Senin, 13 Agustus 2007

Korupsi, Administrasi, Kejujuran (Corruption, Administration and Honesty in Indonesia)

Oleh Ivanovich Agusta
Catatan administratif yang menempel kasus korupsi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menunjukkan aliran uang masuk dari proyek dan birokrasi DKP. Hebatnya, dokumen juga mencatat uang keluar kepada pejabat eksekutif dan legislatif, hingga nelayan jelata. Dana pun diterima segenap calon presiden pemilu lalu.
Meski berakhir antiklimaks, sebetulnya pedang sempat diayunkan untuk memutus budaya korupsi kala Amien Rais mengakui menerima dana tersebut. Meski di luar kasus hukum DKP, patut pula dicatat pemanggilan Kwik Kian Gie sebagai saksi korupsi Bappenas. Maklum, langkah dari posisi saksi kerap menuju kursi pesakitan.
Ironi Rokhmin, Amien dan Kwik menunjukkan resiko terciprat lumpur korupsi kala berurusan dengan pemerintahan. Saya tolak alasan sederhana menimpakan kesalahan pada sistem politik. Sebaliknya hendak ditunjukkan kacamata Barat yang menyelip kala memandang perilaku politik pejabat Indonesia.
Genealogi Kedudukan
Di kerajaan Jawa sebelum kolonialisme, lurah memperoleh lungguh dari raja. Kata lungguh sama dengan duduk, dan kini tersublimasi sebagai kedudukan atau jabatan.
Sayang lurah cuma mendapat jabatan atau presitise tanpa disertai limpahan sumberdaya dari rajanya. Justru lurah mengerahkan warga mengelola lahan desa. Lalu sebagian surplus produksi dimiliki lurah, tanpa melupkana upeti bagi raja.
Pemberian jabatan tanpa limpahan sumberdaya dipolakan birokrasi Indonesia. Secara individual pegawai negeri sipil (PNS) digaji rendah. Sementara instansi pemerintah memiliki pejabat masing-masing, namun APBN/D (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah) tidak menyemburkan sumberdaya pendukung.
PNS lantas mencari proyek di luar pekerjaannya untuk mendanai keluarganya. Alih-alih meningkatkan gaji, pemerintah justru mengerucutkan lima hari kerja guna meluaskan kesempatan PNS menggali tambahan pendapatan di luar gaji.
Pejabat pun harus pandai memetik proyek untuk mendanai aktivitas instansinya. Mengandalkan aliran APBN/D belaka bisa menggagalkan instansi untuk menjalankan aktivitas publik maupun sekedar menjenguk kantor pemerintahan di bawahnya.
Tak heran kepala desa menyambangi kantor dinas di kabupaten, atau kepala daerah melobi pejabat departemen di Jakarta. Namun dengan memerankan wiraswastawan untuk mendanai layanan publik di wilayah, konsekuensinya proyek pembangunan juga dipandang –minimal sebagian—sebagai milik pejabat sendiri. Bukankah sesuai dengan kaidah “siapa berpartisipasi maka akan merasa memiliki”.
Wajah khas birokrasi lungguh membutuhkan definisi korupsi yang khas pula, yakni manipulasi informasi dalam kegiatan kewiraswastaan PNS dan pejabat instansi. Ibarat pedagang di pasar tradisional yang menyembunyikan kualitas dan harga barang dagangannya.
Inilah bedanya dari Barat yang mendefinisikan korupsi sebagai penggunaan semua dana masyarakat. Konteksnya berbeda, di sana pejabat dilarang berdagang atau “mem-proyek”.
Administrasi Proyek
Berpatolan pada makna korupsi dari Barat, maka kesalahan terbesar pemerintah ialah menerapkan administrasi berbasis proyek. Konsekuensinya dana pembangunan terbesar hanya dialokasikan untuk aktivitas proyek, tanpa disertai dana pengembangan aktivitas instansi pengelola. Terlihat lungguh diberlakukan, sehingga pejabat perlu memerankan ulang wiraswastawan dan mencari keuntungan proyek demi kelangsungan aktivitas instansinya.
Sayang kaidah utama proyek ialah pembangunan dalam ruang dan waktu terbatas serta terukur. Akibatnya proyek menutup layanan birokrasi, yang bercirikan meluas dan kontinyu kepada seluruh warga negara.
Layanan kian terkunci usai presiden membakukan pengalihan pengelolaan proyek di atas Rp 50 juta kepada konsultan swasta. Dapatkah suatu kantor pemerintah mengelola negara dengan uang di bawah Rp 50 juta? Tak pelak kini hampir seluruh pembangunan dalam genggaman swasta nasional dan asing, baik sebagai konsultan, bahkan sampai pendamping masyarakat!
Mengapa pemerintah bergeming menggerakkan pembangunan berbasis proyek, bukan basis birokrasi? Mengingat proyek dikenalkan donor, bisa dicurigai pola pengelolaan negara ini hasil tekanan mereka agar terus berutang dan membukukan keuntungan mereka semata.
Sayang campuran birokrasi lungguh dan kekakuan administrasi –hanya untuk aktivitas proyek—membukakan pintu bagi pejabat sejujur apapun untuk dicap koruptor. Makna korupsi dioperasionalkan sebagai penggunaan dana proyek donor –padahal memang tiada dana operasi departemen sebagai pemantau proyek. Celah ini menguntungkan donor dan swasta mengontrol atau menembak aparat pemerintah lebih ketat!

Awal Kejujuran
Dalam belitan konteks di muka, suara jujur Amien Rais di awal bak sembilu pemotong lingkaran setan korupsi pembangunan. Karena tiap pihak yang sempat bersalaman dengan pemerintahan terkotori tangannya, maka pengakuan korupsi –ala donor Barat—menjadi langkah awal rekonsiliasi bangsa untuk mencabut akar korupsi.
Jika definisi korupsi ala Barat terus digunakan, langkah drastis berikutnya seharusnya memotong pola pembangunan berbasis proyek, lalu menjadikannya berbasis birokrasi. Preseden dapat dipelajari secara kritis dari tindakan Daendels mengganti pola lungguh menjadi birokrasi Batavia.
Pengalihan kepada birokrasi menguatkan kelembagaan pemerintah pusat dan daerah, meskipun pasti memotong tangan swasta nasional dan asing.