Senin, 21 April 2008

Diskursus Orang Miskin (A Discourse of the Poor in Indonesian Development)

Oleh Ivanovich Agusta

Orang miskin adalah konstruksi imajiner. Setelah pembangunan berumur lima dasawarsa, barulah orang miskin diciptakan oleh donor internasional. Sejak dekade 1990-an tersebut diskursus kemiskinan dikuatkan dengan sanksi penghapusan utang luar negeri, bagi Negara yang tidak mengaitkan pembangunan dengan penanggulangan kemiskinan.

Persoalannya ialah menguatnya kesenjangan antara diskursus dan realitas orang miskin. Banyak pertanyaan praktis. Mengapa penanggulangan kemiskinan yang kontinyu sejak Program IDT (Inpres Desa Tertinggal) tahun 1993 hingga PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) tahun ini tidak juga menghilangkan orang miskin? Apakah realitas sebenarnya orang miskin mustahil lenyap, sehingga program penghilangan kemiskinan kalis dari misi setiap presiden negara termakmur sedunia, Amerika Serikat? Sehingga sebagian pihak memandang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono “bunuh diri” kala mencantumkan penanggulangan kemiskinan sebagai salah satu program andalannya? Ataukah –dengan demikian—desakan donor untuk mengadopsi MDGs (Millenium Development Goals) yang berisi penanggulangan kemiskinan menjadi upaya menusuk Indonesia?

Sayang, jawabannya bisa “ya”. Sebagai saksi hidup, ternyata seorang ahli kemiskinan–meski tidak berkorupsi sedikitpun—otomatis menjadi lebih kaya dan semakin kaya daripada orang miskin yang didampinginya. Tidak lain karena kapitalisme secara sistemik mengalirkan surplus ekonomi kepada lapisan atas. Honor ahli kemiskinan jauh lebih tinggi daripada nilai proyek yang dilimpahkan kepada tiap keluarga miskin. Semakin berpengalaman ahli kemiskinan, makin melangit honornya. Tetapi orang miskin yang “kian berpengalaman” justru terikat makin erat dengan kemiskinannya. Inilah realitas dari diskursus bernama kemiskinan struktural.
Selip teori dan praksis selayaknya berujung pada pengujian ulang diskursus penciptaan orang miskin. Tujuannya membongkar diskursus lama yang disinyalir memiskinkan orang kebanyakan dan memendam orang miskin lama. Praksis di masa depan membutuhkan penciptaan diskursus baru orang miskin untuk memecahkan masalah dan membebaskannya dari kemiskinan.

Diskursus Proses

Dalam diskursus proses, partisipasi yang lazim digunakan dalam program penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk menyusun kelompok. Kelompok menjadi instrumen untuk meningkatkan ketrampilan, kapasitas dan jaringan sosial. Diskursus proses hendak mewujudkan pembangunan yang pro-poor, berbasis civil society dan pemberdayaan. Program yang tipikal dalam diskursus proses ialah Program IDT.

Kritik terhadap diskursus proses ialah tendensinya untuk dijadikan legitimasi program dari elit, yaitu pemerintah, donor dan swasta besar lewat tanggung jawab sosial perusahaan (CSR atau corporate social responsibility). Tahapan partisipasi yang dijalankan dijadikan bukti bahwa elit telah mengayun langkah. Akibatnya program bisa terjatuh hanya sebagai displai elit tersebut.

Diskursus Efisiensi-Biaya

Diskursus efisiensi-biaya menginginkan keikutsertaan orang miskin dalam pembangunan untuk meningkatkan rasa kepemilikan. Namun keikutsertaan sekaligus sebagai upaya memobilisasi sumberdaya lokal. Komponen program-program yang masuk dalam PNPM adalah tipikal diskursus efisiensi-biaya. Program semacam ini berupaya membatasi biaya input atau materi program, sembari menggali kontribusi dari orang miskin sendiri.

Kritiknya ialah, program penanggulangan kemiskinan dijadikan instrumen elit untuk menciptakan pembangunan yang lebih murah, namun dengan memobilisasi fasilitas lokal. Pada titik ini elit lebih diuntungkan karena pengeluaran mereka untuk pembangunan lebih murah. Namun surplus keuntungan ke atas tersebut mengalir dari swadaya orang miskin sebagai syarat perolehan program.

Diskursus Efektivitas

Dalam diskursus efektivitas, partisipasi seluruh pihak dalam program penanggulangan kemiskinan terutama ditujukan untuk meningkatkan akurasi informasi dan relevansi realitas kehidupan yang diputuskan dan dibangun. RISP (Rural Infrastructure Support Program) dan program elit lain yang sudah terlebih dahulu memastikan lokasi dan indikasi kebutuhan masyarakat berdiam dalam diskursus efektivitas. Kenyataannya, sebagian pemerintah daerah memandang hasil diskusi warga mencerminkan realitas kebutuhan lokal. Sehingga hasil diskusi menjadi pengisi rencana pembangunan daerah.

Diskursus efektivitas membuahkan kritik, pertama, kerap muncul kesenjangan perumusan masalah antara pengelola dan pemanfaat program. Kedua, saat persepsi keduanya berimpit, ternyata salah satu pihak selalu menyebut ragam permasalahan lebih banyak daripada lainnya. Artinya efektivitas program selalu sulit –atau mustahil?—untuk dicapai.

Diskursus Hak Orang Miskin

Kesulitan diskursus efektivitas sekaligus menerangi ide bahwa kemiskinan menjadi sejenis pengalaman yang sulit dibagi kepada pihak lain –apalagi sekedar memasuki ruang akademis modern. Konsekuensinya yang radikal, orang miskin sebetulnya adalah pakar tentang kemiskinan itu sendiri, baik dalam aspek penyebab, kondisi, maupun peluang penyelesaiannya.
Maka jalan paling ampuh ialah mengkonstruksi diskursus hak orang miskin. Program pembangunan seharusnya menciptakan ruang khusus bagi orang miskin, yang tidak boleh diintervensi pihak lain. Misalnya ada sesi bagi orang miskin untuk mengajukan usulan kegiatan.
Jangan dilupakan, dengan melubernya jumlah orang miskin di Indonesia, di antara mereka sendiri telah muncul tokoh yang bisa menyuarakan kondisi kemiskinan. Maka perlu ada wakil orang miskin dalam diskusi usulan sejak di tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, dan nasional.