Senin, 21 April 2008

Demokrasi dan Orang Miskin (Democracy and the Poor in Indonesia)

Oleh Ivanovich Agusta
Heboh ikatan demokrasi dan kesejahteraan terus membola salju semenjak Wakil Presiden Jusuf Kalla melontarkannya lebih dari sebulan lalu. Polemik jelas bermanfaat menguji konsep demokrasi lebih mendalam. Sesungguhnya kala mencantelkan demokrasi dengan kesejahteraan, paling jitu mengais kaitannya dengan orang miskin!
Polemik telah mencuatkan kemajuan setelah disadari demokrasi ternyata bukanlah konsep tunggal, melainkan pasca Perang Dingin telah muncul beragam muka demokrasi. Keragaman –bahkan pertentangan—paradigma-paradigma demokrasi ini menjadikannya benar-benar pisau bermata dua bagi orang miskin. Di sudut merah demokrasi menjadi corong suara orang miskin. Namun di sudut biru, alih-alih menyejahterakan, demokrasi malah menjadi tirani dengan pisau penikam orang miskin sendiri.
Pisau Penikam
Demokrasi yang tereduksi menjadi sekedar pemilihan umum, apalagi tercemari ideologi neoliberal, adalah pembunuh suara orang miskin. Pemilu diselenggarakan dalam periode yang jarang, dan minimal dipadati strategi kampanye untuk memanipulasi realitas. Pada titik ekstrim pemilu memanipulasi orang miskin sebagai pemilih, menambah atau mengurangi jumlah mereka, mengiming-imingi sejumlah uang, hingga membunuh tokoh mereka semacam Benazir Bhutto.
Tidak heran sejak tahun 1960-an muncul gejala penurunan drastis pencoblos pemilu di negara maju dan miskin. Namun bukannya menafsirkan penurunan ini sebagai boikot orang miskin, penganut neoliberal memanipulasikannya sebagai pertanda kepuasan orang miskin yang menolak penggantian rejim.
Sayang pengalaman negara Afrika Sub Sahara menunjukkan, setelah suatu pemerintah baru muncul didukungan mayoritas orang miskin pedesaan, ironisnya ia tidak bisa lagi membawa mandat suara orang miskin. Tanpa orang kota dan pebisnis dari dalam dan luar negeri, lembaga dan negara donor menolak membantu perekonomian negara miskin tersebut. Melalui perisai “program penyesuaian struktural” (SAP, Structural Adjusment Program) sekaligus “tata kelola yang baik” (good governance) donor mendesak pemerintah baru mengurangi subsidi pertanian dan orang miskin, sembari melebarkan ladang bagi pedagang dalam dan luar negeri yang lazim tinggal di perkotaan.
Lebih dalam lagi, modal sosial orang miskin dimaknai sekadar kemampuan swadaya, yang justru digunakan untuk mendanai sebagian program pedesaan. Secara kontradiktif ikatan paternalistik di pedesaan dan di kalangan orang miskin dipuji karena dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi program. Namun ikatan paternalistik –kabilah, ninik-mamak, seka, kekeluargaan—segera diharamkan dalam membentuk tata kelola pemerintahan, karena berpeluang meningkatkan kemandirian dan solidaritas bangsa, yang selanjutnya membatasi akses modal asing.
Di Indonesia sempat muncul pertanyaan, mengapa orang miskin di desa diharuskan berdiskusi berminggu-minggu, meninggalkan jam kerjanya sendiri, kemudian mengerjakan bangunan proyek dengan bayaran rendah untuk mendapatkan jalan desa, jembatan, prasarana air bersih, dengan selalu didampingi konsultan swasta? Mengapa, sebaliknya, orang-orang kota yang diam saja, tanpa bergotong royong, tiba-tiba sudah mendapati di sekitar rumahnya infrastruktur transportasi, komunikasi, kesehatan dan pendidikan, yang dibangun oleh pemerintah dibantu konsultan swasta?
Pisau Bermanfaat
Hubungan demokrasi dan orang miskin menjadi jelas justru ketika lapisan atas –baik dari kalangan cerdik cendekia, aparat pemerintah, kalangan swasta maupun pendamping masyarakat—hendak menolaknya. Penolakan pemerintahan demokratis paling awal dalam sejarah umat manusia ditunjukkan filsuf kenamaan Yunani, Plato. Di antara beragam konsep memimpin negara, ia menuduh demokrasi tidak mampu menegakkan negara. Alasannya, dalam demokrasi dimungkinkan suara dan pemosisian orang-orang miskin dalam posisi yang tinggi, minimal sejajar dengan kaum cerdik cendekia. Menurutnya orang miskin tidak memiliki kemampuan setinggi filsuf, sehingga jika suara mereka memerintah dipastikan negara menjadi hancur.
Merujuk dokumen-dokumen pembangunan Indonesia, posisi platonis tumbuh dengan menuduh orang miskin sebagai penyebab rangkaian masalah pembangunan. Seluruh dokumen konsisten diawali pokok masalah, tempat orang miskin menjadi aktor utama.
Terdapat dua kelemahan orientasi masalah. Pertama, cenderung menempatkan masalah inheren pada orang miskin, sekaligus memposisikan orang luar (pemerintah, konsultan swasta, donor) sebagai imam mahdi pemecah masalah. Kedua, saat disadari masalah bersumber di luar kelompok miskin dan wilayah tertinggal, masalah itu digeser menjadi tantangan luar sehingga dilepaskan dari penanganan suatu proyek pembangunan –karena ketiadaan koordinasi penuh lintas pembangunan. Meskipun pihak luar bermandikan masalah namun secara fisik tidak pernah ditindak.
Sebetulnya ada alternatif yang lebih manusiawi, yaitu orientasi kepada masalah digeser menjadi orientasi potensi. Dengan membuang masalah, yang digali di lapangan ialah potensi-potensi yang bisa digunakan untuk mencapai tujuan bersama. Potensi dikumpulkan dari kalangan orang miskin sekaligus pihak lain yang solider membantunya.
Kolaborasi potensi dan tujuan bersama ini menjadi modal dasar perubahan struktur masyarakat menuju keadilan. Menyadari potensi orang miskin merupakan senjata utama untuk melawan kebimbangan demokrasi platonis. Dan, makna demokrasi perlu diperluas dari sekedar pemilu menjadi mencakup merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembangunan bersama orang miskin.