Rabu, 12 November 2008

Kritik Paradigma PNPM Mandiri (Critique on Paradigm of PNPM Mandiri)

Oleh Ivanovich Agusta

Mengiringi calon presiden, di layar kaca kerap tersaji iklan PNPM Mandiri (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat). Terperangkap imaji rakyat lebih suka menonton daripada membaca, advertensi di berbagai stasiun televisi itu hampir sepenuhnya kalis di koran dan majalah.

Dioperasionalkan melalui utang luar negeri sejak tahun 1998 dalam Program Pengembangan Kecamatan (PPK) –dokumen resmi menulisnya sebagai kelanjutan Inpres Desa Tertinggal (IDT) tahun 1993—kampanye berbiaya akbar menjelang Pemilu ini mungkin berhasil mencuri perhatian publik.

Namun dijejalkan dalam media audio visual yang bersifat instan, PNPM Mandiri berpotensi melenakan kesadaran pemirsa. Pada titik inilah dibutuhkan penggugah pirsawan agar bangkit mandiri menelisik kaidah efisiensi yang bersembunyi dalam candu partisipasi.

Persembunyian CDD

Indonesia tidak sendirian menjalankan PNPM Mandiri. Tiada kekhasan konteks nasional yang lazim disyaratkan pembangunan partisipatif.

Sebaliknya, perjalanan program serupa di negara-negara Selatan memungkinkan pendonor utama Bank Dunia mengembangkan teori program CDD (community-driven development, pembangunan yang berpusat pada keputusan rasional masyarakat). Lahir pula bayi kembar lainnya: partisipasi, modal sosial, trust, community development, good governance. Kerabat konsep tersebut cepat diadopsi lembaga donor lain, masuk dalam diskursus pembangunan nasional, perkuliahan, hingga diskusi aktivis.

Sayangnya, menggenggam filsafat idealisme memaku langkah menuju titik tipe ideal, bahwa seluruh konsep dipandang baik. Idealisasi menabiri peperangan diskursif faktual, ketika konsep yang sama sebenarnya tumbuh dalam rahim paradigma yang berlawanan. Kerabat konsep di atas terbagi menurut kehendak perubahan struktur sosial mendasar yang digendong kaum marxis, atau pengembangan potensi individu dan kelompok sebagaimana digandeng Lembaga Swadaya Masyarakat. Berbeda induk, PNPM Mandiri dengan CDD mendiami paradigma efisiensi pembangunan.

Paradigma efisiensi mengasumsikan pengambilan keputusan secara rasional (dibaca kembali: CDD). Terpampang di layar kaca, masalah sosial haruslah disusun bertingkat, dilarang memutlakkan satu pokok masalah. Tujuan juga wajib tersusun hierarkis, dan haram memetik cuma satu tujuan. Di antara keduanya, langkah pencapaian harap berjumlah lebih dari satu.

Pengambilan keputusan rasional bersatu muka dengan efisiensi, yang diambil dengan menetapkan biaya termurah atas susunan masalah, tujuan, dan cara pencapaian. Benarlah memandang proses partisipasi dalam paradigma efisiensi sebagai kuda troya pembawa neoliberalisme ke penjuru nusantara.

Paradigma efisiensi menggeser ideologi, etika, bahkan tujuan hidup tradisional sebagai basis pemilihan kegiatan. Atau minimal basis yang dinilai tidak rasional itu harus turut bersaing memenangkan efisiensi tertinggi. Alasan pengalaman saja, atau argumen religius belaka, tidak layak dijadikan fondasi pembangunan menara air.

Kompetisi atau persaingan berangkulan dengan kaidah zero sum game dalam transaksi atau pertukaran sosial. Mengasumsikan aljabar persamaan, kekuasaan diandaikan bernilai satu. Jika diberikan kepada orang lain, maka kekuasaan diri sendiri berkurang. Kekuasaan negara dipandang berlebihan dan korup sehingga menghalangi demokrasi liberal. Untuk mengatasinya dengan penguatan rakyat, dana PNPM Mandiri mengalir langsung kepada kelompok masyarakat, menghindari kebocoran keran birokrasi terutama di daerah.

Pertanyaan Kritis

Praktek di lapangan mengangkangi asumsi CDD yang terejawantahkan dalam dokumen pedoman. Sesama warga desa senantiasa mencari jalan berbagi proyek. Pemerintah pusat berbagi (sharing) dana operasional dengan pemerintah daerah. Terlihat etika berbagi kita berlawanan dari asumsi persaingan CDD.

Persamaan aljabar mengaburkan fakta eksploitasi berupa mengalirnya sumberdaya masyarakat kepada pemerintah dan terakumulasi di lembaga donor. Dilaporkan nilai proyek terbangun sekitar dua kali lipat daripada dana yang digelontorkan. Tepatkah memandang fakta ini sebagai keberhasilan partisipasi pemanfaat dan efisiensi pembangunan, sehingga membenarkan meminta utangan luar negeri kembali? Tidakkah lebih sahih merekamnya sebagai eksploitasi warga lewat tirani partisipasi? Ada warga bertanya, “Mengapa warga miskin di desa tertinggal harus menyumbang tenaga, material dan waktu kerja untuk membangun jalan dan sekolah? Padahal orang kota mendapatkannya tanpa diminta dan gratis”.

Rakyat dan pemerintah sudah menyumbang PNPM Mandiri, tapi ke manakah sebenarnya keuntungan proyek mengalir? Ke kantong swasta –sesuai kaidah neoliberalisme—yang mengendalikan desain program, operasional, pelaporan, hingga dokumentasi data. Sudah lebih dari satu dekade lalu direncanakan pengalihan tanggung jawab kepada birokrasi negara, namun hingga kini hanya nihil belaka.

Elemen-elemen PNPM Mandiri sebelumnya hanya mendatangi segelintir desa –pemenang kompetisi proposal—tapi saat ini seluruh desa tersapu program. Setelah eksis di sekitar kita, mengapa justru kini dilancarkan iklan di televisi nasional? Mengapa kampanye tidak diarahkan ke televisi luar negeri tempat warganya tidak mendapatkan program ini?

Evaluasi saya, alokasi biaya pembangunan dalam program pemberdayaan rata-rata Rp 125 juta per desa periode 1998-2004. Nah, berapa miliar dihabiskan sebagai biaya produksi sampai penayangan ke seantero stasiun televisi? Jadi, berapa desa gagal dibangun gara-gara diseminasi televisi?

Sebenarnya tayangan itu demi PNPM Mandiri, penguasa, atau swasta?