Minggu, 20 Mei 2007

ANEKA METODE PARTISIPASI UNTUK PEMBANGUNAN DESA (Participatory Methods on Rural Development in Indonesia)

Oleh Ivanovich Agusta

Partisipasi Manakah?

Pada saat ini metodologi partisipasi untuk pembangunan desa sedang mengalami krisis. Terdapat beragam konsep partisipasi, dari kata lain untuk mobilisasi (misalnya partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan) sampai konsep pilihan tindakan berdasarkan kesadaran sendiri. Dari konsep partisipasi sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi proyek pembangunan (misalnya partisipasi masyarakat untuk mengurangi biaya buruh bangunan), sampai konsep partisipasi sebagai tujuan akhir pembangunan (Kumar, 2002). Tidak heran, partisipasi tidak selalu menghasilkan keberlanjutan pembangunan, sebaliknya bisa jadi tetap menghasilkan tirani dominasi lebih lanjut (Cooke dan Kothari, 2004).
Untuk menjawab kritik-kritik tersebut, tulisan ini bersepakat bahwa belum tentu kritik tersebut menunjukkan kegagalan metodologi partisipasi dalam praktek. Kesulitan untuk mengevaluasi keterandalan konsep partisipasi karena kesalahan pandangan, yang memandang bahwa metodologi partisipasi bersifat tunggal. Kenyataannya metodologi ini memiliki beragam paradigma. Tiap paradigma memberikan implikasi kepada praksis partisipasi yang beragam. Konsekuensi berikutnya, tujuan partisipasi dari tiap paradigma juga beragam. Hanya pada tujuan tiap paradigma itulah evaluasi sah dilakukan.

Paradigma Metodologi Ilmu-ilmu Sosial

Langkah awal untuk mendudukan paradigma metodologi partisipasi ialah merumuskan landasan filosofis, baik dari aspek ontologi, epistemologi, maupun aksiologi dari ilmu-ilmu sosial. Landasan filosofis untuk penyusunan paradigma mencakup aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Pada tahun 1854 JF Ferrier pertama kali membuat pembedaan antara ontologi dan epistemologi (Hunnex, 2004). Ontologi mempertanyakan apa realitas yang ada, sedangkan epistemologi merupakan teori pengetahuan yang menanyakan dengan cara apa manusia bisa mengetahui. Adapun aksiologi berkembang pada tahun 1890-an selama perdebatan antara Alexius Meinong dan Christian von Ehrenfels mengenai sumber nilai.
Aliran ontologi yang dikemukakan mencakup empat kelompok. Pertama, realisme (mencakup realisme, pluralisme). Kedua, idealisme (idealisme, monisme, dualisme, mistikisme, supernaturalisme). Ketiga, pragmatisme. Keempat, marxisme (marxisme, materialisme).
Makna penting ontologi ialah pembedaannya antar pihak yang mengetahui dan hal yang diketahui. Aliran realisme sendiri cenderung memisahkan antara dunia dan obyeknya, dari orang yang mengetahui (knower) dan pikiran. Dalam aliran realisme, realitas tidak tergantung kepada pikiran, bahwa mengetahui itu memiliki obyek dunia pikiran yang independen, dan bahwa realitas sudah ada dengan sendirinya di dalam pikiran (Whitehead, 2005). Sedangkan penjelasan pluralistik bertujuan mendorong keyakinan pada realitas yang fleksibel dan tidak sempurna.
Ontologi idealisme memandang idelah yang mencipta realitas, sehingga sulit dibedakan antara pihak yang mengetahui dan pengetahuannya. Dalam aliran idealisme sendiri muncul makna bahwa realitas harus terkait dengan ide, kesadaran, atau proses berpikir. Realitas materi dapat diketahui hanya dengan melalui ide, dan orang tidak dapat mengetahui apakah idenya tentang realitas tersebut secara akurat dapat menggambarkan realitas tersebut. Sementara itu, aliran monisme memandang realitas secara mendasar adalah satu dari segi proses, struktur, substansi. Penjelasan monistik hendak menghubungkan semua realitas dalam keseluruhan yang saling terhubungkan dan logis dalam sistem-sistem besar. Pendukung monisme mencakup Parmenides dan Hegel (tentang realitas sebagai wujud dari ruh yang absolut). Aliran lain yang digolongkan dalam ontologi idealisme ialah dualisme, yang menjelaskan realitas dalam istilah yang berbeda (oposisi). Manakala perbedaan tersebut terpolarisasi, maka muncullah dualisme. Pendukung dualisme meliputi Hegel tentang dialektika, Descartes (2003), juga Bergson.
Ontologi pragmatisme memegang argumen bahwa realitas adalah “pengalaman murni” di mana semua hubungan dapat ditemukan namun tidak ada dualitas kesadaran dan isi, pemikiran dan benda. Sementara ontologi marxisme melihat teori lebih sebagai alat perubahan sosial, daripada sebuah alat berpikir rasional. Sedangkan materialisme memandang materi atau energi sebagai substansi realitas puncak.
Setelah di atas didiskusikan tipe ontologi, berikutnya didiskusikan aspek epistemologi dalam susunan pearadigma. Teori kebenaran yang digunakan dalam epistemologi mencakup teori korespondensi, koherensi, dan pragmatis.
Dalam teori korespondensi, ide atau proposisi itu benar apabila secara akurat dan cukup menyerupai atau merepresentasikan realitas, setidak-tidaknya terdapat korelasi antar keduanya. Penganut realisme epistemologis tergolong ke dalam aliran ini, mencakup Aristoteles, Locke, Russell, Austin.
Dalam teori koherensi, ide atau proposisi barulah benar manakala “sesuai dengan” atau konsisten dengan atau diperlukan oleh totalitas kebenaran, di mana ide atau proposisi itu menjadi bagian darinya. Aliran idealisme Hegel, Bradley, Blanshard tergolong di dalamnya. Begitu pula di luar idealisme, misalnya Carnap dan Neurath.
Dalam teori pragmatis ide atau proposisi itu benar manakala ia berfungsi, memuaskan, atau mampu melakukan sesuatu. Penganut teori ini mencakup James, Pierce, Dewey.
Akhirnya disajikan beragam tipe aksiologis. Hanya saja, pada saat sistematika aksiologi dipadukan dengan kategorisasi ontologi dan epistemologi menurut tokoh-tokohnya, ternyata muncul ketidakkonsistenan, sebagaimana disajikan di bawah. Oleh sebab itu, pembahasan ontologi tidak langsung disajikan bersama aspek ontologi dan epistemologi, melainkan terpisah setelah kedau aspek lebih dahulu didiskusikan. Kategori ontologi mencakup, pertama, obyektivisme (mencakup obyektivisme dan realisme aksiologis). Kedua, subyektivisme aksiologis. Ketiga, relasionisme aksiologis. Keempat, emotivisme (mencakup emotivisme, nominalisme, skeptisisme aksiologis).
Obyektivisme atau realisme aksiologis memandang nilai, norma, ideal dipandang berada pada realitas obyektif, atau berasal dari realitas obyektif tersebut. Nilai memiliki makna benar atau salah, meskipun penilaian tersebut tidak bisa diverifikasi. Pendukung realisme aksiologis mencakup Bosanquet (idealisme), Scheler (fenomenologi), CI Lewis (pragmatisme konseptual), GE Moore (intuisisme), juga Plato, Aristoteles, St Thomas Aquinas, Maritain, Rotce, Urban, Whitehead, Joad, Spauling, Alexander.
Sementara itu, subyektivisme aksiologis memandang nilai berkaitan dengan sikap mental terhadap obyek atau situasi. Penentuan nilai setuju atau tidak setuju dapat dianalisis sebagai pernyataan menyangkut sikap, tingkat kesetujuan, kesenangan, dan sebagainya. Subyektivisme cenderung menyetujui posisi hedonisme yang menyatakan kebahagiaan kriteria nilai, atau posisi naturalisme yang mereduksi nilai ke dalam pernyataan psikologis. Pendukung subyektivisme aksiologis mencakup Hume (skeptisisme), Sartre (eksistensialisme), Santayana (hedonisme estetik), DH Parker (humanisme), dan Perry (naturalisme).
Relasionisme aksiologis memandang nilai sebagai hubungan saling terkait dengan variabel, atau sebagai produk dari hubungan antar variabel tersebut. Nilai tidak bersifat privat (subyektif) tetapi bersifat publik, sekalipun tidak bersifat obyektif dalam arti terlepas dari kepentingan. Relasionisme aksiologis didukung oleh Dewey (instrumentalisme), Pepper (kontekstualisme), Ducasse (humanisme), Lepley.
Akhirnya, menurut nominalisme penentuan nilai merupakan ekspresi emosi atau usaha untuk membujuk, yang keduanya tidak bersifat faktual. Oleh sebab itu ilmu tentang nilai dipandang mustahil. Pendukung aliran ini meliputi GE Moore, IA Richard, Nietzshe, Ayer, Russell, Stevenson, Schlick, Carnap.
Jika aliran-aliran dalam ontologi dan epistemologi saling disilangkan, maka diperoleh 12 sel (Tabel 1). Tafsir yang dipakai di sini ialah, bahwa paradigma berusaha membaca realitas dengan cara tertentu dan khas, oleh karenanya pembacaan realitas tersebut lebih masuk ke dalam aspek ontologis dan epistemologis. Kedua aspek tersebut juga terlihat lebih konsisten daripada aspek aksiologis, sekalipun tipologi aksiologis dapat menunjukkan pecahan teori dan metodologi yang berposisi berdekatan. Dengan demikian paradigma (ontologi-epistemologi) sosiologi mencakup : realisme-korespondensi, realisme-koherensi, realisme-pragmatisme, idealisme-korespondensi, idealisme-koherensi, idealisme-pragmatisme, pragmatisme-korespondensi, pragmatisme-koherensi, pragmatisme-pragmatisme (dobel pragmatisme), marxisme-korespondensi, marxisme-koherensi, marxisme-pragmatisme.
Tabel 1. Paradigma Metodologi Ilmu Sosial
ONTOLOGI EPISTEMOLOGI
KORESPONDENSI KOHERENSI PRAGMATIS
MARXISME Metodologi teori kritis:
Metode teori kritis, etnografi kritis Metodologi partisipasi-marxis:
Partisipasi lembaga swadaya masyarakat
PRAGMATISME Metodologi pascamodernisme:
Metode pascamodernisme, dekonstruksi, arkeologi pengetahuan, genealogi, feminisme, queer theory Metodologi partisipasi-pragmatis:
Kaji tindak (action research)
IDEALISME Metodologi Konstruktivisme:
Konstruktivisme, etnometodologi Metodologi hermeneutika:
Hermeneutika Metodologi partisipasi-idealis:
Pekerjaan sosial karitatif
REALISME Metodologi positivisme:
Metode kuantitatif, survai, sensus Metodologi pascapositivisme:
Perkawinan metode kuantitatif dan kualitatif, strukturalisme, fenomenologi, hermeneutikan positif, grounded theory Metodologi partisipasi- realis:
Partisipasi oleh negara, partisipasi oleh pasar

