Sabtu, 13 September 2008

Indonesia dalam Pertautan Budaya Pembangunan dan Budaya Warga Desa (Indonesia as a Link of Development and Villagers Cultures)

Oleh Ivanovich Agusta

Abstrak

Imajinasi desa masa datang sebagai bagian imajinasi Indonesia membutuhkan ”kacamata” baru yang mampu mencuatkan problem mempertautkan budaya pembangunan dengan budaya warga. Pendekatan baru yang diajukan ialah genre Sampai Mana (suatu tujuan pembangunan tercapai), di mana orientasi praksis dijadikan landasan pertautan analisis budaya dan struktur sosial. Kritik dekonstruktif atas budaya pembangunan diarahkan kepada landasan budaya humanisme Kantian, evolusionisme dan perencanaan pembangunan, politik keruangan, serta kapitalisasi pembangunan desa.

Setelah disandingkan antara budaya pembangunan yang berpotensi menyeragamkan dan budaya warga yang beragam, langkah awal untuk membangun imajinasi baru Indonesia masa datang tertuju pada dimensi toleransi dalam bentuk koartikulasi antar pihak yang melakukan transformasi sosial. Artikel ini selanjutnya mengusulkan praksis familiasi, yaitu imajinasi struktur keluarga sebagai penerjemah terhadap segala hal dari luar. Terfokus kepada lapisan bawah, maka konstruksi familiasi diarahkan untuk menguatkan lapisan bawah.

Kata kunci: dekonstruksi, genre sampai mana, praksis familiasi

Abstract

The construction of next imagined-village as parts of the next imagined-Indonesia needs a new genre on embedding the culture of development and the culture of civil-village. The article presents an “Until-Where” genre (on where aims of development reached). In the genre, praxis orientation becomes a context of both cultural analysis and social structure. Deconstructive critique of the culture of development is on Kantian humanism, evolutionism and development planning, the politics of space, and capitalization on village development.

Co-articulation between the culture of development (tends to unification) and the culture of civil-village (tends to variation) is constructed, firstly, on toleration between stake-holders for social transformation. Then the article proposes “Praxis of Familiation”, i.e. imagination on family structure as a translation process for everything out there. Focused on the lower stratum, the familiation should be used for empowering the lowest one.

Key words: deconstruction, “Until-Where” genre, “Praxis of Familiation”

Merumuskan Masalah Pertautan Budaya

Konsep ”pembangunan” dalam tulisan ini sama dengan konsep ”development” sebagai perubahan sosial yang terencana dari keadaan tradisional menuju keadaan modern. ”Desa” dilihat sebagai satuan administrasi formal di bawah kecamatan. Kedua konsep tersebut tidak berbeda dari pengertian umum selama ini, sebagaimana dipraktekkan dalam pembangunan desa di Indonesia.

Terhadap kedua konsep tersebut, penulis berposisi untuk tidak mendukungnya! Sejalan dengan posisi penulis, makna ”budaya” diarahkan secara lebih aktif sebagai alasan-alasan pelaku yang dipandangnya paling tepat untuk menjelaskan keadaan lingkungan sekitar. Alasan tersebut berkedudukan sebagai fiksional, dalam arti menyusun centang perenang fakta fisik, interaksi sosial dan ideologi sehingga bermakna bagi warga untuk menjelaskan kehidupan lingkungannya. Pada titik inilah posisi penjelasan beragam pihak bersetara, baik akademisi, aparat pemerintah, swasta, tokoh masyarakat, maupun rakyat jelata. Sejalan dengan itu, di akhir tulisan dikembangkan suatu pengertian ”desa” yang baru, sebagai hasil solidaritas semua pihak bersama yang mewujud dalam suatu imajinasi desa baru.

Bangunan tulisan ini didirikan di atas asumsi-asumsi kerja berikut. Pertama, warga desa menganut suatu budaya dan struktur sosial yang sesuai dengan sejarah mereka selama ini, sehingga sejarah struktur dan kultur tersebut mampu menciptakan suatu identitas diri yang diinginkan. Kedua, pembangunan desa –yang diwujudkan dalam bentuk proyek-proyek pembangunan[1]—merupakan ideologi dan praksis pihak dari luar desa yang mendatangi warga (berikut budaya, struktur sosial, dan sejarah di atas) namun dalam suatu periode waktu, lokasi dan materi yang terbatas atau singkat. Ketiga, dari asumsi terdahulu muncullah asumsi perbedaan budaya pembangunan dan budaya warga. Keempat, ”panggung” atau konteks sosial pembangunan berupa posisi warga yang kian sejajar dengan posisi negara.[2]

Asumsi-asumsi kerja di atas membalik kebutuhan rumusan pertanyaan selama ini, misalnya upaya-upaya romantik untuk menggali kebudayaan lokal yang bersesuaian dengan budaya pembangunan atau modernisasi. Salah satu alasannya berasal dari pendukungnya, yaitu secara statistika tidak ada perbedaan signifikan peran budaya lokal dan pembangunan, karena hampir seluruh desa sudah mengembangkan gotong royong untuk proyek pembangunan (Gambar 1). Ditolak pula upaya intervensi pembangunan dalam ”jaket” kebahasaan lokal, misalnya konsep MAD (Musyawarah Antar Desa) maupun PEL (Pengembangan Ekonomi Lokal), karena ciri utama pembangunan sebagai perancangan evolusi kemajuan terencana tetap melekat.

Gambar 1. Jumlah Desa di Indonesia yang Terbiasa Melaksanakan Gotong Royong, 2006

Sumber: Potensi Desa 2006

Imajinasi desa di masa mendatang sebagai bagian dari imajinasi Indonesia membutuhkan ”kacamata” baru untuk melihat permasalahan pembangunan desa sebagai problem untuk mempertautkan budaya pembangunan dengan budaya warga. Ragam penjelas lingkungan sosial muncul bersamaan di antara warga dan negara. Realitas bergerak di antara ragam fiksional tersebut, dan menghasilkan makna yang berbeda ketika memasuki penjelasan yang berbeda. Bagaimana proses yang lebih mendalam pada titik kritis perpindahan makna suatu diskursus dan praksis ketika memasuki fiksional yang berbeda? Bagaimana suatu komunikasi yang diskursif terbangun dalam kehidupan sehari-hari guna menyusun imajinasi suatu imajinasi desa baru? Sampai mana ikatan sosial imajiner dikembangkan menjadi solidaritas bersama, menjadi bahan saling percaya, dan mengembangkan habitus kekuasaan?

Genre ”Sampai Mana”

Setelah sebelumnya disajikan rumusan permasalahan yang relevan bagi budaya desa, selanjutnya bagian ini mengetengahkan pendekatan yang layak digunakan. Pendekatan tersebut ialah genre Sampai Mana, yang disusun sebagai langkah lebih lanjut dari genre Sajogyo. Orientasi praksis dijadikan landasan bagi pertautan analisis budaya dan struktur sosial.

