengan wilayah setempat. Program menjadi persiapan langsung untuk mengatasi kemiskinan, penurunan resiko kepada produsen, serta peningkatan kemandirian setempat. Program pembangunan ini terlaksana melalui pengembangan dan inovasi teknologi tepat guna, pengembangan akses kredit dan subsidi, pembangunan infrastruktur transportasi lokal, berikut sistem informasi lokal.

Kelemahan dari teori-teori keterbelakangan ialah sulit menjelaskan kemajuan wilayah terpencil setelah mendapatkan sentuhan program pembangunan wilayah. Teori ketergantungan memang biasanya juga bergerak dalam ranah yang abstrak dan melintasi negara. Sifat demikian menyulitkannya untuk diterapkan dalam pembangunan nasional (dalam satu negara).

Upaya untuk mendapatkan alternatif pembangunan menghasilkan paradigma pembangunan berbasis manusia (people-centered development) sejak dekade 1970-an. Paradigma pembangunan alternatif, yang selanjutnya biasa juga dinamakan pembangunan yang berpusat pada manusia, merumuskan kondisi akhir pembangunan pada saat seluruh anggota masyarakat maupun kelompok mampu merealisasikan potensi-potensi mereka. Perubahan sosial akan dilakukan melalui praktek pemberdayaan. Oleh karena itu pembangunan berperan sebagai proses pemberdayaan individu dan kelompok. Pembangunan akan dijalankan melalui individu-individu maupun gerakan masyarakat.

Teori pembangunan wilayah yang berpusat kepada manusia mencakup teori agropolitan, hubungan ekonomi lokal yang terintegrasi, hubungan wilayah terseleksi, pembangunan dari bawah, serta pendekatan wilayah. Teori-teori ini berpendapat, bahwa pertumbuhan juga menghasilkan marjinalisasi, ketergantungan dan pengasingan. Oleh sebab itu dibutuhkan pembangunan mandiri untuk menghasilkan integrasi massa, kepercayaan diri, dan mobilisasi kreatif. Konsep pembangunan yang dikemukakan berupa hubungan pertanian dan industri padat tenaga kerja, serta berorientasi kebutuhan lokal. Program mencakup kegiatan delineasi wilayah, penyusunan produk unggulan, pengembangan industri yang cocok dengan wilayah setempat, serta meningkatkan permintaan (demand) ekonomi masyarakat lokal. Program dikembangkan dalam wilayah desa, kecamatan, kabupaten/kota, bahkan lintas kabupaten/kota tersebut. Proyek mencakup kebijakan ekonomi lokal yang mendukung potensi lokalitas, pengembangan teknologi lokal, serta pemanfaatan sumberdaya lokal.

Sekarang menjadi jelas konteks paradigmatik kala teori agropolitan dilahirkan, yaitu dalam naungan pembangunan berbasis manusia (Friedmann, 1979; Friedman dan Douglas, 1975; Anugrah, 2003). Di dalamnya terdapat kritik terhadap modernisasi: (a). Terjadinya hyperurbanization, sebagai akibat terpusatnya penduduk di kota-kota yang padat; (b). Pembangunan “modern” hanya terjadi di beberapa kota saja, sementara daerah pinggiran relatif tertinggal; (c). Tingkat pengangguran dan setengah pengangguran yang relatif tinggi; (d). Pembagian penadapatan yang tidak merata (kemiskinan); (e). Kekurangan bahan pangan, akibat perhatian pembangunan terlalu tercurah pada percepatan pertumbuhan sektor industri (rapid industrialization); (f). Penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat desa (patani) dan (g). Terjadinya ketergantungan pada dunia luar.

Selanjutnya teori ini mengemuka pada dekade 1970-an sampai 1980-an. Dengan kata lain, teori agropolitan membawa filosofi ketergantungan wilayah tertinggal terhadap wilayah yang lebih maju. Di dalamnya muncul asumsi-asumsi yang menunjukkan upaya-upaya kemandirian lokal, dan mengatasi hubungan yang eksploitatif dengan wilayah-wilayah yang lebih maju. Hal ini dinyatakan antara lain dalam asumsi-asumsi teori agropolitan (Tabel 2), ialah:

  1. akses ke lahan pertanian dan air
  2. desentralisasi politik (pusat pengambilan keputusan)
  3. kebijakan nasional yang beralih menuju diversifikasi produk pertanian
  4. dijalankan secara demokratis, melalui strategi dari bawah (bottom up), partisipatif, serta mempertimbangkan konteks lokal.