Adapun kompilasi atas metodologi yang ada sampai saat ini dapat disusun sebagai berikut (Tabel 1):
1. realisme-korespondensi: metodologi positivisme
2. realisme-koherensi: metodologi pascapositivisme
3. idealisme-korespondensi: metodologi konstruktivisme
4. idealisme-koherensi: metodologi hermeneutika
5. pragmatisme-koherensi: metodologi pascamodernisme
6. pragmatisme-pragmatisme (dobel pragmatisme) : metodologi partisipasi (kaji tindak)
7. marxisme-koherensi: metodologi teori kritis
Terlihat bahwa tidak seluruh sel terisi, yang menunjukkan peluang metodologi baru yang muncul. Khusus metodologi partisipasi, ternyata terdapat ragam tipe partisipasi, baik dalam ranah dobel pragmatisme yang sudah banyak dikenal, juga dalam partisipasi untuk perubahan struktural atau emansipatoris (paradigma marxisme-pragmatis), serta partisipasi untuk peningkatan efisiensi kegiatan (realisme-pragmatisme). Oleh karena dari sisi metodologi dimungkinkan, maka akan muncul peluang teori-teori partisipasi (yang di atas belum bermunculan). Sel yang mustahil untuk diisi ialah paradigma metodologi marxisme-korespondensi dan pragmatisme korespondensi, karena marxisme dan pragmatisme justru tidak menyepakati realitas yang ada melainkan hendak membongkarnya.

Dari Basis Epistemologi Pragmatisme

Barangkali kondisi metodologi partisipasi saat ini sangat menarik untuk dijadikan pelajaran tentang proses pembentukan paradigma metodologi baru. Metodologi lama dipandang sedang mengalami anomali, terutama positivisme yang mengobyektivasi responden dan metodologi lain yang bersifat abstrak. Metodologi-metodologi sebelumnya tidak membuka peluang untuk mempraktekkan pengetahuan bersama pemberi informasi, terlebih untuk membangun pengetahuan bersama mereka. Anomali ini tidak terselesaikan sehingga menjadi krisis paradigmatik bagi metodologi lama.
Alternatif yang muncul di antaranya pengembangan paradigma partisipasi. Sebagian pihak mengakui paradigma ini sejak pertengahan 1990-an (Lincoln dan Guba, 2000), sebagai paradigma paling mutakhir yang muncul. Dapat dikatakan di sini, tradisi Barat semula menjauhkan teori dari praksis, kemudian metodologi partisipasi hendak memperbaiki tradisi Barat tersebut (Eikeland, 2002). Konteks ini perlu dipertimbangkan sewaktu mempratekkannya bersama masyarakat desa, karena di Indonesia bisa saja muncul pengetahuan sebagai hasil praksis atau tidak ada jarak antara ilmu dan praktek.
Pada saat ini ada pula yang menolak perkembangan metodologi partisipasi, karena terdapat praktek partisipasi sebagai alat untuk mencapai tujuan, tetapi bukan sebagai tujuan akhir dari proses sosial yang dibangun (Kumar, 2002). Kritik yang paling kuat ialah melencengnya jalur partisipasi menjadi tirani kembali bagi lapisan bawah (Cooke dan Kothari, 2004).
Saya memberikan interpretasi yang berbeda atas situasi tersebut, yaitu memandangnya sebagai suatu proses dari krisis menuju pembentukan paradigma baru. Paradigma partisipasi seringkali dipandang sebagai perkembangan dari paradigma kritis (Lincoln dan Guba, 2000).
Pada situasi saat inipun masih terlihat keberagaman lebih dari satu jenis paradigma partisipasi ini, di mana salah satu diantaranya dipandang sebagai alat guna menuju tirani partisipasi di atas. Keberagaman tersebut sudah mulai terbaca dari keragaman teori-teori dari beragam mazab sosiologi yang dimasukkan ke dalamnya, asalkan bercirikan pembukaan partisipasi informan (responden sebagai co-researcher) ke dalam desain dan pelaksanaan penelitian (Reason dan Bradbury, 2000). Dalam edisi terbaru, Reason dan Bradbury (2000) memasukkan interaksionisme simbolis sebagai bagian dari metodologi partisiaptoris, padahal Lincoln dan Guba (2000) memasukkannya ke dalam paradigma konstruktivisme. Sementara itu, Lincoln dan Guba mendudukkan metodologi teori kritis lebih tinggi dari (dan kemudian sejajar dengan) metodologi partisipasi. Sebaliknya, Reason dan Bradbury mendudukkan teori-teori kritis sebagai salah satu varian metodologi partisipasi, bersama-sama, misalnya, dengan feminisme dan interaksionisme simbolis. Bahkan pendekatan humanistik secara umum didudukkan sebagai bagian dari varian metodologi partisipasi. Sebetulnya terdapat kasus-kasus yang lebih berbahaya dalam mencampur beragam posisi ontologi, misalnya partisipasi yang masih membedakan realitas peneliti dan informan (realisme), namun memandang realitas secara subyektif, menghendaki insight dan empati (subyektivisme), menggunakan diskusi dan pendidikan orang dewasa yang berbasiskan pengalaman sehari-hari sebagai aspek penting partisipasi (pragmatisme), sampai akhirnya melakukan aksi.
Simpang siur dalam metodologi partisipasi menunjukkan arah yang hendak menuju kematangan paradigma (Kuhn, 2002). Dengan kata lain, masih dibutuhkan waktu untuk menunjukkan kekuatan paradigma ini, atau mungkin memang akan selamanya berupa paradigma ganda dalam metodologi partisipasi. Alternatif lainnya lagi, ialah merebut pengaruh terbesar dalam ranah paradigma partisipasi. Dalam bab ini disajikan tipe peradigma partisipasi berbasis ontologis dan aksiologis, yaitu tipe pragmatis, marxis, subyektif an obyektif.
Pengikat dari beragam paradigma partisipasi ialah epistemologi pragmatisme. Di sini kebenaran diuji melalui kesepakatan oleh semua pihak yang terlibat. Semakin banyak yang menyetujuinya maka kebenaran dari hasil kegiatan penelitian tersebut juga meningkat. Jika dibandingkan dengan metodologi lain yang bercirikan epistemologi korespondensi dan koherensi, dengan segera paradima partisipasi ini dikenali dari ciri kepraktisan penggunaannya untuk mengembangkan masyarakat. Peneliti (seringkali lebih tepat dimaknai sebagai pendamping) bekerja bersama masyarakat lokal untuk mengenali dunianya sendiri, mendefinisikan dunia tersebut, kemudian meletakkan suatu tujuan ke depan yang akan dicapai bersama (Heron, 1996). Paradigma metodologi positivisme dan pasca positivisme tidak memberikan ruang partisipasi bagi responden secara politis (turut berpikir dan menentukan desain penelitian) dan bagi peneliti secara epistemis (melakukan aksi dalam proses penelitian). Berlainan dengan hal itu, paradigma metodologi partisipasi memberikan ruang secara parsial maupun penuh bagi responden (ko-peneliti) secara politis dan peneliti secara epistemis. Sementara itu, paradigma kualitatif lainnya dicirikan oleh partisipasi parsial pada responden untuk menentukan desain penelitian dan partisipasi parsial peneliti dalam aksi. Paradigma partisipasi sendiri bercirikan partisipasi penuh informan (bersama peneliti) dalam merumuskan desain penelitian, sekaligus partisipasi penuh peneliti (bersama informan) dalam aksi-aksi sebagai konsekuensi penelitian.