Langkah Genre Sajogyo Selanjutnya

Berpanggung di atas etika pembangunan –yang dibedakannya dari panggung modernisasi—produksi teks Sajogyo (2006) hakekatnya adalah rajutan jawaban atas fokus pertanyaan “sampaimana”. Frase pertanyaan “sampaimana” mengedepankan jenis ilmu pengetahuan yang bersifat praksis. Artinya proposisi-proposisi yang dibangun tertuju kepada tujuan penggunaan teks hasil penelitian itu.

Sayang aspek tujuan mewujud pada teks evolutif atau historis. Pengaruh ini tidak terelakkan dalam genre Sajogyo.

Namun Sajogyo telah melangkah lebih panjang, dengan menggali posisi responden sejauh rentang garis historisnya. Teks dimanfaatkannya pula sebagai wahana evaluasi perubahan responden hingga saat penelitian berlangsung.

Tidak mengherankan produksi teks Sajogyo bersifat post-factum (after the fact) dalam rangka mengevaluasi posisi historis, tetapi sekaligus menyajikan rekomendasi (preskriptif). Aksiologi kegunaan (untuk apa hasil penelitian ini) tidak diterakan dalam teks prediksi masa depan yang netral, melainkan langsung untuk mengelola tujuan. Sajogyo meletakkan sifat teleologis teks guna memihak kepada lapisan bawah. Retorika yang ia bangun bukan sekedar “tujuan apa?”, namun juga “dengan cara apa (bagaimana) tujuan dicapai, oleh siapa, dan untuk siapa hasil akhir itu?”.

Sikap yang diambil ialah mengembangkan keswadayaan sebagai pengikat kemandirian, kemerdekaan, pemberdayaan, dan penguatan lapisan bawah. Serentak dengan itu dikembangkan demokratisasi, dalam rupa kerjasama antar pihak serta solidaritas golongan atas kepada golongan lemah. Kedua sisi harus disebut bersamaan agar teks merekam evaluasi tujuan akhir suatu pembangunan bagi warga terlemah.

Yang menarik, dengan mengangkangi dua fondasi, yaitu post factum (deskriptif dan historis) serta preskriptif (rekomendasi hasil penelitian), genre “Sampai Mana” sejak awal sudah terhindar dari persoalan metodologis kontemporer ilmuwan sosial Indonesia: pengetahuan siapakah yang tercantum dalam teks?

Dalam genre “Sampai Mana”, posisi peneliti, pembawa program, pendamping, guru, dan lain-lainnya berkedudukan setara terhadap masyarakat. Yaitu sebagai orang luar yang berminat berinteraksi dengan masyarakat (orang dalam). Genre “Sampai Mana” mengarahkan metodologi kepada aksi kerjasama, tepatnya bertindak dan belajar bersama warga.

Tulisan ini mengemukakan langkah berikutnya. Bagian dalam genre ”Sampai Mana” yang tetap digunakan ialah analisis post-factum (after the fact), aksiologi memihak lapisan bawah, dan mewujudkan demokratisasi.

Namun genre ”Sampai Mana” di sini tidak lagi digunakan sebagai ”senjata” pihak luar (akademisi, teknokrat, aparat pemerintah, swasta supra lokal, dll) untuk menyusun rekomendasi untuk menyusun resep (preskripsi, rekomendasi) pembangunan desa secara sepihak. Justru di sini digunakan metodologi pragmatis, yaitu kebenaran perencanaan dan preskripsi hanya muncul dari kesepakatan warga desa dan pembawa misi pembangunan.

Pautan Budaya dan Struktur Sosial

Dalam banyak kebudayaan, selama bertahun-tahun nilai dan kepercayaan menjadi tali yang kuat bagi logika substantif guna mengatur atau menyusun praktek konstitutif sehari-hari. Dengan demikian, sekalipun kondisi peluang bagi beberapa praktek transformasi lingkungannya bersifat historis, namun praktek konstitutif sehari-hari tersebut juga memberikan efek penyusunan struktur kumulatif, sehingga membatasi pemikiran dan tindakan pada suatu waktu tertentu. Di sinilah bertemu dinamika pembentukan struktur sosial dari budaya yang dinamis.

Yang diusulkan ialah budaya yang muncul sebagai wujud solidaritas bersama, imajinasi bersama atau wujud dari hibriditas (Escobar, 1999; Robbins, 2004). Budaya tersebut dapat muncul sebagai pemberdayaan dari pelaku pembangunan sendiri, sehingga solidaritas dari pihak luar hanya dimungkinkan secara sukarela.

Kritik terhadap Budaya Pembangunan Desa

Bagian ini akan mengembangkan kritik kebudayaan terhadap pembangunan desa sebagaimana dilaksanakan sejak pemerintahan Soeharto. Kritik diarahkan kepada landasan budaya humanisme Kantian, evolusionisme dan perencanaan pembangunan, politik keruangan, serta kapitalisasi pembagunan desa.

Kritik terhadap Humanisme untuk Warga

Humanisme ala Kantian muncul dalam bentuk pemberdayaan bagi Yang Lain (Other), terutama dalam konsep pengembangan kapasitas (capacity building). Menurut Kant, seorang yang dewasa –yang ternyata maksudnya Barat, menurut Said (2001) dan Derrida (Al-Fayyadl, 2004)—menjadi seorang humanis, dan dalam dirinya terkandung tugas (deontologis) untuk memberdayakan (meng-humanis-kan) orang lain yang belum dewasa (warga desa di negara-negara Selatan). Pengembangan kapasitas dalam terang humanisme, dengan demikian, merupakan salah satu tutelage (memandang diri memiliki legitimasi untuk menyuluh atau memerintah karena lebih humanistik) untuk menguatkan diskursus pembangunan yang berkelanjutan versi negara-negara Utara.

Humanisme mendasari pandangan bahwa negara-negara Utara lebih maju sehingga lebih humanis. Merekalah yang dipandang dan mendapat legitimasi untuk memajukan negara-negara Selatan. Pembangunan berlangsung secara internasional. Meskipun semula negara maju dan donor internasional yang memberikan utangan, namun kini mereka menyalahkan negara Selatan, terutama petani dan warga desa, sebagai penyebab degradasi mutu lingkungan –sambil tetap memberikan utang bagi perbaikan lingkungan (Escobar, 1996). Bersamaan dengan itu, kesenjangan antara negara Utara dan Selatan melebar, baik dalam aspek ekonomi, pendidikan, maupun kerukunan masyarakat lokal (Fernando, 2003).

Di pihak lain, ciri evolutif membuka peluang suatu perencanaan pembangunan (Escobar, 1992b, 1996). Perencanaan merupakan penyusunan diskursus di masa depan, dan tidak dapat dinyatakan sebagai realisme. Hanya saja diskursus tersebut terutama dibangun oleh ahli atau elite. Diskursus perencanaan kemudian mendisplinkan pihak lain (Other) yang justru tidak terlibat dalam perencanaan. Ciri tutelage dari penyusun diskursus perencanaan muncul, misalnya di Indonesia, dalam posisi sebagai nara sumber yang memberikan pengarahan isi perencanaan dalam jangka waktu singkat –sehingga tidak memungkinkan dialog (Anwar dan Hadi, 1996).