Tabel 2. Asumsi-asumsi Teori Agropolitan

Desentralisasi

Demokrasi

Lahan

Sel 1

Sel 2

Air

Sel 3

Sel 4

Diversifikasi komoditas

Sel 5

Sel 6

Tabel tersebut menunjukkan perlunya akses masyarakat desa terhadap sumberdaya lahan, air, dan komoditas usahatani. Tidak boleh dilupakan, bahwa akses terhadap sumberdaya tersebut dilaksanakan secara desentralistis dan demokratis. Dapat dikatakan di sini, bahwa aspek yang penting diperhatikan mencakup adanya orientasi proses (yaitu desentralisasi dan demokrasi), serta orentasi hasil (lahan, air, diversifikasi komoditas).

Yang menarik ialah pengembangan teori agropolitan pada akhir 1990-an (Douglass, 1998; Friedmann, 1992) juga mengikuti paradigma generasi ketiga berbasis globalisasi ini. Perkembangan teori agropolitan selanjutnya juga didasarkan pada konsep-konsep jaringan. Implikasi penting dari perkembangan ini ialah muncul kebutuhan akan hubungan antar wilayah. Di sini arti klaster desa-desa agropolitan menjadi lebih bermakna.

Salah satu perbedaan penting dari teori agropolitan pada tahun 1970-an ialah, pada teori akhir 1990-an kota di wilayah perdesaan bukan lagi dipandang sebagai pusat pertumbuhan, melainkan sebagai wilayah yang berfungsi untuk mengurus hal-hal di luar pertanian dan fungsi politis-administratif. Pengetahuan lokal diejawantahkan dalam perencanaan lokal. Selanjutnya wilayah setingkat kabupaten/kota dipandang sebagai wilayah ideal untuk menerapkan teori ini.

LOMPATAN MENUJU PARADIGMA MODERNISASI

Pada saat ini, sayangnya, teori agropolitan dibaca dan dipraktekkan dalam ranah paradigma modernisasi, yang sebetulnya justru hendak dilawannya. Kiranya pilihan semacam ini berkaitan dengan, pertama, kesejajaran dengan paradigma besar pembangunan Indonesia. Indikasi paradigma modernisasi ditunjukkan oleh kebutuhan bantuan luar negeri yang tinggi, penggunaan tahapan ekonomi Rostow (misalnya dalam penentuan konsep “tinggal landas”), memperkuat pertumbuhan ekonomi daripada pemerataannya. Kedua, bias dalam membaca teori agropolitan menurut paradigma modernisasi, baik oleh kalangan akademisi maupun aparat pemerintah. Semula naskah teori ini memang muncul dalam suatu seminar tentang teori-teori pertumbuhan, demikian pula publikasinya secara luas terdapat dalam buku yang bertema teori pertumbuhan wilayah. Kondisi semacam ini seringkali digunakan pihak-pihak lain untuk membaca teori agropolitan melalui paradigma teori pembangunan wilayah generasi pertama. Hal yang sama juga muncul dalam upaya penerapan teori agropolitan dalam kebijakan publik di Indonesia.

Suatu perkembangan yang lebih baru tentang upaya membaca teori agropolitan jelas-jelas menunjukkan pemakaian paradigma modernisasi, sekalipun dengan pendekatan yang berbeda-beda. Contohnya Bappenas mengemukakan pendekatan pro-poor growth, yang mengemukakan sisi pertumbuhan ekonomi yang sempat memberikan ruang bagi penduduk miskin. Dalam pendekatan ini pertumbuhan tetap menjadi acuan utama, namun tidak diupayakan secara maksimal. Sebagai gantinya sebagian akses kepada pertumbuhan diberikan kepada penduduk miskin.