Partisipatif-Realisme

Paradigma partisipasi dengan ontologi realisme kini banyak dipraktekkan dalam proyek-proyek dari donor internasional dipusatkan untuk menanggulangi kemiskinan sejak dekade 1990-an (McMichael, 2004). Penggunaan instrumen partisipasi untuk mengefektifkan pembangunan pedesaan lebih ditekankan lagi sejak awal tahun 2000, sebagai respons ketidakstabilan kondisi sosial akibat krisis finansial, terorisme, dan gerakan protes sosial yang mulai melembaga. Dapat dikatakan bahwa pada dekade 2000-an ini muncul tekanan untuk memperhatikan komunitas dan pendekatan partisipatif. Eksemplar untuk kebutuhan ini ditunjukkan antara lain oleh terbitnya rangkaian terbitan Voices of the Poor (buku pokok oleh Narayan, 1999).
Pada posisi realisme yang paling mendasar (Pasmore, 2002), pengukuran ekonomis masih dipandang penting, meskipun secara sekunder. Yang dikedepankan ialah proses belajar, terutama tentang lingkungan di sekitar informan. Bukannya organisasi, komunitas, atau negara, melainkan fokus kegiatan lebih ditujukan kepada kelompok atau individu (Grinstein-Weiss dan Curley, 2004).
Pandangan sebagai individu memiliki landasan teoretis pada teori-teori ekonomi, di mana masyarakat memang dimaknai sekedar sebagai agregat individu-individu penyusunnya. Adapun interaksi antar individu tersebut berupa persaingan, yang didasarkan pada pemenuhan kepentingan masing-masing. Sejajar dengan itu, kekuasaan dimaknai sebagai kemampuan untuk memenangkan persaingan itu sendiri. Implikasinya dalam pemberdayaan berupa upaya untuk mendidik individu maupun kelompok sedemikian hingga mampu bersaing dalam aturan baku (Daley dan Avant, 2004). Eksistensi tentang seorang warga, dengan demikian, menjadi yang memiliki usaha, bukannya semua orang yang menempati wilayah tersebut.
Beragam metode digunakan untuk pengumpulan data dan pengetahuan. Pengetahuan yang muncul selama pelaksaan proses partisipasi digunakan untuk mengambil keputusan bersama, namun diutamakan agar dilakukan oleh informan. Dalam kaitan ini diupayakan agar informan memiliki akses sebanyak-banyaknya atas sumberdaya lokal sampai global. Pada akhirnya diupayakan untuk disusun suatu organisasi masyarakat yang bisa menjaga proses partisipasi semacam ini.
Metode PRA (Particiaptory Rural Appraisal) banyak digunakan disini. Sifat pembedaan antara peneliti dan informan merupakan asumsi bagi pembukaan jalan partisipasi informan oleh peneliti (Chambers, 1988, 1996). Kiranya hal merupakan konsekuensi karena PRA merupakan adaptasi dari RRA (Rapid Rural Appraisal) yang menekankan keahlian peneliti dalam mengukur cepat kinerja informan. PRA juga memiliki ciri-ciri relatif cepat digunakan, dan tidak tertuju kepada perubahan struktural, mungkin bahkan memiliki bias bersifat individual (Francis, 2001).
Metode lain yang dikembangkan ialah mendukung persaingan antar warga dan menjalin hubungan-hubungan pertukaran. Dilaksanakan pula penerapan prosedur baku dan hukum-hukum pengontrol tindakan. Mungkin sangat sulit bagi pemerintah untuk duduk sejajar dengan masyarakat dalam membangun suatu program. Sehingga pola-pola dialog yang dibangun lebih berupa konsultasi yang terbatas dari pemerintah dengan masyarakat. Adapun aturan main sebagai hukum cenderung digunakan secara generalis, yang berarti digunakan untuk wilayah yang luas.
Hasil dari pendekatan individu dapat berupa upaya mengurangi disfungsi sosial seorang warga, seraya meningkatkan kemampuan fungsionalnya. Warga yang memiliki kemandirian usaha. Aksi pemberdayaan dilakukan melalui insentif-insentif yang menarik bagi mereka dalam suatu pasar barang dan jasa. Oleh karenanya partisipasi diarahkan untuk meningkatkan kemampuan warga dalam mengambil keputusan secara rasional ekonomis.

Partisipatif-Subyektivisme

Metodologi dalam ontologi idealisme memandang pengetahuan yang muncul bersifat subyektif. Hubungan antara peneliti dan informan dihilangkan (Borda, 2002; Sanoff, 2000; Whyte, 1991). Interaksi di antara mereka digunakan untuk mengkonstruksi pengalaman masing-masing, kemudian saling dipertukarkan untuk memperoleh kesamaan pengalaman bersama. Partisipasi dalam terang ontologis ini tidak perlu mengandaikan perubahan struktural. Ia bisa berupa penguatan struktur lokal. Bahkan pekerjaan sosial bisa dilakukan secara karitatif, dan kepada anggota masyarakat yang dianggap tidak bisa berfungsi senormal anggota masyarakat lainnya (Stuart, 2004).
Dalam ontologi subyektivisme, metodologi partisipasi perlu dilaksanakan dengan dasar simpati dari peneliti kepada informan (Lincoln, 2002). Adapun perorangan dan lembaga karitatif, atau tindakan altruistik, memandang kewarganegaraan sebagai bagian dari kerja, kewajiban, sampai hasrat untuk menolong. Konsekuensinya mereka berusaha mengembangkan masyarakat melalui aksi-aksi filantropis. Metodolgi yang dikembangkan selama aksi ini ialah patronase, mungkin patronase individual, dari masyarakat umum kepada tokoh-tokoh dalam kelembagaan karitatif tersebut.

Partisipatif-Pragmatisme

Terdapat tiga aspek dalam metodologi partisipasi dalam terang pragmatisme, yaitu, pertama, pengetahuan, yang dimaknai sebagai sumberdaya yang bisa mempengaruhi keputusan (Gaventa dan Cornwall, 2002). Kedua, tindakan atau aksi, yang diwujudkan oleh keikutsertaan informan dalam produksi pengetahuan tersebut. Ketiga, kesadaran, berupa proses produksi pengetahuan yang mampu memberikan kesadaran baru bagi informan yang berpartisipasi.
Metodologi partisipasi memiliki ikatan kontekstual dan berkaitan dengan penyelesaian masalah sehari-hari yang nyata (Greenwood dan Levin, 2000; Levin dan Greenwood, 2002). Pengetahuan disusun melalui komunikasi antar informan sebagai kolaborator. Beragam pengalaman dan kapasitas informan digali atua diidentifikasi selama proses partisipasi ini. Dalam terang ontologi pragmatisme, metodologi partisipasi berupaya untuk memperoleh suara lokal dalam ragam yang sebanyak-banyaknya, dari banyak pihak, dari banyak orang (Maguire, 2002).
Kemudian pengalaman tersebut diinterpretasikan bersama (Gustavsen, 2002). Beragam suara tersebut dimaknai sebagai ragam kekuatan yang terdapat di lokasi penelitian. kekuasaan (power) yang ada pun lebih berupa kekuasaan berbasis wacana (Park, 2002).
Selanjutnya disusun visi ke depan, sambil menyusun rencana yang memungkinkan untuk ditindaklanjuti. Di sini lingkungan penelitian dan karakteristiknya dipandang plural. Hubungan di antara alternatif perencanaan disusun, sehingga peluang pluralitas tindakan juga meningkat. Partisipasi dalam paradigma teori-teori kritis ialah turut menyusun wacana baru yang emansipatoris, sehingga pemberdayaan yang dimunculkan ialah kemampuan dalam membangun wacana ini.
Salah satu klaim kebenaran ialah kemampuannya untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Pada taraf lebih lanjut, metodologi partisipasi mampu mengubah kelembagaan dan organisasi (Gaventa dan Cornwall, 2002). Di samping itu metodologi ini juga mengubah tingkah laku dan sikap. Hasil dari partisipasi tersebut dihubungkan dengan kapasitas lokal dan gerakan sosial, yang berarti menyusun jaringan dengan kelembagaan vertikal (Petersen, et.al., 1999).