Kritik terhadap Evolusionisme dari Desa

Logosentrisme sebagaimana dikemukakan oleh Descartes (“Aku berpikir maka aku ada”) menghasilkan konsekuensi analisis kausalitas. Bersama dengan pemikiran teleologi, kausalitas ini dapat disusun secara terus menerus untuk menunjukkan kematangan kemanusiaan (humanisme) atau masyarakat (sejarahnya) (Al-Fayyadl, 2005; Venn, 2006).

Konsep pembangunan (development) sudah dikenal lama untuk menjelaskan perubahan sosial masyarakat Utara maupun Selatan. Akan tetapi usai Perang Dunia Kedua konsep pembangunan memiliki arti tersendiri (Edelman dan Haugerud, 2005; Esteva, 1992). Bersamaan dengan diskursus pembangunan, diciptakanlah konsep Dunia Ketiga, negara terbelakang, negara sedang berkembang, atau negara-negara Selatan. Dengan kata lain, negara-negara Selatan tidak eksis dengan sendirinya, melainkan tercipta dalam diskursus pembangunan yang disusun negara-negara Utara.

Logosentrisme menerangi pandangan keterbelakangan negara Selatan, yang secara evolutif selayaknya mengejar negara maju. Pada awalnya digunakan statistika, yang digunakan secara bersama-sama antara Utara dan Selatan. Logos di balik statistika ialah kuantitas atau banyak dipandang baik (Foucault, 2002a, 2002b)–yang segera mengingatkan pada prinsip utilitarian. Statistika tersebut langsung menunjukkan kekurangan Selatan sekaligus kelebihan Utara dalam pembangunan yang berkelanjutan (Fernando, 2003). Hal ini menjadi legitimasi bagi tutelage Utara terhadap Selatan agar mengikutinya.

Sistematika pemikiran di atas berkonsekuensi pada diskursus komunitas sebagai bagian evolusi menuju masyarakat (society). Konsep komunitas disetarakan dengan gemeinschaft menurut Tonnies, atau masyarakat berbasis solidaritas mekanis menurut Durkheim (1933). Komunitas memiliki struktur sosial yang lebih sederhana, diferensiasi sosial lemah, pembagian kerja rendah. Komunitas desa memiliki sifat demikian dan memiliki ketergantungan dengan masyarakat perkotaan, sebagaimana dikemukakan dalam teori rural-urban continuum menurut Redfield. Linearitas semacam inilah yang menjadi bahan dekonstruksi dalam poskolonialisme. Kedudukan kota dipandang lebih tinggi karena di sanalah kosmopolitanisme dikesankan ditumbuhkan, terutama melalui pengumpulan para ahli, institusi kapitalisme, penumpukan tentara (Derrida, 2005). Desa menduduki posisi subaltern, yang lebih rendah, tidak bisa menyatakan dirinya sendiri, sehingga harus diwakili oleh kota.

Di samping itu, komunitas mengandung romantisme kerukunan hubungan sosial. Pada Marxisme juga –selain tentu saja pemikiran-pemikiran di atas—komunitas primitif (tepatnya: komunisme primitif) tidak mengandung kontradiksi karena tidak memiliki stratifikasi sosial yang berarti. Masyarakat komunis menjadi romantisme utopian tentang kerukunan masyarakat tanpa kelas.

Konsekuensi evolusionisme dalam komunitas tersebut menempatkan komunitas pada posisi yang lebih rendah dan didominasi oleh penjajah. Teks tentang eksploitasi komunitas ditemukan dalam Max Havelaar karya Multatuli.

Pada masa kini komunitas juga ditempatkan dalam kerangka rasionalisme ekonomi, yakni sebagai salah satu modal sosial (Coleman, 1994). Keterpautan tindakan sosial dan ekonomi dalam jaringan komunitas dipandang sebagai akumulasi modal sosial, yang berguna untuk menurunkan biaya traksaksi ekonomi.

Instrumentalisasi jaringan komunitas tersebut menafikan kemampuan refleksi diri dari anggota di dalamnya. Di samping itu, sering dijumpai resistensi dari anggota komunitas terhadap dominasi negara nasional maupun kolonial.

Argumen evolusionisme ini sulit ditunjukkan di Indonesia, misalnya dengan adanya data-data kerumitan masyarakat Majapahit dalam aspek perdagangan, pelabuhan, dan ekonomi lain (Hefner, 2000). Komunitas Majapahit sebagai contoh tersebut memiliki struktur masyarakat yang lebih rumit dari masyarakat Eropa pada waktu yang bersamaan.

Kritik terhadap Politik Ruang Desa

Setidaknya sejak masa Kerajaan Mataram (sekitar abad ke 16) –tepat sebelum dijajah oleh Belanda—desa berkembang dari kemampuan seorang pemimpin untuk mengelola sekelompok warga (Onghokham, 1986; Soemardjan, 1991). Pengakuan oleh kerajaan diberikan kepada kepala desa, tanpa disertai dukungan keuangan atau sumberdaya kerajaan lainnya. Kepala desa memproduksi barang dan jasanya sendiri, terutama dengan mengelola warga setempat. Hubungan kepala desa dan kerajaan hanya berlangsung minimal sekali dalam setahun kala memberikan upeti ke kerajaan. Di waktu-waktu peperangan antar kerajaan kepala desa dapat mengerahkan warganya mempertahankan kerajaan. Namun demikian kepala desa leluasa untuk mengalihkan kepatuhannya kepada kerajaan lain ketika ia memandang rajanya melalaikan keacuhan kepadanya. Dengan kata lain, suatu pembentukan desa selalu menunjukkan kemandirian kepala desa untuk mengelola warganya.

Ketidakmandirian desa dan penempatannya lebih bawah terjadi ketika beberapa desa digabung. Hal ini mulai terjadi dalam masa kolonialisme Hindia Belanda pada awal abad ke 20 (Sajogyo, 2006). Ide penggabungan desa tetap dipertahankan sebagai mekanisme kontrol. Di samping dalam bentuk material berupa penggabungan teritorial desa-desa, penggabungan juga muncul dalam diskursus manajerial. Dalam diskursus ini kategorisasi desa-desa yang dipandang setara sehingga memunculkan kategori desa gabungan yang berjumlah secara statistik (tepatnya: sensus) lebih sedikit, merupakan mekanisme untuk mempermudah pengelolaan sekaligus kontrol (Boyne, 2006; Venn, 2006). Kategorisasi untuk mengontrolnya berupa kecamatan dan kabupaten (terutama sesuai otonomi daerah).

Kontrol terhadap kategori desa –terutama sejak pemerintahan Soeharto—dimaterialkan dalam pengiriman sumberdaya pembangunan dari tingkat nasional, propinsi, kabupaten, kecamatan, lalu ke desa (Nordholt, 1987). Materialisasi pembagian inilah yang menguatkan boundary desa melalui pembagian sumberdaya sesuai batas-batas (boundary) desa.

