Senin, 21 April 2008

Bupati Menginap di Desa

Oleh Ivanovich Agusta
Kini bupati secara reguler menginap semalam di desa. Pergiliran antar desa dilakukan seminggu hingga sebulan sekali. Setidaknya fenomena ini muncul di wilayah Jambi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, hingga Sulawesi Utara. Dengan menginap di desa bupati hendak merapatkan diri kepada rakyat seraya menyerap permasalahan, aspirasi, dan potensi lokal. Di awal tahun proses ini kian penting sebagai masukan perencanaan kemajuan kabupaten.
Aksi bupati mungkin meneladani Presiden yang kerap pula menginap sementara waktu di wilayah bencana. Sayang efektivitas teladan Presiden sempat diragukan sementara pakar. Tak ayal lagi, keraguan pun merembet kepada tindakan bupati di atas.
Bahwa jumlah bupati yang menginap di desa kian banyak, menunjukkan kebutuhan kita semua untuk meningkatkan efektivitasnya. Dalam konteks neoliberalisme global, niat petinggi pemerintahan untuk mendekatkan diri dengan rakyat perlu digaet kuat. Jika tidak, bisa-bisa bupati ganti diseret kepentingan swasta internasional.
Metode Kualitatif
Ada dua pelajaran penting baik dari ide menginap Presiden maupun bupati. Pertama, alih-alih mengkompilasi data kuantitatif, lebih memungkinkan menggali data kualitatif. Kedua, pengambilan kebijakan dari kunjungan perlu dilaksanakan secara partisipatif.
Dimensi utama metode kualitatif ialah menggali informasi secara mendalam atau sahih (validity) –bukan mengedepankan replikasi atau scaling up bentuk penanganan masalah (reliability). Kuesioner yang kaku bukanlah instrumen yang tepat, sebaliknya kapasitas pelaku menjadi instrumen itu sendiri. Bupatilah yang menjadi instrumen, bukan pedoman pertanyaan yang telah disiapkan stafnya. Metode kualitatif menafikan data survai yang mengambil sampel secara acak, namun bisa mempercayai angka hasil sensus keseluruhan penduduk atau wilayah desa.
Berada di lokasi spasial desa membutuhkan metode pengamatan berpartisipasi, meliputi pengamatan orang, kejadian, atau benda lain, diikuti wawancara untuk menggali alasan kemunculan data tersebut. Tim Bupati perlu menyiapkan apa saja yang direncanakan diamati, mengapa itu diperlukan, dan memperkirakan implikasi hasil pengamatan terhadap pengambilan kebijakan. Panduan pengamatan menggali kaitan erat visi, misi, hingga rencana kerja bupati bagi desa yang diinapi.
Karena pengamatan bupati singkat –semalam saja—rakyat desa perlu mempersiapkan jaring, di antaranya dokumen prioritas masalah disertai potensi alam, sosial, komunikasi, ekonomi, dan budaya setempat. Dokumen-dokumen tersebut telah dirumuskan berminggu-minggu sebelumnya secara partisipatif, misalnya dengan mempraktekkan instrumen penggalian gagasan dan prioritas, penyusunan peta sosial, hingga perencanaan partisipatif. Data reguler statistik dan dokumen pemerintahan desa pun perlu disiapkan. Regularitas data ini mampu menunjukkan proses tata pemerintahan desa. Lihatlah, jika disiapkan matang-matang, kunjungan bupati turut memperbaiki pola pemerintahan desa!
Proses Partisipatif
Efektivitas menginap di desa tergantung kesahihan penyerapan permasalahan, aspirasi dan potensi lokal. Lazimnya kesahihan data kualitatif –yang keluar dari mulut rakyat—muncul dalam suatu suasana informal, akrab, dan jujur. Suasana ini biasa muncul malam hari, sehingga paling tepat bupati menginap sejak sore hingga keluar desa keesokan paginya.
Lokakarya bagi segenap lapisan di desa perlu digelar pada awal kunjungan, misalnya pada sore hari pertama. Lapisan terbawah atau termiskin diikutsertakan, dengan mengganti penghasilan mereka sehari itu. Dalam forum bupati menyampaikan tujuannya menginap, diikuti wakil warga menyajikan persoalan diikuti potensi wilayah. Mengingat di desa perbedaan lapisan sosial mempengaruhi cara memandang suatu persoalan, bupati perlu menyilakan masing-masing lapisan atas dan terbawah untuk menanggapi tiap isu yang muncul. Selanjutnya bupati mengamati kejadian, benda atau lain hal sesuai isu tersebut. Demi efisiensi waktu, lokakarya dilaksanakan di dekat lokasi yang hendak diamati.
Makan malam dijadikan sarana menuju suasana informal, disajikan dalam ruangan yang luas, misalnya balai desa. Jangan disediakan kursi, bupati dan warga duduk di tikar atau karpet bersama. Posisi hadirin melingkar agar memungkinkan tatap muka antara bupati dan warga desa. Mengingat partisipan bisa melimpah, bupati diapit tokoh masyarakat yang tergolong kaya dan tokoh di antara warga miskin. Tiap kelompok miskin biasanya memiliki tokoh dalam kalangan mereka sendiri, yang terbiasa berkomunikasi dengan kelompok lain! Bupati juga didampingi pejabat pengambilan keputusan segera di Bappeda serta dinas yang diperkirakan berperan di desa tersebut. Waktu malam hari menjadi kelemahan untuk mendengarkan aspirasi perempuan, sehingga khusus bupati laki-laki perlu menyertakan istri untuk membuka ruang partisipasi perempuan desa.
Sepanjang perjamuan isu didalami antar tokoh. Pendalaman dengan seluruh hadirian dilanjutkan usai makan malam di ruangan yang sama –di sana keakraban telah bergema. Pendalaman menggenapi informasi isu muncul, mengapa dipandang penting, siapa memperoleh atau dikurangi manfaatnya, bagaimana mengatasi permasalahan dan menguatkan potensi lokal, di mana pembaruan dapat dilakukan. Strategi lainnya dimulai dari rancangan perencanaan, inkubasi ide, pelaksanaan, jalur penyaluran sumberdaya, dana dan keahlian, hingga monitoring dan evaluasi. Kolaborasi pemikiran antara aparat pemerintah daerah, lapisan atas dan bawah dapat beragam, mengingat tiap pihak memendam pengalaman yang berbeda. Janganlah ragam pandangan ini dipaksa disatukan.
Akhirnya bupati memutuskan langkah pembaruan desa dengan mengolah ulang atau sekedar memilih salah satu ragam pandangan. Untuk mengujinya, usai sarapan pagi segera diselenggarakan lokakarya akhir. Bupati menyampaikan kesimpulan kunjungannya, serta menyampaikan rencana pembaruan desa yang akan dilaksanakan pemerintah dan masyarakat bersama-sama.
Kiranya dengan pengamatan dan proses berpartisipasi ini kunjungan bupati ke desa –meski semalam—memiliki makna mendalam.