Partisipatif-Marxisme

Ketika metodologi partisipasi diletakkan pada ontologi Marxis, teori kritis dijadikan sebagai ide untuk praktek (Kemmis, 2002). Para informan dipandang sebagai personal yang otentik, sehingga berhak untuk mengemukakan visi realitasnya sendiri. Hasil yang diperoleh dari partisipasi kelompok-kelompok kecil selalu dikaitkan dengan struktur makro.
Di sini masyarakat tidak dilihat secara integralistik, melainkan secara hierarkis. Stratifikasi sosial yang muncul didominasi oleh pihak yang menindas, baik berbentuk kelas sosial, suku, ras, gender, dan sebagainya. Adapun kekuasaan segera tampak melalui pola tingkah laku kelompok dominan yang menindas kelompok yang tersubordinasi. Implikasinya terhadap pemberdayaan ialah diupayakannya tindakan pembebasan, perubahan stuktur yang mendasar, seraya menantang fenomena penindasan struktural tersebut.
Jika penganut paradigma elitis memandang aliansi, apalagi penggabungan kepada elite, sebagai bentuk keberhasilan, karena memperoleh posisi kekuasaan, maka penganut paradigma struktural jelas memandangnya secara berkebalikan, yaitu tersungkurnya warga ke dalam penindasan kekuasaan struktural. Pemberdayaan barulah berhasil ketika struktur sosial diubah, seringkali harus secara revolusioner, sehingga struktur yang semula dipandang sebagai penindasan berubah menjadi hubungan-hubungan setara. Hasil yang dicapai dalam partisipasi Marxis ialah informan-informan yang memiliki kekritisan lebih mendalam terhadap lingkungan lokalnya (lifeworld), sampai mencakup interpretasi atas struktur makro (the system).

Eksemplar

Eksemplar metodologi partisipasi yang disajikan di sini merupakan karya Budi Baik Siregar, berjudul Menelusuri Jejak Ketertinggalan: Merajut Kerukunan Melintasi Krisis. Secara tegas Siregar mengetengahkan metode PRA, sehingga tepat memasukkan penelitiannya ke dalam metodologi partisipasi berbasis ontologi realisme. Secara jelas pula disajikan di sana perbedaan antara posisi Orang Luar (OL, peneliti) dan Orang Dalam (OD, masyarakat). Keduanya harus berinteraksi, agar menghasilkan kesepakatan tentang pengetahuan yang bermanfaat bagi semua pihak. Secara umum Siregar juga mengadopsi upaya peneliti untuk mengatasi tradisi Barat yang membedakan teori dari praktek.