Pengkategorian sekaligus mencakup kontrol terhadap desa, terutama dimaterialkan dalam bentuk pemimpin formal yang berperan sebagai penyalur sumberdaya pembangunan. Pengontrol ditubuhkan dalam bentuk kepala daerah atau kepala desa. Kepala desa sebagai pemimpin formal semakin menguat terhadap pemimpin-pemimpin informal dalam batas-batas desanya (Nordholt, 1987). Sejalan dengan itu peningkatan ketergantungan keuangan desa –sebaliknya penurunan kemandirian keuangan desa lama—muncul sejak 1980-an. Diskursus tentang rantai kontrol secara hierarkis ini tentunya akan menuju kontrol terhadap keluarga.

Di samping jalur kontrol secara hierarkis tersebut, pemerintah pusat atau daerah dapat langsung mengelola keluarga-keluarga di desa. Hal ini dilaksanakan melalui kader-kader pembangunan (Sajogyo, 2006), contohnya kader keluarga berencana, pembangunan infrastruktur, hukum, keuangan kelompok, dan sebagainya. Sementara kepala desa mengadakan kontrol teritorial, kader-kader pembangunan melakukan kontrol terhadap sektor-sektor pembangunan.

Kritik terhadap Penyeragaman Kapitalisasi Desa

Sejak awal pembangunan desa di Indonesia berkelindan dengan kapitalisme. Modernisasi pertanian, berpangkal dari dua pola usahatani, yaitu pola usahatani sawah di Jawa, dan usahatani perkebunan di luar Jawa (Sajogyo, 2006). Adapun perkebunan di luar Jawa masih digambarkan dalam pola perladangan berpindah. Selama masa Orde Baru (1969-1997) modernisasi pertanian berada di atas konteks industrialisasi Indonesia.

Kritik terhadap budaya kapitalisme diarahkan pada oksidentalisme sebagai hasil dari rasionalitas kapitalisme, kolonialisme Barat, dan modernitas instrumental atau positivistik. Etika kapitalisme tersebut berafiliasi dengan pemenuhan kebutuhan bagi diri sendiri, otonomi, subyek rasional sehingga manusia diposisikan sebagai agen sejarah dan pengetahuan. Privilese manusia ini konsisten dengan logika intrinsik kapitalisme, di mana hubungan antar manusia diekspresikan secara impersonal, dehumanisasi dan bahasa yang abstrak sebagai hubungan antar benda. Reartikulasi bahaya abstraksi tersebut muncul dalam diskursus efisiensi ekonomis dan teknologis serta kemajuan yang secara tautologis merujuk pada legitimasi tujuan spesifikasi teknis dan performatif menurut diskursus itu sendiri.

Pada saat ini muncul isu bahwa kapitalisme tidaklah tunggal, namun beragam dan bisa muncul dalam masyarakat desa-desa di Timur. Hal ini diarahkan oleh tesis keterlekatan (embeddedness), bahwa keragaman itu muncul akibat bekerjanya aspek struktur dan kultur lokal dalam kapitalisme dan globalisme sekalipun.

Namun tesis keterlekatan tetap mengandung kritik. Pertama, konteks globalisasi telah mengerucutkan aspek historis ekonomi lokal menjadi hanya “mengekor” kepada sejarah kapitalisme. Meskipun memiliki ciri-ciri pluralitas, ekonomi lokal dipandang sedang sama-sama mengarah kepada kapitalisme dan saling bertaut menjadi globalisme. Sampai di sini dikesampingkan aspek kesejarahan Eropa (dan Amerika Utara, serta Jepang, pendeknya negara-negara maju) dalam melakukan hegemoni ideologi ekonomi kepada negara-negara Selatan.

Kedua, tesis keterlekatan masa kini mengesampingkan aspek politis dari kapitalisme, terutama eksoploitasi ruang desa, lapisan, kelompok atau kelas bawah oleh lapisan elite. Kembali di sini dilepaskan penjelasan eksploitasi negara-negara Utara kepada negara-negara Selatan karena semuanya dipandang sama-sama berada dalam ranah kapitalisme dan globalisasi. Lebih jauh lagi, sukar ditunjukkan eksploitasi lapisan atas kepada lapisan bawah dalam suatu negara Selatan.

Keragaman Budaya Warga Desa

Setelah dekonstruksi diarahkan kepada laju pembangunan desa selama ini yang mengarah kepada keseragaman kapitalisme global, pada bagian ini disajikan pembacaan yang berbeda berupa keragaman wajah budaya warga. Keragaman tersebut mewujud dalam ruang kosmopolitan di desa dan keragaman budaya ekonomi.

Ruang Kosmopolitan di Desa

Penyusunan suatu ”desa” baru kiranya semakin sulit didasarkan pada entitas etnis dan modal sosial lama (sebelum penyeragaman desa ala UU 5/79, sebelum penggabungan banyak desa awal abad ke 20, sebelum kolonialisme). Pertama, lebih dari separuh (60 persen) ruang desa di Indonesia sudah terisi lebih dari satu etnis (Tabel 1). Kedua, pada dasarnya setiap etnis bersifat poliglot atau selalu bersifat menjadi (being) dalam rangka memadukan percampuran beragam fiksional (termasuk percampuran lewat perkawinan maupun ketetanggaan dari beragam suku bangsa).

Keadaan di atas justru menunjukkan peluang pengembangan kosmopolitanisme di desa. Hubungan keindonesiaan dapat dibangun sebagai imajinasi baru bagi penataan ruang yang sesuai dengan kebutuhan lokal antar etnis.

Sejalan dengan keragam etnis tersebut, muncul pula pertautannya dengan pola-pola saling percaya antar warga dan terhadap pihak luar. Rasa saling percaya dibangun di atas habituasi, yaitu dilanggengkan dalam pola kehidupan sehari-hari.