Sedangkan P4W IPB mengemukakan pendekatan balanced development (pembangunan berimbang). Asumsi pendekatan ini ialah adanya kutub-kutub pertumbuhan. Dalam pendekatan ini pembangunan hendak disebarkan kepada daerah-daerah yang lebih terbelakang, namun tetap dengan pemikiran bahwa pertumbuhan kutub yang sudah berkembang tetap diteruskan sambil menyiapkan wilayah sekitarnya untuk menyerap dan meneruskan pertumbuhan tersebut. Pendekatan pembangunan berimbang memiliki nuansa sebagai pembangunan wilayah. Dalam prakteknya di Jawa Timur hal ini tidak serta-merta mengakibatkan pemerataan kesejahteraan di wilayah-wilayah yang lebih terbelakang.

Berkaitan dengan program agropolitan, sebagaimana seringkali dikutip, teori agropolitan diwujudkan dalam kebijakan pembangunan kota-kota tani. Perlu ditekankan di sini bahwa tekanan lebih banyak tertuju pada terbangunnya kota-kota tani, yang diharapkan selanjutnya memberikan dampak kesejahteraannya ke wilayah perdesaan sekitarnya. Dengan kata lain, kota-kota pertanian itu dinyatakan sebagai wilayah pusat-pusat pertumbuhan.

Di wilayah perdesaan juga ditumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan dalam bentuk desa pusat pertumbuhan (DPP). Lebih jauh lagi, dirumuskan orde-orde yang meliputi dilineasi wilayah agropolitan, di mana wilayah yang lebih bersifat perdesaan lebih berfungsi sebagai penyedia sumberdaya primer, bersamaan sebagai pasar industri dari orde yang lebih bersifat perkotaan. Hal terakhir ini, misalnya, berlawanan dari upaya Friedman dalam menyusun teori ini, yaitu untuk desa-desa di Asia yang padat penduduk, yang mengarah kepada pembangunan industri-industri padat karya.

Dengan pembacaan teori agropolitan yang berbias teori pusat pertumbuhan, secara teoritis sulit mengharapkan program agropolitan akan menciptakan kemajuan ekonomi lokal. Kekhawatiran yang muncul sejalan dengan ekses dari penerapan teori pusat pertumbuhan, yaitu justru eksploitasi kawasan tertinggal oleh kawasan yang lebih maju.

Patut disayangkan bahwa pembacaan yang berbias modernisasi di atas justru muncul ketika sebagian asumsi-asumsi teori agropolitan mulai terwujud. Asumsi proses desentralisasi telah terpenuhi sejak tahun 2001, melalui pelaksanaan UU 22/99 dan UU25/99 tentang otonomi kabupaten dan otonomi desa, serta pembagian keuangan pusat dan daerah. Kedua UU ini dijadikan landasan perundang-undangan yang mendasari pelaksanaan program agropolitan. Tentu saja masih terdapat kekurangan dalam pelaksanaan UU-UU tersebut, baik mencakup sebagian aspek keuangan yang masih dikuasai pusat, maupun kekuasaan politik lokal yang berlebihan di daerah. Namun secara keseluruhan terdapat perubahan yang signifikan dalam pelaksanaan kebijakan publik sejak menguatnya otonomi daerah ini.

Proses demokratisasi juga mulai muncul sejak reformasi pada tahun 1998. Dapat dikatakan bahwa di desa-desa makin menguat desakan dari masyarakat untuk turut dilibatkan dalam proses-proses pembangunan perdesaan, baik pada tataran perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi. Tentu saja di sinipun masih terdapat kekurangan, di mana partisipasi bisa berupa mobilisasi masyarakat, namun jelas pula bahwa demokrasi perdesaan makin meningkat.

Di samping penerimaan asumsi yang berkenaan dengan proses-proses sosial tersebut, pada saat ini juga telah terpenuhi asumsi diversifikasi komoditas pertanian. Peraturan perundangan yang terutama melandasi hal ini ialah UU Budidaya Tanaman No. 12/1992. Melalui perundang-undangan tersebut, petani bebas untuk memilih komoditas pertanian yang akan mereka budidayakan sendiri. Proses diversifikasi ini tentu juga mempertimbangkan proses demokratisasi di bidang pertanian.