Kaji-Tindak Partisipatif (KTP) adalah istilah program sedangkan esensinya menunjuk pada metodologi Participatory Learning and Action (PLA) atau belajar dari bertindak secara partisipatif; belajar dan bertindak bersama, aksi-refleksi partisipatif. PLA juga dikenal sebagai Participatory Rural Appraisal (PRA) atau pengkajian keadaan desa secara partisipatif. Penggunaan istilah PLA dalam kajian ini dimaksudkan untuk menekankan pengertian partisipatif pada proses belajar bersama masyarakat untuk pengembangan.
Kaji-Tindak Partisipatif, dan nama kegiatan mencerminkan suatu dialektika yang dinamis antara kajian dan tindakan secara tak terpisahkan. Kajian partisipatif menjadi dasar bagi tindakan partisipatif. Jika dari suatu tindakan terkaji masih ditemui hambatan dan masalah, maka kajian partisipatif diulang kembali untuk menemukan jalan keluar, demikian seterusnya. Sebuah kajian partisipatif dalam masyarakat meletakkan semua pihak yang berpartisipasi –apakah sebagai petani, nelayan, pedagang, aparat desa, atau petugas pelayan masyarakat--dalam posisi yang setara fungsional, dan menghindar dari adanya pihak yang memiliki posisi istimewa dalam menggali dan merumuskan proses dan hasil kajian. Keputusan kajian partisipatif itu, menjadi pijakan dalam menata struktur tindakan (kerja, program)--siapa yang melakukan apa.
KTP memiliki dua sisi yang saling memiliki dan tidak bisa dipisahkan. Sisi pertama adalah sekumpulan jiwa, etika dan prinsip yang mendahulukan kepentingan masyarakat di mana ia digunakan. Sisi kedua adalah sekumpulan alat atau teknik pemberdayaan masyarakat (penjajagan kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi) yang sederhana dan berdaya guna praktis untuk berbagai tingkat kemampuan.
Sisi pertama yaitu jiwa etika dan prinsip-prinsip dapat diuraikan sebagai berikut:
• Belajar dari masyarakat. Prinsip yang mendasari pendekatan ini adalah PLA dari, oleh, dan untuk masyarakat. Ini berarti, PLA dibangun pada pengakuan serta kepercayaan akan nilai dan relevansi pengetahuan masyarakat serta kemampuan masyarakat untuk memecahkan masalahnya sendiri.
• orang luar sebagai pemerlancar, masyarakat sebagai pelaku. Konsekuensi prinsip pertama, orang luar perlu menyadari perannya sebagai pemerlancar, bukan sebagai pelaku, peneliti, guru, atau kornandan yang, menempatkan masyarakat desa sebagai objek. Fasilitator perlu menyiapkan diri untuk juga belajar dari masyarakat dan menempatkan masyarakat sebagai narasumber utama dalam memahami apa yang telah, sedang, dan akan terjadi dalam masyarakat. Proses analisis menilai kejadian pada dirinya dan lingkungannya sama pentingnya dengan ketepatan informasi dan rumusan konkrit penilaian atas kejadian.
• Saling belajar, saling berbagi pengalaman. Prinsip dasar pengakuan akan pengalaman dan pengetahuan tradisional masyarakat, tidak berarti selamanya benar dan harus dibiarkan tidak berubah. Kenyataan objektif membuktikan bahwa perkembangan pengalaman dan pengetahum tradisional masyarakat tidak sempat mengejar perubahan-perubahan yang terjadi dan tidak dapat lagi memecahkan masalah yang berkembang. Namun sebaliknya telah terbukti pula bahwa pengetahuan modern yang diperkenalkan orang luar tidak juga memecahkan masalah mereka (bahkan sering menciptakan masalah yang lebih besar). PRA merupakan ajang dialog antara kedua sistem pengetahuan itu.
• Keterlibatan semua kelompok masyarakat. Masyarakat tidak homogen. Mereka memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Suatu kekeliruan bila mengasumsikan bahwa kelompok tertentu (tokoh formal, tokoh informal, elit desa) mewakili kepentingan seluruh masyarakat. Kekeliruan seperti ini kemudian melahirkan program-program yang hanya rnemenuhi suatu golongan tertentu dan tidak didukung oleh seluruh masyarakat. PRA berperan mencegah bias-bias tersebut melalui pelibatan semua golongan masyarakat, dan menyediakan tempat yang khusus bagi kelompok masyarakat paling sedikit memiliki akses dalam komunitasnya (golongan paling miskin, kasta terendah, perempuan dan anak-anak).
• Santai dan informal. Kegiatan PRA diselenggarakan secara informal, luwes, terbuka dan tidak memaksa. Situasi ini menimbulkan hubungan akrab, media orang luar untuk masuk sebagai anggota kelompok kerja, bukan "orang asing" yang sarat dengan protokol atau simbol-simbol yang asing.
• Menghargai perbedaan. Masyarakat terdiri dari orang-orang yang memiliki pandangan pribadi atau pandangan golongannya sendiri. PRA mewadahi semangat saling menghargai di antara individu-individu atau golongan yang berbeda pandangan, dan melihat sejumlah variasi informasi dan masalah, bukan memberikan rata-rata hasil. Meskipun PRA juga memiliki "sampling” sumber informasi, tetapi tidak memberikan nilai rata-rata secara statistik. Jalan keluar dari permasalahan ini adalah dengan pengorganisasian masalah dan pengurutan prioritas masalah yang akan ditemukan oleh masyarakat sendiri sebagai pemiliknya.
• Triangulasi. Salah satu potensi PRA adalah usaha mengumpulkan dan menganalisis data secara sistematis bersama masyarakat. Untuk mendapatkan informasi yang ke dalam kedalamannya bisa diandalkan, dapat menggunakan triangulasi yang merupakan bentuk “pemeriksaan dan pemeriksaan ulang” (check and re-check). Triangulasi dilakukan antara lain melalui penggunaan variasi dan kombinasi berbagai teknik PRA, menggali berbagai jenis dan sumber informasi, dan fasilitator tim PRA yang multidisipliner.
• Mengoptimalkan hasil. Untuk mendayagunakan personil, waktu dan dana dilakukan dengan ketidaktahuan optimal (optimal ignorance) yakni membatasi usaha untuk mengetahui hal-hal yang paling penting secara memadai (bukan maksimal) dan ketidakpersisan yang tepat guna (approriate imprecission) yakni kesimpulan yang barangkali tidak 100 persen tetapi cenderung mendekati kebenaran.
• Belajar dari kesalahan. PRA bukanlah suatu perangkat yang telah selesai, sempurna dan pasti benar. Diharapkan bahwa teknik-teknik itu senantiasa bisa dikembangkan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Dengan demikian melakukan kesalahan yang sering dianggap tidak wajar, dalam PRA adalah suatu yang wajar. Yang penting bukanlah kesempurnaan dalam penerapan, yang tentu sukar dicapai, tetapi penerapan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuan yang ada dan kemudian belajar dari kekurangan-kekurangan yang terjadi agar pada kegiatan berikutnya menjadi lebih baik. Yang penting, PRA bukanlah kegiatan coba-coba (trial and error) yang tanpa perhitungan kritis untuk meminimalkan kesalahan.
• Orientasi praktis. PRA berorientasi praktis, yakni pemecahan masalah dan pengembangan program. Untuk itu dibutuhkan informasi relevan dan bukannya semua info "yang bisa diperoleh tentang suatu hal”. Yang diperlukan adalah pengetahuan optimal. Tidak semua informasi perlu dicari dan digali sedalam-dalamnya. Dengan kata lain, perkiraan yang tepat akan lebih baik mencapai perkiraan yang hampir salah atau lebib baik mencapai perkiraan yang hampir salah daripada perkiraan yang hampir benar. PRA bukanlah kegiatan yang dilakukan demi PRA itu sendiri, melainkan kegiatan program kemasyarakatan yang sedang digarap atau yang baru akan dikembangkan.
• Keberlanjutan dan selang waktu. Kepentingan-kepentingan dan masalah ini terus berubah dan bergeser menurut waktu sesuai dengan berbagai perkembangan dan perubahan baru yang berlangsung dalam masyarakat. Karenanya, kegiatan mengenali masyarakat bukanlah usaha yang sekali kemudian selesai, namun suatu usaha yang berlanjut. PRA membutuhkan garansi moral bahwa hasil-hasil penggalian informasi harus ditindaklanjuti sesuai dengan aspirasi yang melekat pada "hasil" PRA.
Pendekatan partisipatif dalam pengembangan masyarakat memiliki manfaat khusus, yaitu :
• Membangun kemampuan masyarakat dalam mengambil keputusan. Kegiatan partisipatif bekerja melakukan pengujian terhadap aktivitas individual atau kelompok masyarakat yang telah atau sedang berlangsung. Pengujian atas aktivitas tersebut akan menghasilkan informasi yang relevan bagi masyarakat untuk mengambil keputusan.
• Membangun kemampuan masyarakat dalam menilai dan melaksanakan kegiatan. Kegiatan partisipatif berfungsi mengaktualisaskan keahlian masyarakat yang selama ini kurang dilibatkan dan mengembangkan kemampuan menganalisis masyarakat untuk menghasilkan keputusan yang berkualitas bagi kepentingan mereka. Hal itu akan membantu masyarakat dalam mengorganisasikan dan mengungkapkan kepentingan mereka dan dapat dimengerti oleh orang luar dalam komunikasi dua arah.
• Memberi kesempatan bagi orang luar untuk lebih memahami keberadaan masyarakat. Manfaat pendekatan partisipatif bagi orang luar adalah melengkapi dan memperkaya penilaian yang mereka lakukan. Hal ini sangat berarti bila orang luar secara khusus bertujuan untuk meningkatkan keswadayaan masyarakat. Kegiatan partisipatif akan meningkatkan kemampuan masyarakat mengelola kegiatannya sendiri setelah orang luar meninggalkan mereka. Aspirasi orang dalam (masyarakat) dapat dengan mudah tersalur, setelah berhasil mengatasi konflik-konflik kepentingan yang mungkin terjadi dalam masyarakat. Masyarakat seringkali memiliki pengetahuan dan gagasan tentang pembangunan diri mereka sendiri, namun tidak tersalurkan atau tersalurkan tetapi tidak dipergunakan. Dengan pendekatan partisipatif sangat mungkin untuk mengaktualisasikan pengetahuan dan gagasan tak terduga yang perlu dipelajari oleh Para perencana dan pengambil keputusan pada semua aras. Masyarakat menyampaikan pandangannya kepada pengambil keputusan dan mengajak mengerti lebih dalam tentang arti pembangunan menurut kerangka penalaran masyarakat.
• Memperkuat mekanisme komunikasi antar-anggota masyarakat. Hasil telaah partisipatif dapat digunakan untuk pemberdayaan komunitas lokal melalui penyampaian hasil studi dari suatu satuan masyarakat kepada masyarakat lain (yang berdekatan maupun yang berjauhan) yang menghadapi masalah yang sama. Dengan cara ini masyarakat akan saling belajar di antara mereka sendiri.
• Data studi partisipatif berguna bagi penglolaan kegiatan yang sedang berlansung (umpan balik). Hasil kajian dan tindakan partisipatif dapat digunakan oleh orang dalam dan orang luar untuk mengidentifikasi kelebihan dan kelemahan suatu kegiatan. Jika kegiatan akan dilanjutkan atau pada fase penyerahan kepada orang dalam, infonnasi dapat digunakan untuk memperbaiki dan mempermudah pencapaian tujuan yang lebih efektif dan menghasilkan respon yang lebih baik dalam memilih kebutuhan dan prioritas kegiatan.
• Titik awal untuk pendekatan partisipatif Dalam masyarakat yang belum mencirikan mekanisme partisipatif, penilaian partisipatif mungkin merupakan awal dan pendekatan parfisipatif. Masyarakat lapisan bawah mungkin terlibat dalam proses, tidak hanya membantu memberi informasi tentang komunitas tetapi juga membantu lapisan bawah dalam mengembangkan kemampuan dan pengalaman melakukan analisis.

Jamak dilakukan dalam paradigma partisipasi untuk menggunakan beragam metode, karena kebutuhan evaluasi suatu program kegiatan. Sekalipun demikian, ciri ontologis masih terlihat pada pendefinisian konsep dan metode yang dipinjam dari ranah lain. Siregar meminjam konsep dari Heron. Sementara dirinya sendiri berpijak pada pembedaan peneliti dan informan, posisi Heron ”melompat” pada posisi yang menyatukan posisi peneliti dan informan. Hasil dari analisis eklektik ini tetaplah menunjukkan pembedaan pengetahuan (yang sebenarnya merupakan pengetahuan berbasis perbedaan pengalaman), antara Orang Luar (OL) dan Orang Dalam (OD). Barangkali kritik juga perlu disampaikan kepada Heron, karena menggabungkan sekaligus pengetahuan positivistik atau ilmiah bersama dengan pengetahuan berbasis pengalaman. Dengan kata lain, sekalipun dalam idenya hendak menyatukan posisi peneliti dan informan, namun implikasi analisis yang dikemukakan tetap menunjukkan pembedaan dalam ranah ontologi realisme (tepatnya ontologi realisme-epistemologi pragmatis).