Tabel 1. Jumlah Desa menurut Keragaman Etnis di Indonesia, 2006

Propinsi

Etnis Tunggal

Etnis Lebih dari Satu

Jumlah

Nanggroe Aceh Darussalam

3570

2271

5841

61,1%

38,9%

100,0%

Sumatera Utara

1377

2975

4352

31,6%

68,4%

100,0%

Sumatera Barat

260

385

645

40,3%

59,7%

100,0%

Riau

179

1106

1285

13,9%

86,1%

100,0%

Jambi

268

836

1104

24,3%

75,7%

100,0%

Sumatera Selatan

608

1864

2472

24,6%

75,4%

100,0%

Bengkulu

313

806

1119

28,0%

72,0%

100,0%

Lampung

186

1833

2019

9,2%

90,8%

100,0%

Bangka Belitung

18

250

268

6,7%

93,3%

100,0%

Kepulauan Riau

16

132

148

10,8%

89,2%

100,0%

Jawa Barat

1583

3611

5194

30,5%

69,5%

100,0%

Jawa Tengah

4963

2842

7805

63,6%

36,4%

100,0%

DI Yogyakarta

197

196

393

50,1%

49,9%

100,0%

Jawa Timur

4506

3194

7700

58,5%

41,5%

100,0%

Banten

386

937

1323

29,2%

70,8%

100,0%

Bali

251

371

622

40,4%

59,6%

100,0%

Nusa Tenggara Barat

168

560

728

23,1%

76,9%

100,0%

Nusa Tenggara Timur

1119

1330

2449

45,7%

54,3%

100,0%

Kalimantan Barat

210

1241

1451

14,5%

85,5%

100,0%

Kalimantan Tengah

234

1006

1240

18,9%

81,1%

100,0%

Kalimantan Selatan

582

1254

1836

31,7%

68,3%

100,0%

Kalimantan Timur

265

887

1152

23,0%

77,0%

100,0%

Sulawesi Utara

236

750

986

23,9%

76,1%

100,0%

Sulawesi Tengah

146

1252

1398

10,4%

89,6%

100,0%

Sulawesi Selatan

1021

1508

2529

40,4%

59,6%

100,0%

Sulawesi Tenggara

266

1142

1408

18,9%

81,1%

100,0%

Gorontalo

102

281

383

26,6%

73,4%

100,0%

Maluku

331

504

835

39,6%

60,4%

100,0%

Maluku Utara

153

545

698

21,9%

78,1%

100,0%

Papua

1836

1376

3212

57,2%

42,8%

100,0%

INDONESIA

25350

37245

62595

40,5%

59,5%

100,0%

Sumber: Potensi Desa 2006

Keragaman Budaya Ekonomi

Dalam pandangan modernisme, budaya ekonomis dipandang secara tunggal. Memang terdapat pandangan tentang subkultur budaya ekonomi, namun tetap diterima tesis keberadaan inti budaya. Inti budaya sering dipahami sebagai unsur kebudayaan yang tidak bisa atau hampir mustahil diubah. Oleh sebab itu inti budaya dapat kita maknai sebagai pengikat budaya, dan inilah yang mendasari pemahaman ketunggalan kebudayaan. Sebagai contoh, budaya Jawa meliputi sub kultur santri, abangan, priyayi, mungkin juga jenis lainnya di wilayah Jawa Tengah bagian Selatan di sebelah Barat Yogyakarta. Meskipun terlihat beragam pada level subkultur, namun inti budaya Jawa tetap sama, yaitu selametan (perjamuan sekaligus doa bersama-sama) untuk menandai peristiwa kehidupan yang penting.

Didasari pandangan tentang inti budaya, maka tesis keterlekatan dalam modernisme ekonomi diterapkan untuk menyusun argumen adanya aspek kapitalisme pada kebudayaan non-Barat di Asia, termasuk Indonesia di atas (Hefner, 2000). Namun demikian kritik dapat dikembangkan, yaitu temuan-temuannya akan menunjukkan, bahwa kapitalisme merupakan unsur kebudayaan universal. Hal ini berarti memunculkan monolingualisme atau tirani nilai kapitalisme untuk mematikan praktek dan narasi alternatif. Sistematisasi nilai ini dirangkum dalam rasionalisasi kemodernan. Lebih tajam lagi, kemajemukan kapitalisme juga menunjukkan aspek poliglot, namun ketika muncul di negara bekas jajahan berarti subalternisasi (peletakan kebudayaan Timur lebih rendah atau tersubordinasi oleh kebudayaan Barat).

Berlawanan dengan pandangan ketunggalan budaya ekonomis tersebut, teori poskolonial memandang budaya bersifat poliglot. Tidak ada inti budaya, sehingga dihilangkan konsep budaya asli (Said, 1995, 2001). Setiap budaya merupakan percampuran dari beragam aspek lingkungannya. Ciri poliglot memandang kapitalisme di suatu tempat sebagai hasil percampuran budaya sebelumnya dengan kapitalisme. Pola ekonomi suatu masyarakat dipandang sebagai keseluruhan percampuran budaya di sana, bukan pencerminan universalisme kapitalisme (bahkan meskipun muncul pasar pencipta harga di sana).

Dalam pandangan subaltern, kapitalisme Timur berposisi lebih rendah, sehingga dengan kemajuan budaya dan sosial lokal akan menuju atau menyamai kapitalisme Barat. Kapitalisme Timur tidak dipandang terpisah dan mandiri, melainkan selalu dikaitkan dengan kapitalisme Barat yang lebih maju, sehingga perbedaan laju kapitalisme di Timur senantiasa ditanggapi secara peyoratif. Contohnya pengembangan konsep kapitalisme semu (ersatz capitalism) untuk masyarakat di Asia Tenggara.

Sejalan dengan keragaman etnis di dalam desa di Indonesia, analisis terhadap ekonomi pertanian dan ekonomi desa juga tidak bisa diletakkan di atas asumsi ketunggalan struktur ekonomi. Lihat Tabel 2. Jika menggunakan pembedaan penerimaan pasar sebagai tanda penerimaan kapitalisme, ternyata adopsi kapitalisme terhadap komoditas pertanian hanya dominan pada 19 persen (11.756) desa di Indonesia. Selain itu, bahkan sebanyak 8 persen (4.800) desa didominasi oleh perekonomian non moneter. Pada mayoritas desa-desa di Indonesia (46.039 desa atau 76 persen) ternyata berkembang koartikulasi antara ekonomi kapitalis (moneter) dan non-moneter.

Tabel 2. Jumlah Desa tiap Propinsi di Indonesia menurut Monetisasi Produk Pertanian, 2006

