Senin, 21 April 2008

Distribusi dan Perantara (Distribution and Distributor)

Oleh Ivanovich Agusta
Lagi-lagi kita disibukkan oleh kekacaubalauan distribusi barang. Kali ini minyak tanah sekaligus gas alam cair menghilang dari pasaran. Kali lain masalah muncul mulai dari kelangkaan pupuk, kelaparan penduduk terpencil, hingga melambungnya harga minyak goreng, susu, sampai instalasi teknik.
Polanya, bersamaan dengan amburadulnya distribusi barang dan jasa, mencuat kekayaan perantara. Bahkan sebagian besar orang terkaya di Indonesia ternyata merupakan perantara, baik berupa pemegang merek dagang kendaraan bermotor dan benda elektronik lain, tengkulak hasil pertanian dalam skala nasional, hingga makelar minyak bumi.
Dua persoalan utama senantiasa muncul. Pertama, perantara masih bertindak sebagaimana sifat yang dikuatkan selama masa kolonial. Sejak masa kolonial, kewiraswastaan ala perantara berujud ketrampilan mengutak-atik keuntungan bagi pemilik modal di kalangan swasta besar dan pemerintah, sembari menekan rakyat yang berposisi sebagai produsen bahan pertanian atau konsumen industri. Kewiraswastaan itu tidak pernah muncul dalam bentuk inovasi untuk menjadi produsen mandiri, sehingga tidak pernah mewujud dalam bentuk borjuasi atau kelas menengah sejati.
Kedua, argumen utama pengambilan rente atau keuntungan ialah sebagai insentif distribusi ke wilayah yang lebih terpencil dan lebih tertinggal. Sering dilupakan bahwa argumen semacam ini mengandung bias kolonialisme. Meskipun menyatakan diri menjajah Indonesia, kenyataannya Belanda, Inggris, Perancis, Portugal dan Spanyol hanya menduduki beberapa bagian Indonesia. Perjumpaan yang menguntungkan kolonial memberi ide tentang pengembangan kota. Wilayah sisanya dibiarkan tertinggal.
Perantara Kolonial
Borjuis di Eropa muncul mengikuti inovasi teknik dan sosiologis yang mereka temukan untuk merekayasa alam dan buruh. Kekayaan tumbuh dari industri yang dikembangkannya sendiri. Dengan kekayaannya, mereka mampu menuntut kesamaan manusia, yang sebetulnya mengandung pesan kesamaan posisi antara pemerintah dan swasta.
Akan tetapi keadaan Indonesia berbeda. Kelas menengah tidak pernah tumbuh karena terbenam ke dalam sejarah perantara.
Kolonial membutuhkan perantara dalam rangka menghisap sumberdaya pribumi, terutama sampai awal abad ke 19. Kemudian bersamaan dengan perkembangan industrialisasi di Eropa dan Amerika Serikat, perantara juga berperan untuk mendistribusikan barang hasil industri.
Sejak masa kolonial perantara tumbuh melalui manipulasi harga dan kelicikan kepada rakyat. Mereka tidak tumbuh di atas inovasi sendiri. Setelah Indonesia merdeka, nasionalisasi perusahaan Belanda dan Jepang disusun oleh para perantara ini untuk menekan pribumi.
Tidak salah manakala rakyat mengenang perantara sebagai suatu budaya yang terselip, dan ditandai oleh kelicikan. Budaya perantara ini terselip di antara semangat gotong royong. Kenangan ini tercatat dalam penelitian sejak awal kemerdekaan hingga terbitan beberapa tahun lalu. Artinya ada sikap yang tidak berubah.
Mengingat pola perantara tersebut tidak berubah, maka satu-satunya pemecahan masalah ini ialah menurunkan atau bahkan mengabaikan peluang insentif di kalangan perantara. Dengan pola semacam ini, tidak pernah perantara memberikan manfaat kepada sebagian besar rakyat.
Pemerataan Daerah
Selama masa penjajahan, kolonialis yang pernah menduduki Indonesia tidak pernah menempati secara de fakto seluruh tanah Indonesia. Penjajah hanya berminat untuk menyedot tambang, misalnya di Bangka, atau memasarkan produk industrinya, misalnya di Jawa.