Usaha-usaha ke arah rekonsiliasi OL (Orang Luar. Pen) dan OD (Orang Dalam. Pen) memerlukan pijakan epistemologi dan metodologi yang tepat. Heron (1996), Reason (1994), Fernandes dan Tandon (1992), dan Watloly (2000) telah memberi sumbangan yang berharga terhadap gagasan ini. Heron (1996) menyebutkan terdapat pendekatan yang secara teoritis dan empiris relevan dengan kebutuhan mengatasi krisis komunitas, dan lebih luas lagi mendorong gerakan kembali paradigma kebudayaan. Paradigma ini dapat menghindari kepincangan epistemologis. Paradigma ini relevan mengatasi masalah-misalah empiris, karena ia memang alamiah. Heron menyebutnya dengan Paradigma Partisipatif, sebagai paradigma kelima (The Fifth Paradigm).
Paradigma partisipatif memiliki dua sayap epistemik, yaitu sayap pengetahuan yang berbicara tentang, nilai-kebenaran (truth-value) dan sayap politik. Sayap epistemik dibentuk oleh:
(a) Sebuah ontologi yang memihak pada realitas bentuk-pikiran yang subjektif-objektif: subjektif karena ia hanya diketahui melalui mana pikiran memberinya bentuk: objektif karena pikiran yang saling mendesak yang dibentukkan oleh kosmos dimana ia dibentuk.
(b) Sebuah epistemologi yang menjelaskan hubungan antara yang mengetahui (subjek) dengan yang diketahui (objek) dan di mana yang diketahui (objek) juga mengetahui (subjek) yang mengetahui dan yang diketahui (ko-subyektif). Yang mengetahui dan yang mengetahui tidak terpisah dalam hubungan interaktif. Mereka juga mentransendensikannya, derajat partisipasi yang parsial terbuka untuk berubah
(c) Sebuah metodologi yang memperoleh validasi hasil melalui bentuk kesamaan praktikal, konseptual, bayangan, dan empati pengetahuan di antara kosubyek, dan menumbuhkan kemampuan yang lebih kental dalam semua bentuk. Ini dapat dipandang sebagai ruang intersubyek, budaya umum di mana bahasa berpijak pada konteks non linguistik yang mendalam, kehidupan dunia yang dibentuk oleh pengalaman, dan dapat dicapai dengan persetujuan atas bahasa yang digunakannya sendiri. Sayap politik paradigma partisipatif, memusatkan perhatian pada nilai-nilai hidup, yang dibentuk oleh sebuah axiologi, sebuah teori tentang nilai.
(d) Kecerahan manusia pada hakekatnya sangat bermanfaat. Ia dibentuk dari proses saling memperkuat yang seimbang, di antara dan dengan orang, secara otonom, kerjasama dan hierarki. Itu dipahami sebagai interdependensi di tengah kecerahan ekosistem planet.
(e) Yang paling bernilai dari partisipasi disini adalah partisipasi dalam pengambilan keputusan, di mana orang akan ambil bagian dalam pengambilan keputusan, dalam setiap konteks sosial, yang berdampak pada kecerahan mereka dalam berbagai cara. Dengan cara mana orang berbicara atas nama ekosistem yang lebih luas dimana mereka menjadi bagiannya.
Atas dasar itu ada empat unsur kebenaran-praksis sebuah pengetahuan, yaitu pengetahuan pengalaman (TALAM), pengetahuan presentasional (TAPRE), pengetahuan proposisional (TAPRO), dan pengetahuan praktikal (TAPRA) Keempat unsur tersebut memiliki kualitas-kualitas subjektif tertentu yang dibentukkan oleh konteks-konteks sejarah kepada subjek.
TALAM adalah pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman terakhir, membandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan hidup yang diperoleh sebelumnya. TALAM subjektif yang berkualitas, menonjol dalam ranah-ranah axiologis dan metafisik, sehingga orang yang tertawan oleh TALAM-subjektif condong mistisis. Subjek yang mengetahui pengetahuan lebih karena pengalaman hidup maka ia akan mendahulukan pengalamannya interaksi.
TAPRO adalah pengetahuan menyusun kerangka pemikiran yang bermakna tentang sebuah gejala ke dalam proposisi-proposisi yang rasional. TAPRO-subjektif berkualitas dalam ranah epistemologis, sehingga orang tertawan dalam TAPRO-subjektif condong rasionalis atau positivis. Subjek yang mengetahui pengetahuan lebih karena senang menganalisis gejala maka ia akan mendahulukan teori dalam interaksi.
TAPRE adalah pengetahuan mengartikulasikan gagasan ke dalam simbol-simbol komunikasi sehingga makna di balik simbol dapat ditangkap orang lain. TAPRE Subjektif berkualitas dalam ranah ontologis sehingga orang yang tertawan dalam TAPRE-Subjektif condong retoris atau propagandis. Subjek yang mengetahui pengetahuan lebih karena senang kombur maka ia akan berpijak komunikatif dalam berinteraksi.
TAPRA adalah pengetahuan yang diperoleh dari praktek-praktek sehingga tujuan efektif. TAPRA-subjektif berkualitas ditandai oleh kecekatan psikomotorik (kerja), sehingga orang yang tertawan dalam TAPRA condong pragmatis atau strukturalis. Subjek yang mengetahui pengetahuan lebih karena berpraktek maka ia akan berpijak pada menonjolkan praksis dalam interaksi.

Ciri realisme kemudian berlanjut dalam mengevaluasi diri tentang interaksi antara peneliti dan informan. Hubungan antar makna, pengalaman, dan pengetahuan terjalin secara kausal atau fungsional. Pola hubungan ini mengarah kepada evaluasi performans dalam aspek efisiensi kerja. Di sinilah partisipasi diarahkan untuk meningkatkan efisiensi kerja lapangan.
Dalam terang fungsionalisme, hubungan antara pihak di dalam sistem dan di luar sistem tidak dilihat sebagai interaksi yang sejajar, melainkan terdapat entitas obyektif di luar yang bisa mempengaruhi nilai dan tingkah laku pihak di dalam sistem. Dalam kasus Siregar, Orang Luar berperan sebagai determinan atau variabel bebas dari tingkah laku Orang Dalam (OD), baik ketika OL melakukan sesuatu, bahkan juga pada saat mereka menahan diri untuk melakukan sesuatu. Penggantian kata ”partisipasi” dengan bahasa lokal (”gotong royong”, ”mapalus”, dan sebagainya), dengan demikian, lebih bermakna sebagai semacam insentif untuk merayu warga desa, yaitu alat untuk meningkatkan efisiensi kegiatan atau proyek.