Pada kenyataannya diversifikasi memberi peluang kepada petani untuk mengusahakan komoditas pertanian yang menguntungkan diri mereka sendiri. Adapun dampak negatif dari diversifikasi yang bersifat otonom ini, ialah menurunnya kekuasaan pemerintah untuk mengarahkan suatu wilayah untuk mengembangkan komoditas tertentu. Selain itu data-data lapangan perihal budidaya komoditas pertanian menunjukkan kecenderungan menurun.

Dalam kaitan dengan program agropolitan, arti komoditas unggulan juga perlu diletakkan dalam konteks diversifikasi komoditas pertanian. Alat intervensi untuk mewujudkan wilayah dengan komoditas pertanian tertentu tidak bisa sekedar kebijakan yang bersifat memaksa, melainkan minimal bersifat remuneratif. Dalam pandangan terakhir, komoditas dapat menjadi unggulan masyarakat di suatu wilayah selama relatif masih menguntungkannya. Dalam hal ini kebijakan-kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah diarahkan untuk meningkatkan remunerasi bagi masyarakat perdesaan.

Barangkali iklim yang tidak kondusif lebih berkaitan dengan akses masyarakat terhadap lahan dan air. Akses tersebut dapat diwujudkan dalam dua hal. Pertama, bentuk-bentuk kepemilikan. Di sini akses baru muncul ketika anggota masyarakat memiliki hak milik atas lahan dan air. Contohnya masyarakat mengerjakan lahan yang memang menjadi miliknya. Pola kepemilikan yang efektif, di mana lahan yang dimiliki dapat dikerjakan pemiliknya sendiri, sayangnya, hanya berlaku pada petani-petani lapisan bawah, yang memiliki kepemilikan lahan terbatas, rata-rata di bawah 0,5 Ha. Dari beragam Sensus Pertanian dapat ditunjukkan adanya peningkatan jumlah petani tidak berlahan, namun bersamaan dengan petani yang memiliki lahan luas. Hal ini menunjukkan munculnya gejala pemusataan kepemilikan lahan kepada petani lapisan atas.

Kedua, bentuk-bentuk penguasaan efektif. Di sini tercakup fenomena petani yang mengusahakan sebidang lahan, meskipun lahan tersebut bukan miliknya. Ia memperoleh akses melalui kelembagaan sewa, sakap, atau gadai lahan. Dengan cara demikian mereka masih bisa melakukan usahatani tanpa perlu memiliki lahan. Untuk memperoleh akses tersebut mereka memerlukan modal berupa dana, namun bisa juga berupa modal sosial, misalnya hubungan-hubungan kekerabatan dan ketetanggaan.

Dalam pada itu, sejak tahun 1990-an muncul generasi ketiga dari teori pemabngunan wilayah, yang mempertimbangkan aspek nasional dan internasional (globalisasi) bersama-sama dengan aspek lokal. Selanjutnya generasi terkahir ini mengarah kepada munculnya kebijakan yang bersifat sistemik, tidak terpisah-pisah antara dominasi eksogenus atau endogenus. Konsep utama yang muncul dalam generasi ini ialah jaringan fisik maupun sosial.

MENGEMBALIKAN AGROPOLITAN

PADA PARADIGMA PEMBANGUNAN BERBASIS MANUSIA

Upaya untuk menggunakan landasan teoritis untuk pengembangan program didasarkan pada perkembangan mutakhir dari program-program pembangunan, di mana aspek teoritis digunakan untuk menguatkan landasan logis dari suatu program pembangunan. Pada saat ini, misalnya, Bank Dunia seringkali mensyaratkan konsiderans akademik untuk mencairkan bantuan luar negeri (BLN) bagi program pembangunan. Secara mendalam penggunaan teori tidak saja dilakukan pada tahap perencanaan, melainkan bahkan sampai evaluasi program pembangunan (theory-based evaluation).

