Senin, 21 April 2008

Bunuh Diri Slamet (On Poverty: Slamet Suicide in Indonesia)

Oleh Ivanovich Agusta
Slamet (45), seorang pedagang gorengan di Pandeglang, Banten, baru saja bunuh diri (Kompas, 16 Januari 2008). Kelangkaan barang, melangitnya harga, diikuti berkurangnya daya beli ibarat tali kekar yang menjerat lehernya.
Pilihan nihilisme bunuh diri Slamet adalah bukti konkret absurditas kebijakan ekonomi pemerintah, yang sudah kerap ditengarai pengamat ekonomi berhati nurani. Tidak terlalu salah memaknai kematian Slamet sebagai akibat nyata “horor” pemerintah, bukan lagi lewat militer melainkan lewat politik ekonomi.
Kemampuan Slamet untuk menyediakan modal harian sekitar Rp 50.000,00 per hari pasti menempatkannya di atas garis kemiskinan, baik versi pemerintah (sekitar Rp 5.000,00 per orang per hari) maupun Bank Dunia (sekitar Rp 18.000,00 per orang per hari). Jika ukuran Bank Dunia yang dianggap tinggi saja telah memiskinkan sekitar separuh penduduk Indonesia, maka untuk menjangkau golongan setingkat Slamet mesti melebihi angka tersebut.
Kala dunia lain –alam kematian—dinilai lebih baik daripada hidup di negara Indonesia, tergambar jelaslah kerentanan subsistensi seratus juta lebih warganegara Indonesia.
Pertama, kalau meninggal sudah menjadi alternatif warga, tentu sedikit tambahan persediaan daya hidup –di Indonesia secara simpel disebut sembako—dapat menjadi tenaga penggerak kelas bawah. Akibatnya terlalu mudah menggerakkan mereka demi kepentingan orang kaya tertentu yang membayarinya.
Kedua, kalau protes saja bisa diwujudkan dalam bentuk kematian, maka tidak ada lagi alangan ekonomi, politik, sampai kekerasan militer yang bisa menahan gelombang kelas bawah. Akibatnya sedikit pengorganisasi –tanpa harus PKI—dapat memunculkan protes dahsyat kelas bawah yang terarah kepada lapisan atas (pemerintah, orang kaya, profesional).
***
Sejak lama pilihan akan kematian dipandang muncul sebagai alternatif yang lebih baik bagi pelakunya. Anggota sekte dapat rela bunuh diri serentak untuk meninggalkan kejahiliyahan lingkungannya. Bunuh diri sekte ini bersifat eksklusif dan terbatas bagi kelompok kecilnya.
Paling tidak bunuh diri dipilih secara individual untuk melepas kesulitan yang bersifat pribadi. Di Barat hal ini berlaku bagi bintang film dan orang kaya. Dokter bisa menghargai suntikan kematian pada pasien yang lama terbaring di kasur.
Bunuh diri individual dan ala sekte dapat juga berlaku di Indonesia. Namun bunuh diri Slamet keluar dari ranah individual. Perasaannya tidak unik, melainkan dirasakan oleh mayoritas warganegara.
Bunuh diri Slamet adalah protes humanis terhadap nihilisme kebijakan pemerintah. Bahkan kritik atas absurditas pemerintah itu sendiri, jika menengok protes Slamet akan ketiadaan pemerintah untuk melayani lapisan terbawah sekaligus mayoritas warganegara! Slamet mengelompok ke dalam bunuh diri kalangan bawah –tidak harus miskin jika definisi ini terikat pada ukuran pemerintah dan Bank Dunia di atas. Sebagai perbandingan, Kabupaten Gunung Kidul, misalnya, kerap mencuatkan drama bunuh diri tahunan di musim kemarau dan paceklik.
***
Indonesia pernah memainkan drama bunuh diri sebagai solidaritas segenap masyarakat yang melebur lapisan sosial bahkan kasta, yaitu dalam perang puputan di Bali. Setelah seluruh harta benda dibakar, raja hingga rakyat jelata menjemputi peluru tentara Belanda. Di peralihan abad lalu itu akhirnya kolonialis tidak mendapatkan harta benda maupun tenaga kerja paksa, melainkan jiwa-jiwa mati yang menerbangi lokasi pertempuran.
Fakta sejarah itu tidak akan terulang saat ini. Karena peningkatan kesenjangan sosial kini hakekatnya berisi kesibukan kelas atas untuk mempertahankan posisinya sembari menekan lebih dalam lapisan bawah.
Mustahil saat ini membayangkan kelas atas bersedia mati demi kelas bawah, sedangkan menemuinyapun ogah. Bersamaan dengan itu, kelas bawahpun enggan mati bersama kelas atas, karena hal itu tidak mengandung makna mulia baginya.
Bunuh diri Slamet sebagai fakta sosiologis –bukan alamiah, bukan sekedar kehendak Tuhan—lebih tepat disadari sebagai ciptaan manusia, yaitu pemerintah melalui penyusunan politik ekonomi bangsa. Kesadaran sosiologis senantiasa membuhulkan peluang untuk memperbaiki diri.
Untuk merekatkan kembali solidaritas antar warganegara, sudah saatnya pemerintah menaati etika kejelataan. Seluruh politik ekonomi hendaknya diarahkan kepada jelata. Ukurannya keberhasilannya terletak pada kontinyuitas kesediaan barang dan jasa bagi jelata, dan dengan harga murah bagi mereka.