Mengacu pada terminologi Chambers tentang Orang Luar dan Orang Dalam maka ada dua keadaan interaksional pengetahuan OD-L yang mungkin terjadi, yaitu:
INTERAKSI FUNGSIONAL (IDEAL)
Kondisi fungsional terjadi apabila interaksi pengetahuan saling memperkuat, atau teori sosial seindah praktek. Ini memungkinkan terjadi karena semua pijakan epistemologis saling memberi respon yang seirnbang dan fungsional. Dan interaksi tersebut ada empat relevansi yang dapat dikenali, yaitu :
(a) TAPRO-OL fungsional dengan TAPRO-OD sehingga teori sosial memiliki relevansi teoritis-teknis, yaitu gagasan dapat dinalar bersama antara OL dan OD
(b) TAPRE-OL fungsional dengan TAPRE-OD sehingga teori sosial memiliki relevansi simbolik-komunikatif, yaitu gagasan dapat artikulasikan bersama antara OL dan OD.
(c) TAPRA-OL fungsional dengan TAPRA-OD sehingga teori sosial memiliki relevansi praksis, yaitu gagasan dapat dikerjakan bersama antara OL dan OD
(d) TALAM-OL fungsional dengan TALAM-OD sehingga teori sosial memiliki relevansi makna, yaitu gagasan dapat diterima secara kultural antara OL dan OD.
INTERAKSI DISFUNGSIONAL
Kondisi disfungsional terjadi apabila interaksi pengetahuan saling bertentangan, atau teori sosial senjang dari praktek. Ini memungkinkan terjadi karena pijakan epistemologis tidak saling memberi respon yang seimbang dan fungsional. Dengan kata lain terjadi peristiwa defisit dan surplus pengetahuan dalarn interaksi OL dan OD.
Banyak kemungkinan yang terjadi dari keadaan tersebut. ... (K)ita mengandaikan teori sosial adalah teori instantif (blue print) yang dibawa oleh OL dari Jakarta kepada OD di desa-desa kasus melalui struktur birokrasi korporatis. Teori tersebut dibuat olch para teknokrat di Bappenas yang tidak mengenal konteks-konteks desa-desa kasus baik struktur keruangan (fisik gografis) maupun sistem nilai (budaya). Lalu sekelompok Tim Lapangan dari Jakarta (OL) diutus untuk menyelenggarakan Program Penanggulangan Kemiskinan (PPK) dengan tujuan mulia membantu masyarakat desa kasus (UD).
Dari interaksi-interaksi tersebut kemungkinan-kemungkinan yang terjadi adalah:
(a) TAPRO-OL disfungsional dengan TAPRO-OD sehingga teori tidak memiliki relevansi teoretis-teknis, yaitu konsep PPK tidak logis menurut OD. TAPRO-OL surplus sehingga eksesnya bertendensi menekan kapasitas TAPRO-OD dan mengacaukan TAPRA-OD, TAPRE-OD, dan TALAM OD.
(b) TAPRE-OL disfungsional dengan TAPPLE-OD sehingga teori sosial tidak memiliki relevansi simbolik-komunikatif, yaitu konsep PPK tak dapat dimengerti dan diartikulasikan oleh OD. TAPRE-OL surplus, sehingga eksesnya bertendensi menekan kapasitas TAPRE-OD dan mengacaukan TAPRA-OD, TALAM-OD, TAPRO-OD.
(c) TAPRA-OL disfungsional dengan TAPRA-OD sehingga teori sosial tidak memiliki relevansi praksis, yaitu konsep PPK tak dapat dikerjakan oleh OD. TAPRA-OL defisit sehingga eksesnya bertendensi menafikan TAPRA-OD dan mengacaukan TAPRO-OD, TAPRE-OD dan TALAM-OD.
(d) TALAM-OL disfungsional dengan TALAM-OD sehingga teori sosial tidak memiliki relevansi makna, yaitu gagasan tidak dapat diterima secara kultural kultural oleh OL. TALAM-OL defisit sehingga eksesnya mengabaikan TALAM OD dan mengacaukan nilai-nilai dankepercayaan OD.
Belajar kasus-kasus ini krisis komunitas bersumber dari pola-pola interaksi disfungsional. Program-program pembangunan yang dirancang OL terlalu jauh mengatur dan mengendalikan, dengan logika dan bahasa yang sulit dipahami, serta dengan nilai-nilai paradoksal dan tidak etis. OL mengatur yang seharusnya tidak perlu diatur, mengendalikan yang tidak perlu dikendalikan, dengan logika dan bahasa yang sulit dipahami, serta dengan nilai-nilai yang paradoksal dan tidak etis. OL mengatur yang seharusnya tidak perlu diatur, mengendalikan yang seharusnya tidak perlu dikendalikan, dan mengerjakan yang tak perlu dikerjakan, tetapi sebaliknya tidak mengatur yang perlu diatur, tidak mengendalikan yang seharusnya dikendalikan, dan tidak mengerjakan yang seharusnya dikerjakan. Akibatnya boros energi atau apa yang dikenal dengan ”pembangunan berbiaya tinggi”.
Telah jelas bahwa pemulihan krisis berhadapan dengan tugas-tugas mengatasi kesenjangan gagasan dan praktek, di semua tingkatan. Pendekatan partisipasi relevan dengan tantangan semacam itu. Meski demikian pendekatan tersebut tidak serta merta berdaya guna praksis karena di dalam pendekatan itu sendiri jika terdapat kesenjangan epistemologis (subjek-objek), terutarna bagi OL yang akan menerapkannya. Dengan kata lain OL umumnya masih berjarak dengan gagasan itu.
Bagi OD, partisipasi itu sendiri bukan barang baru. Setiap kornunitas memiliki pranata-pranata asli yang kurang lebih semakna partisipasi itu. Intinya adalah musyawarah dan gotong-royong, yang dalam konteks kasus Komunitas Bungku di kenal dengan pranata metakovali atau meronga-ronga. Partisipasi yang relevan dengan komunitas Bungku adalah partisipasi ala metakovali.
Masalahnya OL seringkali telah memiliki pemaknaan tersendiri tentang partisipasi atau lalai melakukan penyesuaian konsep terhadap konteks, yang melekat pada prinsip partisipasi itu sendiri. Kesenjangan pemaknaan lalu terjadi. Partisipasi seolah-olah barang baru yang harus dikaji dan ditindaki dari awal olehOD. Selain boros energi, praktek semacam itu tentu menyesatkan. Kesesatan akan terjadi manakala OL menafsirkan partisipasi sebatas gagasan atau konsep blueprint, yang ia sendiri tak menghayatinya. Ketika itu, OL mengajari OD bagaimana berpartisipasi dengan cara-cara yang tidak partisipatif.
Partisipasi dalam intervensi tidak ditentukan oleh jargon, tetapi oleh struktur tindakan OL saat berhadapan dengan OD. Tanpa terikat dengan trademark partisipasi, OL sesungguhnya dapat membangun hubungan partisipatif dengan OD apabila OL berhasil meyakinkan diri mampu menempatkan komunitas desa sebagai sesama subjek (ko-subjek) yang otonom, alih-alih menempatkan komunitas-komunitas yang teguh memelihara kearifan budaya mereka sebagai guru atau rujukan, serta belajar dari praktek.
Jadi, partisipasi yang diperlukan dalam memulihkan krisis komunitas adalah partisipasi yang berdimensi budaya lokal. Cara paling mudah mencapainya
adalah dengan mengubah cara kerja. Partisipasi harus diletakkan sebatas konsep generik yang didalamnya terdapat filosofi pokok esensi pokok yang berlaku secara umum. Adapun isi dan bentuknya mengacu kepada pranata-pranata yang berlaku di tingkat lokal.
Dalam konteks kasus ini misalnya, istilah partisipasi dapat diganti dengan metakovali, sehingga judul metode atau program misalnya menjadi Pembangunan Perkampungan dengan Pendekatan Metakovali atau Metode Kajian Metakovali. Di tempat lain, dapat menggunakan istilah yang sepadan, misainya Musyawarah, Gotong-royong, Mapalus (Sulawesi Utara), Rembug Desa (Jawa), Martahi atau Marsialapari (Tapanuli), dan lain-lain.
Penggunaan idiom-idiom budaya lokal akan sangat bermanfaat karena dengan demikian kita akan terhindar dari kesenjangan pemaknaan antar golongan, antara lapisan dan antar-pelaku. Proses komunikasi berlangsung lebih efektif. Tanpa penjelasan panjang lebar, istilah-istilah lokal itu dengan sendirmya menjelaskan kepada sernua subjek nilai-nilai dan aturan-aturan apa yang mengikat di dalamnya. Dengan istilah partisipasi, situasi semacam itu terbukti tak efektif, karena terdapat kesenjangan pemaknaan antar-subjektif terhadap istilah, apalagi makna partisipasi sendiri telah mengalami kekacauan.
Metode-metode berdimensi budaya lokal tersebut niscaya perlu diperkaya atau diperluas jangkauannya, sehingga dapat memenuhi kebutuhan yang berkembang. Metode-metode otentik negeri sendiri tentu tidak terabsahkan begitu saja, melainkan memerlukan proses dayacipta dari anak-anak negeri, terutama ilmiah. Di tangan kaum intelektuallah Metode Musyawarah, Metode Metakovali (Bungku), Metode Martahi (Tapanuli), Metode Rembug Desa (Jawa), Metode Mapalus (Sulawesi Utara), dan metode-metode eksotik lainnya bernilai ilmiah, sehingga setaraf dengan Metode Participatory Rural Appraisal, Participatory Learning and Action, Participatory in Human Inqury. Jika gagasan ini diterima, maka suatu saat kita tidak memerlukan istilah-istilah lain yang sulit dimaknai oleh anak-anak bangsa yang beragam suku, bahasa, dan adat istiadat. Kita baru memerlukannya dalam konteks-konteks yang lebih makro.