Sebagaimana terlihat di depan, terdapat dua tafsir dalam menginterpretasi teori agropolitan: pertama, menggunakan perspektif pusat-pusat pertumbuhan, di mana agropolitan dipandang sebagai trickle down effect dari kota-kota pertanian kepada wilayah perdesaan miskin sekelilingnya. Pandangan ini berkembang pula di Indonesia, yang diwujudkan dalam pembentukan desa-desa pusat pertumbuhan untuk menggerakkan desa-desa hinterland sekitarnya. Meskipun awal mula teori agropolitan muncul dalam seminar (dan buku) mengenai teori pusat pertumbuhan (Friedman dan Douglass, 1974), namun sejatinya di dalamnya justru termuat kritik terhadap teori pusat pertumbuhan tersebut.

Oleh karenanya teori ini lebih tepat diinterpretasi melalui pendekatan kedua, yaitu menggunakan perspektif kemandirian wilayah dan masyarakat dalam paradigma pembangunan berpusat pada manusia. Sebetulnya kedua perspektif ini berbeda sifat –atau lebih tegas bersifat bertolak belakang. Sementara pandangan pusat pertumbuhan berorientasi kepada pasar bebas dan memandang hubungan keluar desa tersebut menguntungkan, sebaliknya teori agropolitan memandang pasar perlu diarahkan agar mengembangkan potensi lokal, menguntungkan pendudukan di kawasan agropolitan seraya mengarahkan agar hubungan keluar kawasan agropolitan tetap menguntungkan penduduk desa.

Lompatan paradigmatik dari pembangunan berbasis manusia menujuu modernisasi menghasilkan desain Program Agropolitan yang tidak memungkinkan upaya penumbuhan potensi warga desa, tanpa ketakutan akan pengalihan surplus tersebut justru ke wilayah perkotaan yang memiliki tingkatan lebih tinggi. Dengan kata lain, sulit untuk menggambarkan keberhasilan secara teoretis program agropolitan ini. Atau tetap muncul kesulitan untuk menjelaskan pengaruh program ini manakala tujuan kemandirian mansyarakat berhasil.

Seandainya Program Agropolitan diletakkan kembali pada rel yang tepat secara teoretis dan paradigmatik (people-centered development), maka rekomendasi program menjadi lebih terarah. Pertama, muncul kebutuhan klaster wilayah agropolitan sebagai suatu sistem jaringan yang terpadu. Sebagaimana dikemukakan di muka, generasi ketiga teori-teori pembangunan wilayah yang menekankan jaringan, ternyata mempengaruhi penekanan dalam teori agropolitan, yaitu dari semata-mata kemandirian lokal, menjadi pola jaringan di antara wilayah yang tergolong kawasan agropolitan.

Sebagaimana beragam dimensi dalam pembangunan wilayah, maka jaringan ini perlu dimaknai sebagai jaringan fisik, sosial, ekonomi, politik, sampai budaya. Sebagai jaringan fisik, maka diperlukan prasarana dan sarana yang mampu menghubungkan antar wilayah. Komponen proyek tersebut tidak saja mencakup jalan dan jembatan, melainkan juga irigasi dan pasar. Sebagaimana sejak lama dipraktekkan di Bali, kelembagaan subak untuk mengurusi irigasi telah menghubungkan penduduk antar desa, yaitu yang menggunakan DAS dan saluran irigasi yang sama. Pasar juga menghasilkan pertemuan yang damai (yaitu melewati kegiatan jual beli) antar penduduk di wilayah cakupan layanan pasar tersebut. Sedangkan jalan dan jembatan telah lama diketahui berfungsi untuk menghubungkan antar penduduk, di antara wilayah dalam desa, maupun dengan kelembagaan ekonomi, pendidikan, pemerintahan di luar desa.

Salah satu inti dari konsep jaringan ialah terwujudnya perasaan sebagai satu kesatuan dalam satu wilayah jaringan tersebut. Dari sini terlihat bahwa pembangunan fisik baru memunculkan fungsi-fungsi jaringan ketika warga di wilayah tersebut memiliki perasaan kesatuan di antara mereka sendiri.