Propinsi

Dijual

Dikonsumsi dan Dijual

Dikonsumsi Sendiri

Jumlah

Nanggroe Aceh Darussalam

562

4688

591

5841

9,6%

80,3%

10,1%

100,0%

Sumatera Utara

1381

2659

312

4352

31,7%

61,1%

7,2%

100,0%

Sumatera Barat

111

459

75

645

17,2%

71,2%

11,6%

100,0%

Riau

867

394

24

1285

67,5%

30,7%

1,9%

100,0%

Jambi

639

369

96

1104

57,9%

33,4%

8,7%

100,0%

Sumatera Selatan

944

1422

106

2472

38,2%

57,5%

4,3%

100,0%

Bengkulu

486

563

70

1119

43,4%

50,3%

6,3%

100,0%

Lampung

654

1299

66

2019

32,4%

64,3%

3,3%

100,0%

Bangka Belitung

90

178

0

268

33,6%

66,4%

,0%

100,0%

Kepulauan Riau

29

119

0

148

19,6%

80,4%

,0%

100,0%

Jawa Barat

267

4607

320

5194

5,1%

88,7%

6,2%

100,0%

Jawa Tengah

717

6794

294

7805

9,2%

87,0%

3,8%

100,0%

DI Yogyakarta

6

367

20

393

1,5%

93,4%

5,1%

100,0%

Jawa Timur

807

6665

228

7700

10,5%

86,6%

3,0%

100,0%

Banten

57

1091

175

1323

4,3%

82,5%

13,2%

100,0%

Bali

108

475

39

622

17,4%

76,4%

6,3%

100,0%

Nusa Tenggara Barat

48

660

20

728

6,6%

90,7%

2,7%

100,0%

Nusa Tenggara Timur

269

1649

531

2449

11,0%

67,3%

21,7%

100,0%

Kalimantan Barat

571

674

206

1451

39,4%

46,5%

14,2%

100,0%

Kalimantan Tengah

342

696

202

1240

27,6%

56,1%

16,3%

100,0%

Kalimantan Selatan

284

1440

112

1836

15,5%

78,4%

6,1%

100,0%

Kalimantan Timur

92

775

285

1152

8,0%

67,3%

24,7%

100,0%

Sulawesi Utara

320

651

15

986

32,5%

66,0%

1,5%

100,0%

Sulawesi Tengah

557

803

38

1398

39,8%

57,4%

2,7%

100,0%

Sulawesi Selatan

549

1819

161

2529

21,7%

71,9%

6,4%

100,0%

Sulawesi Tenggara

387

988

33

1408

27,5%

70,2%

2,3%

100,0%

Gorontalo

26

351

6

383

6,8%

91,6%

1,6%

100,0%

Maluku

140

633

62

835

16,8%

75,8%

7,4%

100,0%

Maluku Utara

125

560

13

698

17,9%

80,2%

1,9%

100,0%

Papua

321

2191

700

3212

10,0%

68,2%

21,8%

100,0%

INDONESIA

11756

46039

4800

62595

18,8%

73,6%

7,7%

100,0%

Sumber: Potensi Desa 2006 (Diolah)

Tafsir atas data tersebut menunjukkan kebutuhan analisis dan tindakan yang sesuai dengan pluralitas struktur ekonomi –bukan pluralitas kapitalisme. Kemampuan hibriditas menjadi penting untuk menjaga hubungan antar struktur ekonomi tersebut. Lebih jauh lagi, menyadari proporsi monetisasi desa yang rendah –bahkan proporsi pada propinsi-propinsi di Jawa dapat lebih rendah daripada propinsi di luar Jawa—maka dapat dinyatakan bahwa upaya untuk mendesakkan struktur kapitalisme atau globalisme yang berasal dari Barat bagi seluruh desa di Indonesia merupakan salah satu bentuk subalternisasi atau kontrol Barat terhadap Timur.

Kesimpulan: “Familiasi” Basis Keindonesiaan

Setelah di atas disandingkan budaya pembangunan yang berpotensi menyeragamkan dan budaya warga yang beragam, kini saatnya untuk membangun imajinasi baru bagi Indonesia di masa mendatang. Mula-mula akan disajikan kesimpulan mengenai pentingnya dimensi toleransi dalam koartikulasi antar pihak yang melakukan transformasi sosial. Kemudian diusulkan pengembangan imajinasi ruang baru untuk menempatkan arti “desa”. Dalam proses konstruksi demikian, diusulkan untuk mengembangkan praksis familiasi. Agar terfokus kepada lapisan bawah, maka konstruksi familiasi diarahkan untuk menguatkan lapisan bawah.

Basis Toleransi

Menghindar dari revolusi yang bersifat dadakan, melainkan mengembangkan hibriditas dalam kehidupan sehari-hari, maka selayaknya warga desa menciptakan diskursus bagi dirinya sendiri, terutama yang paling cocok dengan keadaan masyarakatnya sendiri. Hubungan yang erat antara diskursus, tindakan sosial dan infrastruktur (Althusser, 2004) menunjukkan peluang sekaligus legitimasi bagi penyusunan diskursus oleh warga sendiri.

Untuk menghindari logosentrisme, maka proses konstruksi tersebut tidak merupakan definisi yang sudah jadi dari pihak luar desa. Berlawanan dengan hal tersebut, politik konstruksi kebenaran senantiasa dipertimbangkan oleh beragam pihak secara dinamis, terutama dari kelompok marjinal di dalam “desa”. Sejarah (dan perencanaan sebagai implikasinya) dilaksanakan secara dinamis dan selalu dalam posisi “menjadi”, bukan definisi yang sudah jadi (Being dalam konsep Heidegger). Klaim kebenaran tidak bisa dipaksakan oleh salah satu pihak, melainkan dipertimbangkan secara bersama-sama –bahkan kebenaran tersebut didefinisikan bersama-sama pula karena bukan sesuai yang sudah jadi atau sudah ada.

Upaya warga desa untuk memilih, meminjam, menyerap, menggunakan, mengadaptasi budaya pembangunan berlangsung dalam proses dinamis secara terus menerus, yang biasa disebut hibriditas. Melalui konsep hibriditas inilah dapat dikemukakan emansipasi warga desa atau suara mereka. Hal-hal yang dipandang sebagai modal sosial desa dalam perspektif lainnya, sebenarnya merupakan hibriditas warga dan budaya lokal.

Hibriditas menunjukkan upaya mengambil, meminjam, mengubah diri untuk merespons pihak luar (Venn, 2006). Meskipun pada akhirnya berada pada posisi kultural, namun penerimaan kultur hibrid tersebut melalui tindakan sehari-hari yang berlangsung lama. Konsep lain yang sama dengannya dinamakan kreolisme.

Hibriditas dapat mengaburkan identitas –minimal identitas awal. Sebagaimana kultur yang selalu bersifat campuran (polyglot) maka identitas pun bersifat demikian. Ciri polyglot ini mengaburkan representasi sosial dan budaya yang kaku. Ciri ini juga memungkinkan hibriditas terjadi di antara pihak-pihak yang bersetuju pada diskursus atau habitus yang sama. Konsep hibriditas dengan demikian memungkinkan solidaritas antar aktor meskipun lintas kelas, hierarki sosial, atau kategori sosial lain –asal bersetuju dalam diskursus.

Jika imajinasi desa di masa mendatang masih dikaitkan dengan proses pembangunan, ada baiknya dimaknai ulang sebagai suatu kondisi keberadaan bersama-sama (koartikulasi) di antara beragam diskursus dan praksis dari beragam agensi. Sebagai langkah awal, kategorisasi agensi yang terlibat digolongkan ke dalam pemerintah, swasta dan masyarakat. Koartikulasi yang dikembangkan berupa toleransi, di mana hubungan antar agensi berupa hibriditas ketika beragam pihak melakukan penerjemahan diskursus dan praksis pembangunan untuk menguatkan identitas diri historis masing-masing sekaligus memungkinkan penghitungan manfaat bagi agensi lain yang terlibat.

Imajinasi Ruang Baru

Ikatan –sekaligus batas-batas—komunitas dapat dipandang sebagai konstruksi kesadaran di antara warganya, yang ditunjukkan dalam hubungan sosial sehari-hari serta pembentukan materi yang sesuai. Hubungan dengan pihak luar dikelola dalam bentuk hibriditas, yaitu memahami –tepatnya merefleksikan—hal-hal baru menurut kesadaran dirinya sendiri, atau menurut “bahasanya sendiri” (Anderson, 2002; Venn, 2006). Kesadaran bersama itu menjadi penegas (judgement) bagi kebenaran suatu makna transformasi ruang di sana.

