Senin, 21 April 2008

Kesenjangan dan Larangan Remuneratif (Social Inequalities and Remuneratively Rule in Indonesia)

Oleh Ivanovich Agusta

Mulai saat ini pemerintah perlu menghilangkan larangan-larangan yang bersifat remuneratif. Oleh karena kesenjangan sudah menjadi realitas sosial, aturan pemerintah semacam itu hanya menjadi larangan bagi wong cilik. Sebaliknya elite ekonomi tetap memperoleh peluang untuk menjulang sendirian.

Contoh rancangan larangan remuneratif yang terbaru ialah kenaikan harga premium setelah warganegara mengonsumsi di atas batas tertentu. Rancangan serupa akan diterapkan pula pada energi listrik.

Bahasan larangan remuneratif semakin penting karena tampak sudah mendarah daging di benak pemerintah. Sejarah larangan remuneratif bisa disusun dari bea barang mewah untuk mobil, pembedaan obat paten dari obat generik, harga kios pasar baru yang lebih mahal daripada kios lama yang terbakar, dan sebagainya.

Selain itu, berkali-kali pula mencuat minat melarang warganegara secara remuneratif, meskipun akhirnya gagal ditetapkan lantaran diprotes dengan keras. Misalnya rencana pembatasan tahun kendaraan bermotor untuk berlalu lalang di jalanan Jakarta, pemulangan paksa migran baru di petak kontrakan namun meloloskan migran di perumahan elite, dan lain-lain.

Kesenjangan Sosial

Data sahih perihal kesenjangan sosial bersifat kualitatif, yaitu kemunculan segelintir konglomerat sebagai orang terkaya di dunia. Segelintir elite ekonomi ini terbang menjangkau menara kekayaan hanya dalam separuh usianya.

Bandingkan dengan elite ekonomi di Eropa yang biasa mencapai kekayaan setelah beberaga generasi. Sebaliknya, konglomerasi selalu menyisakan persoalan eksploitasi wong cilik guna memproduksi surplus ekonomi bagi mereka. Kajian proses konglomerasi semacam ini berlaku baik bagi Indonesia, Amerika Latin, maupun negara miskin lain.

Data kuantitatif untuk kesenjangan selalu luput memasukkan kekayaan mereka. Indeks Gini Indonesia tidak beranjak dari 0,3 sejak 1980-an, seakan-akan menunjukkan kesenjangan sosial tidak berarti. Namun angka yang salah tersebut muncul lantaran petugas mampu mendata seluruh pengeluaran orang miskin, yang lazimnya sejajar dengan pendapatannya. Sebaliknya, pengeluaran konglomerat jauh lebih kecil daripada pendapatannya, sehingga Indeks Gini mencatat “pendapatan” mereka secara jauh lebih rendah.

Larangan Remuneratif

Aturan remuneratif biasanya berbentuk, “Jika Anda bersedia menjalankannya maka akan ada remunerasi (imbalan) untuk Anda”. Diterapkan dalam larangan remuneratif, bentuknya menjadi, “Jika Anda melanggar aturan maka Anda didenda uang (remunerasi Anda dikurangi)”.
Dipraktekkan dalam kebijakan publik, larangan remuneratif berbentuk batas konsumsi menurut golongan pendapatan tertentu. Seandainya warganegara Indonesia memiliki kemakmuran yang merata, maka ambang batas tersebut bisa berlaku secara adil bagi seluruh rakyat. Batas dalam aturan pemerintah sekaligus mencerminkan batasan konsumsi riil warganegara.

Namun arena kesenjangan sosial mencipta kesenjangan batas konsumsi pula. Bensin premium seharga Rp 7.500,00 mampu menurunkan pergerakan angkutan pedesaan. Implikasi kenaikan ongkos transportasi nantinya berbuntut pada penurunan gerakan warga desa. Ekonomi orang kecil pun tergencet lagi.

Di tengah lautan wong cilik, elite ekonomi tetap bisa mendayung kapal dagangnya. Ongkos premium yang kian mendekati pertamax tidak akan mempengaruhi laju pergerakan mobil-mobil pribadinya. Perusahaan konglomerasi masih mungkin tumbuh melalui kenaikan harga produk yang tertunda, contohnya dengan terlebih dahulu menjual barang stok.
Kenaikan produk tetap menghasilkan surplus melalui peningkatan massifikasi produk. Peningkatan pengangguran akibat kesulitan ekonomi menjadi tentara cadangan buruh, yang mudah digunakan elite ekonomi untuk menekan upah. Demikianlah ongkos produksi ditekan oleh elite ekonomi.

Hak dan Kewajiban Warganegara

Mudah diduga, hasil akhir dari pelarangan remuneratif justru berupa penguatan elite ekonomi. Kemampuan membayar denda memungkinkan mereka duduk di atas hukum, aturan, atau pelarangan. Di pihak lain wong cilik semakin terbelenggu oleh aturan pemerintah dan produk pasaran.

Denda atau pajak yang bersifat progresif menjadi kalis dalam konteks ini. Di satu pihak, statistika resmi tidak mampu memastikan batas kelas-kelas ekonomi karena tidak menghasilkan data pendapatan yang valid dari golongan elite. Di pihak lain, seandainya data tersebut akhirnya bisa ditemukan, belum tentu pemerintah bersedia menyusun batas remuneratif sesuai kesahihan batas angka pendapatan tersebut. Karena batas nilainya menjadi membubung, menyadarkan wong cilik akan kesenjangannya dari elite ekonomi, dan berujung sebagai pemicu protes sosial.

Menyadari pola kerja dan hasil larangan remuneratif tersebut, sebaiknya pemerintah kembali menyadari posisinya sebagai pengemban negara. Birokrasi pemerintahan seharusnya melayani warganegara tanpa pandang bulu. Dengan cara terakhir inilah hak dan kewajiban warganegara berlaku sama dan tidak terdiskriminasi.

Kalau pemerintah perlu melarang, maka larangan tersebut harus berlaku untuk seluruh warganegara tanpa membedakan posisi ekonomi. Larangan hendaknya tidak bersifat remuneratif melainkan absolut bagi seluruh rakyat.

Tuhan memberi amsal: agar peluang masuk surga sama dan fair, maka posisi tiap manusia dijadikan sama terlebih dahulu di hadapan-Nya.