Implikasi yang penting untuk mengembangkan program agropolitan ialah pembentukan rasa kebersamaan dalam klaster desa-desa yang tercakup dalam wilayah agropolitan. Untuk melaksanakan kegiatan ini, komponen-komponen proyek yang dibangun dalam program agropolitan dapat digunakan sebagai bahan dasar. Irigasi, pasar, jalan dan jembatan bisa digunakan untuk mengembangkan simpul-simpul kebersamaan warga desa-desa klaster, dalam rangka memelihara dan meningkatkan fasilitas fisik, serta mengembangkan dan mempertahankan keuntungan warga desa secara berkesinambungan. Di sini pertemuan, kerja bersama, bahkan sampai terbentuknya struktur kelompok menjadi penting sebagai wadah untuk mewujudkan kebersamaan klaster desa.

Kedua, keberlanjutan program sesuai penggunaan sebanyak mungkin sumberdaya lokal, baik alam, teknologi, maupun social. Sebagai lawan dari paradigma modernisasi, tentu saja teori agropolitan menekankan kemandirian atau otonomi wilayah, dalam hal ini klaster desa-desa agropolitan. Upaya kemandirian antara lain diwujudkan dalambentuk penggunaan sebanyak mungkin sumberdaya lokal. Selama ini strategi semacam ini berguna pula untuk menjaga sustainabilitas program-program pembangunan.

Sumberdaya lokal dapat berujud sumberdaya alam, teknologi dan hubungan antar warga desa. Penggunaan sumberdaya alam lokal berperan penting untuk meningkatkan efisiensi atau penurunan biaya pembangunan komponen proyek. Contohnya batang kelapa yang telah dibelah bisa digunakan untuk pembuatan jembatan secara relatif kuat dan tahan lama. Program agropolitan juga bisa menyediakan menu-menu pemeliharaan komponen proyek dengan sumberdaya alam lokal, sehingga meningkatkan peluang pemeliharaan oleh penduduk setempat, dengan sumberdaya setempat pula. Hal ini memungkinkan pemeliharaan proyek secara berkesinambungan.

Sebagaimana disebutkan di muka, pengetahuan lokal juga perlu dikembangkan untuk mendukung program agropolitan. Pengetahuan lokal ini dapat diwujudkan dalam teknologi-teknologi yang dikembangkan penduduk lokal, maupun yang telah biasa mereka operasikan. Contohnya bengkel pembuatan papan-papan dari batang kelapa bisa digunakan untuk pembangunan pasar maupun jembatan. Dengan menggunakan teknologi lokal, maka terbuka peluang pemeliharaan oleh masyarakat lokal, sekaligus mengembangkan peluang kerja di sana.

Salah satu sisi penting penggunaan teknologi di wilayah perdesaan ialah bias gender yang biasa mengikutinya. Teknologi yang dipandang (meski kenyataannya bisa berbeda) rumit, membutuhkan tenaga besar atau kasar, biasanya membuka peluang penggunaannya oleh laki-laki. Sebaliknya teknologi yang dipandang sederhana, hanya membutuhkakn tenaga kecil serta membutuhkan ketrampilan yang dipandang halus, biasanya diperuntukkan bagi perempuan.

Sumberdaya lokal lainnya yang penting dalam klaster desa-desa agropolitan ialah modal sosial. Modal sosial ini mencakup hubungan-hubungan (yang biasanya informal) yang selama ini mengikat antar warga di suatu desa atau klaster desa. Hubungan-hubungan informal ini bisa digunakan untuk mengembangkan ikatan dalam jaringan penduduk klaster desa. Di antara hubungan sosial yang penting ialah hubungan kekerabatan, hubungan ketetanggaan, hubungan perkawinan, hubungan satu nenek moyang, keterikatan dalam sejarah desa atau lokasi yang sama, hubungan yang muncul sebagai implikasi dari penggunaan sumberdaya yang sama dan lintas desa.

Sumberdaya-sumberdaya lokal di atas berpotensi sebagai pengikat program agropolitan kepada masyarakat pemanfaat. Minimal di dalamnya terdapat manfaat-manfaat: efisiensi biaya proyek pembangunan, efek multiplier bagi ekonomi local, menjaga sedemikian hingga keuntungan lokal tidak banyak tersedot keluar wilayah agropolitan, memudahkan pemeliharaan komponen proyek, memungkinkan swadaya masyarakat untuk mengembangan proyek itu sendiri.