Sejak Indonesia merdeka, kesenjangan wilayah yang diwarisi dari kolonialis Hindia Belanda turut terasa. Wilayah Sulawesi Utara dan Maluku tergolong mendapatkan “keuntungan” lebih tinggi daripada lainnya. Kota-kota yang sudah tumbuh semasa penjajahan pada hakekatnya juga dipenuhi oleh “manfaat” kolonial dibandingkan wilayah lain yang tidak tersentuh penjajahan.
Perbedaan sentuhan kemajuan ala Barat ini adakalanya menghasilkan asosiasi-asosiasi kesombongan pada daerah yang merasa diri kaya. Asosiasi ini dikuatkan dengan pengembangan perkotaan justru pada kota-kota yang sudah lebih dahulu dikembangkan oleh penjajah, sejak dari ibukota, kota besar hingga kota menengah.
Namun hakekat kemerdekaan berlawanan dari ketimpangan tersebut. Justru kemerdekaan menghendaki solidaritas antar daerah atas nama negara dan bangsa Indonesia. Upaya menentang kolonialisme maupun neo-kolonialisme (persyaratan pengembangan kota dan proyek yang didanai berbasis pendapatan daerah dan jumlah penduduk) hanya bisa dilakukan melalui pengembangan seluruh wilayah negara, terutama pada daerah yang ditinggalkan oleh penjajah.
Dengan memahami ketimpangan wilayah, seharusnya kebijakan desentralisasi tidak dilakukan sekaligus sehingga menimbulkan gontok-gontokan antar daerah maupun dengan pemerintah pusat. Pertama, sedikit demi sedikit peran pemerintah pusat dialihkan kepada daerah. Dalam suatu negara agraris yang besar penduduknya serta memiliki kerumitan wilayah, maka peralihan yang pertama dan harus berhasil ialah dalam hal perencanaan pembangunan, ketenagakerjaan, dan pertanian. Setelah tiga departemen ini berhasil, barulah devolusi departemen lain menyusul.
Kedua, setelah daerah terampil menjalankan perannya untuk membangun wilayahnya secara mandiri, barulah organisasi dilimpahkan secara spasial.
Etika Kerakyatan
Sebagai panduan untuk menyejahterakan seluruh bangsa, paling tepat merujuk kepada etika kerakyatan. Dalam etika ini suatu sikap, pikiran dan tindakan dipandang baik dan benar manakala sesuai dengan pemenuhan kebutuhan rakyat miskin. Kepada merekalah rujukan adab dan sopan santun dibangun.
Mengingat perantara tidak memberikan manfaat bagi rakyat kebanyakan, maka paling tetapi pemerintah memberikan perhatian langsung kepada rakyat dan produsen. Rakyat yang menjadi konsumen pemanfaat dan produsen perlu menjalin hubungan yang sangat karib. Produsen seharusnya mempertimbangkan manfaat inovasi bagi kepentingan rakyat kebanyakan. Pemerintah mengontrol agar sebagian besar inovasi dan produksi massa atasnya diarahkan untuk kemanfaatan rakyat.
Pemotongan hubungan yang panjang antara produsen dan rakyat konsumen langsung bisa dilakukan dengan beragam cara, yang bisa dijalankan secara bersamaan. Pertama, dengan membangun Badan Usaha Milik negara (BUMN) yang menangani sendiri distribusi barang dan jasa penting bagi rakyat.
Kedua, merumuskan kebijakan yang mendorong agar produsen memperhatikan jaringan distribusi produknya. Pemerintah bisa mendukung produsen itu untuk menyusun jaringan distribusinya sendiri secara waralaba. Harga barang di tingkat produsen akhir dapat dijadikan patokan guna mengukur efisiensi sekaligus efektivitas kegiatan ini.
Ketiga, yang paling manjur, ialah mengembangkan daerah-daerah lain (Others) di Indonesia, terutama yang sejak masa kolonial tidak dilirik sejenakpun. Kolonial memang hanya bermaksud mengambil sumberdaya lokal atau memasarkan produksi industri negara induknya, sehingga tidak berminat untuk menyentuh seluruh pulau di Indonesia. Akan tetapi di masa kemerdekaan ini, kita bersama-sama berkepentingan untuk mengembangkan seluruh warganegara Indonesia, di manapun ia berada dalam tanah ari kita tercinta. Inilah makna desentralisasi yang utama, yang mampu memutus warisan kolonialisme termasuk dalam rupa perantara, sekaligus mengisi kemerdekaan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.