Konsep hibriditas secara kritis dapat mengarahkan penggunaan secara bersama-sama seluruh aspek lingkungan warga bagi semua pihak yang terlibat dalam arti seluas-luasnya. Konstruksi oleh pihak-pihak yang selama ini tertindas dibuka peluangnya, sehingga pluralitas makna bagi transformasi ruang tersebut dimungkinkan. Pluralitas makna inilah yang memungkinkan beragam pihak untuk melakukan hibriditas kultural. Konsep hibriditas memungkinkan solidaritas lintas posisi sosial maupun dari level lokal hingga internasional. Lebih jauh lagi, hibriditas memungkinkan globalisasi dari bawah atau dari kelompok marjinal.

Peluang ”Familiasi”

Di sini hendak diajukan proposisi bahwa pengembangan struktur interaksi antar agensi pada masa depan desa Indonesia didasarkan pada penerjemahan ikatan keluarga dan analogi keluarga dalam interaksi yang lebih luas. Struktur imajiner keluarga mendahului penyusunan komunitas imajiner di tingkat desa maupun lingkup proyek pembangunan dan modernisasi yang lebih luas.

Keluarga dimaknai secara baru sebagai struktur sosial yang dipahami dan diciptakan secara terus-menerus oleh warga desa, sehingga menciptakan bias dalam mengevaluasi dan menciptakan struktur sosial yang lebih luas Sejarah hubungan keluarga dan desa menunjukkan peluang toleransi antar agensi, mengingat keluarga memiliki suatu ruang untuk membebaskan diri. Tentu saja disadari kolonisasi sistem yang lebih luas terhadap keluarga tersebut. Hal inilah yang mendorong penyusunan struktur-struktur sosial baru menurut imajinasi interaksi dalam keluarga. Di sinilah muncul peluang penyusunan komunitas imajiner melalui familiasi (imajinasi struktur keluarga sebagai penerjemah terhadap segala hal dari luar).

Mula-mula perlu disadari akan kesulitan dalam mendukung argumen sebagian pihak (Malarangeng, 2002), bahwa diskursus paradigma ekonomi dominan (mazhab neo klasik, globalisasi atau neo-liberalisme) telah memenuhi tata aturan ekonomi di Indonesia. Mungkin benar bahwa pelembagaan diskursus ini berlangsung di lingkaran elit teknokrat, dan terlembaga pula dalam beberapa kebijakan ekonomi. Akan tetapi kebijakan tersebut dapat saling bersilangan, misalnya upaya deregulasi di pusat namun diikuti regulasi di daerah. Deregulasi perbankan, misalnya, sekaligus diikuti regulasi peningkatan beragam pajak nasabah dan bank. Oleh karenanya lebih aman berargumen bahwa pelembagaan kapitalisme, neo liberalisme, atau globalisasi belum berlangsung secara memadai (Irwan, 2005). Data monetisasi perdesaan di atas juga menunjukkan rendahnya pelembagaan kapitalisme Barat. Ketidakpastian hukum bagi kegiatan ekonomi ini sulit dipandang sebagai tindakan kebetulan, karena kenyataannya ketidakpastian hukum justru sering digunakan oleh penguasa untuk menarik rente kepada warga secara lebih tinggi (Heryanto, 2000).

Pelembagaan narasi besar tersebut semakin terlihat gagal manakala faktor keluarga ternyata mengemuka (Irwan, 2005). Imajinasi ikatan keluarga mendasari korupsi, kolusi dan nepotisme dalam kapitalisme. Analisis yang bersumber dari aksioma rasionalisme atau humanisme Barat (asumsi bahwa manusia cenderung menggunakan rasionya) tersebut sulit mendalami peran keluarga atau kekeluargaan dalam ekonomi kapitalisme sehari-hari. Mula-mula hal ini disebabkan pemisahan ruang publik (ekonomi formal) dan privat (keluarga), yang sejalan dengan upaya menguatkan impersonalisme dalam kapitalisme. Keluarga, korupsi, kolusi dan nepotisme tidaklah rasional atau menunjukkan humanisme, sehingga tidak sahih untuk dianalisis.

Sampai di sini konsep familiasi bisa dibangun. Keluarga dapat masuk dan menguat ke dalam jaringan politik ekonomi Indonesia sejalan dengan kondisi kesejarahan yang berbeda dari Barat maupun Jepang. Konsep keluarga inti, misalnya, dipandang sebagai susunan Barat setelah revolusi industri. Hingga awal abad ke 20 keluarga inti dipandang secara peyoratif, sebagai hasil yang tidak diinginkan dari revolusi industri yang memecah kesatuan kerabat yang lebih luas (Scott dan Tilly, 1975; Zinn, 2000). Akan tetapi menjelang developmentalisme, keluarga inti balik bermakna positif sebagai pendukung kemajuan ekonomi (Parsons, 1955; Zimmerman, 1947).

Tahapan awal untuk melihat bekerjanya lembaga keluarga ialah ketiadaan pembedaan antara ruang privat dan ruang publik. Kapitalisme di Barat dikembangkan di atas pandangan impersonalitas. Berbeda dari kasus di Barat dan Jepang, kapitalisme di Indonesia terjaring dalam ikatan-ikatan keluarga atau pembesaran skala ikatan keluarga.

Simpul terpenting ialah “orang yang dikenal” dan “orang tidak dikenal” (Shiraishi, 2001). Simpul “orang dikenal” diturunkan dari konsep “saudara” yang sebelumnya memang bersifat cair. Orang dapat dikenal(-i) menurut etnis atau sub etnis (kala berada di luar wilayah etnisnya), agama, perkawanan, hubungan perkawinan, maupun hubungan kelahiran. Aspek psikologis penting di sini ialah keakraban. Begitu masuk ke dalam jaringan saudara, maka keakraban dapat disusun.

”Familiasi” dari Bawah

Akhirnya hendak diajukan proposisi bahwa upaya pemihakan dalam suatu proses perubahan sosial dilakukan dengan menggunakan familiasi untuk menguatkan posisi dan narasi lapisan bawah dalam suatu masyarakat. Emansipasi lapisan terbawah dimungkinkan ketika suara atau narasi lapisan tersebut turut muncul dalam proses penyusunan struktur sosial

Kesadaran akan pentingnya ikatan keluarga dan kekeluargaan dalam banyak bidang di Indonesia sudah dikenal sejak masa penjajahan Hindia Belanda (Hatta, 2002). Konsep ini digunakan Taman Siswa untuk mengembangkan solidaritas di antara partisipan pendidikan rakyat. Dalam bidang ekonomi, ikatan kekeluargaan ini juga digunakan pribumi untuk mengembangkan kredit dan usaha. Dapat dikatakan bahwa pada titik inilah konsep keluarga menjadi basis hibriditas bagi golongan marjinal.

Akan tetapi keluarga dapat dimanipulasi untuk mementingkan hanya golongan elite. Dalam ranah diskursus kenegaraan, konsep kekeluargaan yang diadopsi ke dalam paham negara integralistik memungkinkan hegemoni dan eksploitasi pemerintah terhadap rakyat. Manipulasinya dalam ekonomi telah menghasilkan konglomerat dan elite yang kaya raya, namun berada di tengah “lautan” rakyat miskin.