Ketiga, mengarahkan pembangunan komoditas unggulan ke arah agroindustri yang memiliki nilai tambah. Dengan mendudukkan secara berlawanan dari paradigma modernisasi, sesungguhnya teori agropolitan telah mampu meramalkan peluang negatif dari hubungan antara wilayah perdesaan dan wilayah perkotaan. Efek negatif tersebut berujud pada penyedotan keuntungan perdesaan ke wilayah-wilayah lain yang lebih maju.

Salah satu penyebab keluarnya keuntungan lokal ialah pembagian wilayah yang merugikan wilayah perdesaan secara ekonomis (dan hal ini dilandasi oleh paradigna modernisasi dalam ujud teori pusat pertumbuhan). Dalam pembagian wilayah tersebut, wilayah perdesaan difokuskan sebagai wilayah pengembangan produksi pertanian. Semakin tertinggal desa tersebut (misalnya desa hinterland) maka semakin jelas posisinya untuk produksi pertanian. Pemilahan wilayah berdasarkan fungsi-fungsi agribisnis yang terpisah-pisah (di mana fungsi yang semakin ke hilir diduduki oleh wilayah yang semakin menjadi kota), mendudukkan wilayah perdesaan (yang seharusnya menjadi pemanfaat utama program agropolitan), berada pada posisi yang paling merugi. Produksi pertanian bersifat in-elastis, di mana harga nominal sulit berubah, sementara inflasi meningkat, sehingga harga riil bahan-bahan mentah pertanian ini selalu menurun. Di samping itu nilai tambah dari produksi pertanian relatif lebih rendah daripada agroindustri. Hal ini berarti bahwa modal yang ditanamkan petani dalam produksi pertanian hanya memberikan keuntungan yang lebih kecil daripada ketika diinvestasikan ke dalam agroindustri.

Dalam konteks problem ini, sebetulnya teori agropolitan telah diarahkan untuk mengembangkan agroindustri berbasis sumberdaya lokal (alam maupun manusia), bahkan diutamakan pada wilayah-wilayah yang padat penduduk di Asia. Upaya transformasi ekonomi ke dalam agroindustri memiliki minimal dua keuntungan di atas, yaitu mengubah ciri harga in-elastis menjadi harga elastis, serta meningkatkan nilai tambah dari komoditas pertanian tersebut. Dengan kata lain, upaya-upaya yang diarahkan untuk mengembangkan agroindustri dalam wilayah agropolitan sangat berguna untuk memastikan bahwa program ini memberikan manfaat bagi masyarakat lokal di perdesaan.

Dalam kaitan industrialisasi desa berbasis komunitas lokal tersebut, maka komponen program agropolitan bisa disusun secara lebih spesifik. Selama ini komponen proyek diarahkan untuk mengembangkan ekonomi produktif masyarakat. Arahan semacam ini sekarang bisa lebih dispesifikkan, menjadi arahan untuk mewujudkan dan mengembangkan agroindustri di perdesaan. Jalan usahatani, misalnya, bisa ditingkatkan menjadi jalan pemasaran dari agroindustri. Demikian pula jembatan. Pasar tidak saja ditujukan untuk memasarkan produk-produk primer, melainkan diarahkan juga untuk memasarkan hasil sekunder agroindustri. Dalam hal ini bangunan penyimpanan menjadi penting dari segi kesehatan maupun keselamatan. Air bersih diperlukan untuk memproses barang-barang dari komoditas primer menjadi komoditas sekunder.

Keempat, kebutuhan kebijakan intervensi pasar untuk kepentingan masyarakat desa. Pada Tabel 1 telah tertera bahwa instrumen untuk melakukan intervensi dalam program agropolitan terutama kebijakan ekonomi lokal. Dengan membaca pola intervensi ini menurut paradigma kemandirian, jelaslah bahwa teori agropolitan berada dalam konteks melakukan intervensi terhadap ekonomi pasar, bukan membiarkan mekanisme ekonomi pasar berlaku dengan sendirinya. Upaya intervensi tersebut diarahkan untuk menjaga agar keuntungan tetap dirasakan oleh masyarakat desa sebagai pemanfaat program agropolitan.

