Minggu, 20 Mei 2007

Inu

Oleh Ivanovich Agusta

Negara harus belajar sejarah kelahiran pahlawan di negeri ini. Menganiaya Inu Kencana –dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang gagah berani mengungkap fakta kebrutalan dalam lembaganya sendiri—sebenarnya sedang memproklamirkannya sebagai pahlawan anti kekerasan.
Bukankah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendapat simpati setelah dianiaya ring sekitar kepresidenan kala itu? Bukankah pahlawan reformasi disematkan kepada mahasiswa yang dianiaya tentara di awal tahun 1998?
Aniaya
Banyak pihak telah lama gagal kala mengedepankan konsep kebhinnekaan suku, agama, kategori sosial dan lokasi hingga pertentangan kelas sebagai basis beragam konflik sosial di Indonesia. Penyelidikan konflik melepaskan fakta kunci, yaitu warganegara ramai-ramai bertengkar karena meyakini kesucian tindakannya.
Tanpa identitas kesucian tindakan maka para pelaku akan sampai pada titik rasa bersalah. Contohnya pada pemuatan kesaksian anggota Satuan Polisi Pamong Praja.
Identitas kesucian muncul dari kejadian sebelumnya yang dilabeli kejadian aniaya. Konsep aniaya inilah yang menyelusup dalam identitas kelas, adat, suku, maupun kategori sosial lain.
Dapatkah seorang jelata menganiaya pejabat? Tidak! Dimensi utama konsep aniaya ialah, pertama, tindakan aniaya hanya bisa dilakukan pihak yang berkedudukan lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah (ciri ini telah menyilaukan banyak pihak sebagai konsep kelas sosial). Kedua, orang yang teraniaya diidentikkan sebagai kekasih Tuhan (siapa tiada rela membela Tuhan beserta kekasih-Nya?).
Tak perlu alasan lain guna membela orang yang dipandang teraniaya, selain pandangan warganegara (bukan pandangan negara atau lapisan atas lain) tentang hierarki sosial. Tanpa mempedulikan siapa yang salah, warga segera menolong pejalan kaki dan siap menerjang pemilik mobil dalam suatu kecelakaan jalan raya. Warga mengidentifikasikan tindakannya sebagai kebenaran sembari meyakini ridha Tuhan.
Dapat dibayangkan solidaritas warga bagi pihak yang dianiaya. Meskipun pejalan kaki salah nyelonong menyeberang jalan, terjangan tetap diarahkan kepada pemilik mobil. Apalagi pada Inu yang diyakini tidak bersalah!
Butuh sedikit tambahan kepopuleran (lewat media maupun dakwah) untuk menyempurnakan identitas pihak yang teraniaya menjadi pahlawan. Berabad lalu sejarah kepahlawanan kita diawali penganiayaan lalu diikuti solidaritas warga. Satu kisah yang terkenal ialah penganiayaan Belanda kepada Pangeran Diponegoro. Akibatnya rakyat mendukungnya memerangi Belanda (sekaligus menguras kocek penjajah).
Setelah empat mahasiswa pahlawan reformasi, lalu Munir, mungkin sebentar lagi Inu identik sebagai pahlawan anti kekerasan.
Solidaritas Struktural
Karena sejarah kelam kematian mahasiswa-mahasiswa IPDN (kini kian terungkap) berlangsung lebih dari satu dasawarsa, tradisi kekerasan ini harus diputus secara struktural.
Mengasumsikan durasi pendidikan sarjana adalah empat tahun, banyak pihak mengusulkan IPDN tidak menerima mahasiswa hingga empat tahun angkatan. Sayang biasanya mahasiswa lulus lebih dari delapan semester, sehingga proposal itu masih mungkin menyisakan senior penyangga kekerasan.
Apalagi pemerintah akhirnya berkompromi, hanya menunda penerimaan mahasiswa untuk setahun saja. Kebijakan ini jelas tidak berorientasi sebagai pemecahan masalah struktural.
Namun masih mungkin mengembangkan strategi guna menguatkan dimensi struktural kebijakan. Di sini dibutuhkan solidaritas mahasiswa dan dosen setanah air.
Pertama, semua mahasiswa IPDN dipindahkan ke universitas lain yang kalis dari sejarah kekerasan. Karena kebrutalan di IPDN diorganisasikan per angkatan, maka tiap angkatan dan tiap daerah/propinsi asal mahasiswa tersebut perlu disebar ke perguruan tinggi yang berbeda-beda. Sebaiknya penyebaran terfokus pada jurusan ilmu pemerintahan atau administrasi negara.
Kedua, seluruh dosen pun dipindahkan ke perguruan tinggi lain, terutama universitas yang memiliki aroma pendidikan dan penelitian ilmu sosial. Diharapkan kebebasan akademik yang inheren dalam kegiatan penelitian mampu menguatkan humanisme di atas hierarki kepegawaian.
Khusus bagi Inu perlu solidaritas lebih erat dari komponen warga lain, mahasiswa dan –terutama—dosen perguruan tinggi lain. Pertama, ada baiknya Inu didampingi aktivis hak-hak asasi manusia, baik saat berhubungan dengan aparat negara maupun preman kalangan lain. Ini ibarat perlindungan saksi, sekalipun masih berada di luar pengadilan resmi.
Kedua, perguruan tinggi lain (cukup asalkan memiliki jurusan ilmu-ilmu sosial, tanpa harus ilmu pemerintahan) perlu membuka pintu lebar-lebar bagi Inu untuk mengajar dan meneliti di sana. Selama ini aniaya negara dimulai dari penonaktifan, namun bisa diakhiri dengan pemecatan. Semuanya berkonsekuensi pada penurunan pendapatan Inu, yang mungkin sudah kerepotan karena sedang menempuh studi doktoral.
Strategi ini dapat diperluas pihak lain. Dimulai dari lembaga penelitian, konsultan pemerintahan, hingga wiraswastawan yang bisa bekerja bersama Inu.
Ketiga, perguruan tinggi lain, aktivis hak-hak asasi manusia, hingga penerbit buku utama perlu menggali pengalaman Inu berkaitan kekerasan perguruan tinggi. Berlawanan dari negara dan IPDN yang getol melupakannya, sebenarnya lebih tepat kita mendokumentasikannya untuk dipelajari lebih mendalam. Agar kelak teman, kerabat, anak dan cucu kita terlepas dari kekerasan pendidikan.