Kesimpulan

Sebagian besar perkembangan ilmu sosial di Indonesia beriringan dengan perkembangan perubahan sosial masyarakat, yang di Indonesia terutama berkaitan dengan pembangunan. Posisi ilmu semacam ini memiliki dua implikasi metodologis, yaitu metodologi hendaknya mengaitkan teori dengan praktek (terutama praktek pembangunan), dan arahan dari perubahan tersebut hendaknya mengemansipasi lapisan terbawah masyarakat.
Telah disampaikan, bahwa orientasi praktis dari pelajaran teoretis tetap menjadi kepentingan peneliti ilmu sosial di negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Untuk menjembatani hal tersebut telah didiskusikan metodologi yang memiliki kedekatan terbesar antara teori dan praktek empiris, yaitu metodologi positivisme, pascapositivisme, konstruktivisme dan partisipasi. Sementara metodologi hermeneutika, pascamodernisme, dan teori kritis lebih bersifat abstrak. Namun demikian perlu dibedakan pola penurunan teori dari ranah abstrak ke ranah empiris. Pada metodologi positivisme dan pascapositivisme, proses ini dijembatani oleh penurunan teori besar (grand theory) menjadi teori menengah (middle range theory), terutama melalui proses deduksi. Hasilnya adalah suatu hubungan antar variabel yang bisa diverifikasi atau difalsifikasi di lapangan empiris. Teori baru yang muncul lebih sering berupa penurunan proposisi besar menjadi proposisi menengah. Berkebalikan dengan pola deduksi tersebut, metodologi partisipasi meletakkan teori dengan konteks masyarakat yang dikaji, melalui interaksi antara penleiti dan informan, dan kebenaran hubungan antar informasi diperoleh dari kesepakatan bersama atau pragmatis. Di sinipun masih terdapat tipe-tipe yang berbeda dan bisa berlawanan dalam aspek epistemologis, antara metodologi partisipasi realisme, subyektivisme, pragmatisme, dan marxisme.
Dengan hanya memperhitungkan konteks masyarakat desa pada saat ini, maka pilihan metodologi yang digunakan masih beragam sebagaimana disampaikan di atas. Namun demikian, baik berbasis teori-teori modernisasi yang menghendaki suatu perubahan yang direncanakan, maupun berbasis teori-teori keterbelakangan yang mengandung analisis teleologis masyarakat emansipatoris, ilmu-ilmu sosial yang dikehendaki ialah yang berminat untuk mengubah realitas pada saat ini. Dengan kata lain, teori dan metodologi yang melepaskan aspek kecurigaan tidak cocok digunakan, karena cenderung tidak mempertanyakan realitas yang ada, bahkan membenarkan data empiris dari realitas tersebut. Contohnya ialah penolakan terhadap metodologi positivisme dan pascapositivisme. Sampai di sini, pilihan tinggal muncul pada paradigma metodologi yang berminat untuk mengubah realitas sosial yang ada, yaitu metodologi teori kritis, pascamodernisme dan partisipasi. Namun sifat abstrak pada metodologi teori kritis dan pascamodernisme menempatkan keduanya di luar pilihan metodologi ilmu-ilmu sosial masa mendatang. Kini hanya muncul metodologi partisipasi.
Oleh karena epistemologi pragmatis tersebut hanya mungkin berjalan melalui interaksi dan kesepakatan bersama di antara semua pihak (peneliti, informan, dan pihak lain) yang terlibat dalam penelitian, teori yang akan dibangun perlu diletakkan atau dilegitimasi ke dalam definisi ilmu pengetahuan dan teori berbasis kesepakatan bersama pula. Ilmu pengetahuan dan teori sebagai hasil kesepakatan bisa ditemui pada konsep revolusi paradigma maupun sosiologi pengetahuan. Paradigma yang berbeda memiliki susunan narasi sendiri, juga perbedaan dalam data atau informasi, interpretasi, teori, metode dan penyusunan teks. Perbedaan-perbedaan ini menunjukkan bahwa sosiologi pengetahuan dapat digunakan sejauh menerima konsep dua level pengembangan teori, yang dalam revolusi paradigma mencakup level akumulasi ilmu normal dan level revolusi teori.
Metodologi partisipasi dalam kondisinya saat ini memiliki empat tipe, yang dibedakan terutama menurut aspek epistemologisnya, lalu menurut aspek aksiologi. Adapun interseksi antara ciri kebenaran berbasis interaksi sosial, namun menurut kaidah-kaidah emansipasi yang membebaskan masyarakat dari alineasi hanya muncul pada metodologi partisipasi marxisme. Oleh karena itu diusulkan untuk mengembangkan metodologi ini bagi pengembangan teori-teori ilmu sosial di mendatang.


Daftar Pustaka

Agusta, I, 2005, Data Kemiskinan dan Survei: In Kompas, 29 November 2005.
Chambers, R, 1988, Metode-metode Pintas dalam Mengumpulkan Informasi Sosial untuk Proyek-proyek Pembangunan Pedesaan, dalam M.M. Cernea, ed. Mengutamakan Manusia di dalam Pembangunan Pedesaan. Terjemahan. Jakarta: UI Press
Chambers, R, 1996, PRA, Participatory Rural Appraisal: Memahami Desa Secara Partisipatif. Terjemahan dari Rural Appraisal: Rapid, Relax & Participatory. Yogyakarta: Kanisius
Cooke, B, U. Kothari, 2004, The Case for Participation as Tyranny. In B Cooke, U Kothari, eds. Participation: The New Tyranny? London: Zed Books.
Daley, MR, FL Avant, 2004, Rural Social Work: Reconceptualizing the Framework for Practice. In TL Scales, CL Streeter, eds. Rural Social Work: Building and Sustaining Community Assets. Australia: Brooks/Cole.
Descartes, 2003, Diskursus Metode. Terjemahan Discourse on Method. Yogyakarta: Ircisod.
Dongier, P, JV Domelen, E Ostrom, A Ryan, W Wakeman, A Bebbington, S Alkire, T Esmail, M Polski, 2002, Community-Driven Development. Washington DC: World Bank.
Eikeland, O, 2002, Action Research as the Hidden Curriculum of the Western Tradition. In: P. Reason, H Bradbury, eds., Handbook of Action Research: Participative Inquiry and Practice, London: Sage.
Fern, EF, 2001, Advanced Focus Group Research, London: Sage
Francis, P, 2001, Participatory Development at the World Bank: The Primacy of Process. In B Cooke, U Kothari, eds. Participation: The New Tyranny? London: Zed Books.
Freire, P, 1973, Pedagogy of the Oppresses. London: Penguin Books.
Grinstein-Weiss, M, J Curley, 2004, Individual Development Accounts in Rural Communities: Implications for Research. In TL Scales, CL Streeter, eds. Rural Social Work: Building and Sustaining Community Assets. Australia: Brooks/Cole.
Heron, J, 1996, Co-operative Inquiry: Research into the Human Condition. London: Sage.
Hunnex, MD, 2004, Peta Filsafat: Pendekatan Kronologis & Tematis. Terjemahan dari Chronological and Thematic Charts of Philosophies and Philosophers. Bandung: Teraju.
Kemmis, S, 2002, Exploring the Relevance of Critical Theory for Action Research: Emancipatory Action Research in the Footsteps of Jürgen Habermas. In Reason, P, H Bradbury, eds., Handbook of Action Research: Participative Inquiry and Practice, London: Sage.
Krueger, RA, 1994, Focus Group, A Practical Guide for Applied Research, Second Edition, London: Sage.
Krueger, RA, MA Casey, 2000, Focus Group, A Practical Guide for Applied Research, Third Edition, London: Sage.
Kuhn, TS, 2002, The Structure of Scientific Revolution: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Bandung: Remaja Rosdakarya
Kumar, S, 2002, Methods for Community Participation: A Complete Guide for Practitioners, London: ITDG.
Lincoln, YS dan EG Guba, 1985, Naturalistic Inquiry, London: Sage
Lincoln, YS dan EG Guba, 2000, Paradigmatic Controversies, Contradictions, and Emerging Confluences. In N Denzin dan YS Lincoln, eds, Handbook of Qualitative Research, Second Edition, London: Sage
Marx, K, tanpa tahun, Naskah-naskah Ekonomi dan Filsafat 1844. Jakarta: Hasta Mitra.
Marx, K, 2004, Kapital, Sebuah Kritik Ekonomi Politik: Buku Pertama, Proses Produksi Kapital. Jakarta: Hasta Mitra
McMichael, P, 2004, Development and Social Change: A Global Perspective, Third Edition, London: Sage.
Narayan, D, 1999, Can Anyone Hear Us? Voices From 47 Countries. Washington, DC: World Bank.
Operations Evaluation Department, 2003, Community-Driven Development: A Study Methodology. Washington DC: World Bank.
Park, P, 2002, Knowledge and Participatory Research. In Reason, P, H Bradbury, eds., Handbook of Action Research: Participative Inquiry and Practice, London: Sage.
Pasmore, W, 2002, Action Research in the Workplace: The Socio-technical Perspective, In: P. Reason, H Bradbury, eds., Handbook of Action Research: Participative Inquiry and Practice, London: Sage.
Reason, P, H Bradbury, 2002, Introduction: Inquiry and Participation in Search of a World Worthy of Human Aspiration. In Reason, P, H Bradbury, eds., Handbook of Action Research: Participative Inquiry and Practice, London: Sage.
Reason, P, H Bradbury, eds., 2002, Handbook of Action Research: Participative Inquiry and Practice, London: Sage.
Sanoff, H, 2000, Community Participation Methods in Design and Planning. New York: John Wiley and Sons
Siregar, BB. 2001. Menelusuri Jejak Ketertinggalan: Merajut Kerukunan Melintasi Krisis. Bogor: PP3R-YAE
Stuart, PH, 2004, Social Welfare and Rural People: From the Colonial Era to Present. In TL Scales, CL Streeter, eds. Rural Social Work: Building and Sustaining Community Assets. Australia: Brooks/Cole.
Tjondronegoro, SMP, 1996, Dinamika Golongan Lemah Pedesaan: Refleksi atas Karyatulis dan Pemikiran Dr. Sajogyo. In: MTF Sitorus, A Supriono, T Sumarti, Gunardi, eds.Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia: Prof. Dr. Sajogyo 70 Tahun. Jakarta: Grasindo.
White, B, 2005, Between Apologia and Critical Discourse: Agrarian Transition and Scholarly Engagement in Indonesia, in VR Hadiz dan D Dhakidae, eds. Social Science and Power in Indonesia. Singapore: Equinox dan ISEAS.
Whitehead, AN, 2005, Sains & Dunia Modern. Terjemahan dari Science and the Modern World. Bandung: Nuansa.
Whyte, WF, 1991, Social Theory for Action: How Individuals and Organizations Learn to Change. London: Sage