Sampai di sini konsep familiasi dari bawah mulai disusun. Untuk mengatasi diskursus keluarga dan kekeluargaan yang menekan kelompok marjinal, maka keluarga dan ikatan kekeluargaan perlu dikembangkan menjadi solidaritas bersama. Ikatan imajiner ini menjadi bahan saling percaya, dan mengembangkan habitus kekuasaan. Salah satu hal yang memungkinkan ialah penemuan tokoh antar lapisan sosial, termasuk pada lapisan terbawah. Familiasi dari bawah tersusun manakala refleksi dan praksis lapisan bawah bersama agensi lain dalam penyusunan struktur desa. Untuk mengembangkan lebih lanjut, maka pengetahuan bisa digali melalui komparasi habituasi keluarga dan kekeluargaan dari wilayah lain di Timur.

Dari sinilah imajinasi Indonesia di masa mendatang disusun dari diskursus-diskursus “familiasi dari bawah”. Dalam alam bawah sadar kita, Indonesia di masa mendatang adalah imajinasi keruangan kita semua, dan terutama bagi “saudara-saudara” kita yang berada pada tangga terbawah.

Daftar Pustaka

Althusser, L. (2004). Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Terjemahan dari Essays on Ideology. Yogyakarta: Jalasutra.

Al-Fayyadl, M. (2005). Derrida. Yogyakarta: LKIS.

Anderson, BR’OG. (2002). Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang. Terjemahan dari Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism, Second Ed. Yogyakarta: Insist.

Anwar, A., S. Hadi. (1996). Perencanaan dan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan. In: Prisma Th. 25 Edisi Khusus.

Boyne, R. (2006). Classification. In: Theory, Culture and Society Th. 23 No. 2-3.

Coleman, J. (1994). A Rational Choice Perspective on Economic Sociology. In NJ Smelser, R. Swedberg, eds. The Handbook of Economic Sociology. Princeton: Princeton Univ. Pr.

Edelman, M, A Haugerud. (2005). Introduction: The Anthropology of Development and Globalization. In: M Edelman, A Haugerud, eds. The Anthropology of Development and Globalization: From Classical Political Economy to Contemporary Neoliberalism. Malden, MA: Blackwell.

Escobar, A. (1999). After Nature: Steps to Antiessentialist Political Ecology. In: Current Anthropology Th. 40 No. 1.

Escobar, A. (1996). Construction Nature: Elements for a Poststructuralist Political Ecology. In: S Jones, G Carswell, eds. 2004. The Earthscan Reader in Environment, Development and Rural Livelihoods. London, UK: Earthscan.

Escobar, A. (1992b). Plannning. In: W Sach, ed. The Development Dictionary: A Guide to Knowledge as Power. London: Zed Book.

Esteva, G. (1992a). Development. In: W Sach, ed. The Development Dictionary: A Guide to Knowledge as Power. London: Zed Book.

Derrida, J. (2005). Kosmopolitanisme & Forgiveness. Terjemahan dari Cospolitanism and Forgiveness. Yogyakarta: Alinea.

Durkheim, E. (1933). The Division of Labor in Society. New York: Free Press.

Fernando, JL. (2003). The Power of Unsustainable Development: What Is to Be Done? In: ANNALS No. 590.

Foucault, M. (2002a). Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Foucault. Terjemahan dari P Rabinow, ed. Aesthetics, Method and Epistemology: Essential Works of Foucault 1954-1984. Yogyakarta: Jalasutra

Foucault, M. (2002b). Power/Knowledge: Wacana Kuasa/Pengetahuan. Terjemahan. Yogyakarta: Bentang.

Hatta, M. (2002). Pengantar ke Jalan Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Gunung Agung.

Hefner, RW. (2000). Islam Pasar Keadilan: Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan Demokrasi. Yogyakarta: LKiS.

Heryanto, A. (2000). Perlawanan dalam Kepatuhan: Esai-esai Budaya. Bandung: Mizan.

Irwan, A. (2005). Institutions, Discourses, and Conflicts in Economic Thought. In: VR Hadiz, D Dhakidae, eds. Social Change and Power in Indonesia. Singapore: Equinox dan ISEAS.

Malarangeng, R. (2002). Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992. Jakarta: KPG.

Nordholt, NS. (1987). Ojo Dumeh: Kepemimpinan Lokal dalam Pembangunan. Jakarta: Sinar Harapan.

Onghokham. (1986). Korupsi dan Pengawasan dalam Perspektif Sejarah. In: Prisma Th. 15 No. 3.

Parsons, T. (1955). The Isolated Conjugal Family. In: M. Anderson. Sociology of the Family, Second Ed. Middlesex, UK: Penguin.

Robbins, P. (2004). Political Ecology. Malden, MA: Blackwell.

Said, EW. (2001). Orientalisme. Terjemahan Orientalism. Bandung: Pustaka.

Said, EW. (1995). Kebudayaan dan Kekuasaan: Membongkar Mitos Hegemoni Barat. Terjemahan. Bandung: Mizan.

Sajogyo. (2006). Ekososiologi: Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Petani dan Perdesaan sebagai Kasus Uji). Yogyakarta: Cindelaras.

Scott, JW, LA Tilly. (1975). Women’s Worlk and the Family in Nineteenth-Century. In: M. Anderson. Sociology of the Family, Second Ed. Middlesex, UK: Penguin.

Shiraishi, SS. (2001). Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik. Terjemahan dari Young Heroes: Indonesian Family in Politics. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Soemardjan, S. (1991). Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Pr.

Venn, C. (2006). The Postcolonial Challenge: Towards Alternative Worlds. London: Sage.

Zimmerman, CC. (1947). The Atomistic Family. In: M. Anderson. Sociology of the Family, Second Ed. Middlesex, UK: Penguin.

Zinn, MB. (2000). Feminism and Family Studies for a New Century. In: ANNALS, AAPSS No. 571.



[1] Mungkin berguna untuk membedakan pola “proyek” pembangunan yang memang harus dibatasi oleh waktu dan tempat regional dalam suatu daftar isian proyek, dengan pola “birokrasi” pembangunan yang berupa kerja terus menerus oleh aparat pemerintah ke seluruh wilayah negara.

[2] Sebagai perbandingan, pembangunan di dunia yang diselenggarakan sejak 1947 diletakkan pada konteks negara, baik sebagai representasi masyarakat untuk meminjam dana dengan pihak donor atau “negara maju”, merencanakan, melaksanakan, hingga mengevaluasi hasil pembangunan itu. Namun kondisi posmodernitas sejak 1990-an berbeda, di mana posisi warganegara semakin menguat hampir bersejajar, sudah bersejajar atau melebihi posisi negara. Hal ini tidak dilihat terutama dari dominasi perintah warga kepada negara (meskipun disadari pengaruh penting konglomerat terhadap negara), namun terutama pada kemampuan warga untuk mandiri dengan tidak berinteraksi dengan aparat pemerintah.