Kembali di sini perlu ditekankan bahwa intervensi terhadap ekonomi pasar juga diarahkan untuk mewujudkan dan mengembangkan agroindustri berbasis komunitas lokal. Oleh sebab itu beberapa hal yang perlu diperhatikan ialah:

  1. intervensi yang memungkinkan masyarakat desa memiliki akses ke lembaga permodalan formal. Sebagai perbandingan, industriawan raksasa biasanya memulai usahanya dengan sebagian besar modal bank, sementara industriawan mikro harus mengusahakan modalnya sendiri. Hal ini tentu menyulitkannya. Oleh sebab itu kelembagaan keuangan mikro maupun kecil menjadi penting sebagai penyedia modal bagi mereka.
  2. Pembentukan lembaga future trading. Dapat dikatakan bahwa petani pada dasarnya telah memiliki bahan yang bisa diperjualbelikan, tepat begitu mereka menanam komoditas di lahannya. Kenyataan ini selama ini sudah digunakan oleh tengkulak dengan menyediakan kelembagaan ijon yang merugikan petani. Dalam ijon tersebut tengkulak membayar lebih dulu komoditas petanian sebelum masak atau panen dengan harga yang jauh lebih murah. Alasannya komoditas tersebut masih hijau atau belum masak. Pola pemikiran dan kelembagaan inilah yang perlu diganti menjadi lembaga future trading, di mana komoditas yang belum masak tersebut telah dipandang sebagai calon dari panen yang bisa sukses. Melalui future trading tersebut harga komoditas menjadi lebih mahal, karena ditentukan melalui lelang yang lebih rasional

DAFTAR PUSTAKA

Adell, G. 1999. Theories and Models of the Peri-Urban Interface: A Changing Conceptual Landscape. DPU-University College. London.

Anugrah, IS. 2003. Kunci-kunci Keberhasilan Pengembangan Agropolitan. In: Sinar Tani, 17 Maret 2003

Douglass, M. 1998. A Regional Network Strategy for Reciprocal Rural-Urban Linkage: An Agenda for Policy Research with Reference to Indonesia. TWPR Vol. 20 No. 1.

Friedmann, J. 1992. Empowerment: The Politics of Alternative Development. Cambridge: Blackwell.

Friedmann, J. 1979. Basic Needs, Agropolitan Development and Planning from Below.In: World Development Vol. 7

Friedmann, J, M. Douglass. 1975. Agropolitan Development: Towards a New Strategy for Regional Development in Asia. Makalah disampaikan pada United Nations Centre for Regional Development, Nagoya, November 1975.

Helmsing, AHJ (Bert). 1999. Flexible Specialisation, Industrial Clusters and Districts and “Second” and “Third Generation” Local and Regional Policies. Working Paper No. 305. ISS. The Hague

Rantetoding, P. 2004. Strategi Pengembangan Infrastruktur Perdesaan dan Tata Ruang dalam Konsep Pengembangan Kawasan Agropolitan. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Pengembangan Agropolitan sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Wilayah secara Berimbang, di Bogor, 9 September 2004

Rustiadi, E., E.E. Dardak. 2007. Agropolitan: Strategi Pengembangan Pusat Pertumbuhan pada Kawasan Perdesaan. Bogor: Crescent

Rustiadi, E., S. Pranoto. 2007. Agropolitan: Membangun Ekonomi Perdesaan. Bogor: Crescent.

Rustiadi, E., S. Hadi. 2004. Pengembangan Agropolitan sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Pembangunan Berimbang, In: Prosiding Workshop Pengembangan Agropolitan sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Wilayah Secara Berimbang. P4W-IPB dan P3PT. Bogor.



[1] Sosiolog Pedesaan Institut Pertanian Bogor. Email iagusta@hotmail.com; webblog www.iagusta.blogspot.com