Senin, 21 April 2008

Orang Desa dan Thaksin (Indonesian Villagers and Thaksin)

Oleh Ivanovich Agusta
Dukungan mayoritas orang desa bakal mengembalikan mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra ke tampuk semula. Fenomena ini memukau karena sekaligus menunjukkan kesenjangan politik yang kuat dengan orang kota—yang justru beminat melenyapkan kelompok Thaksin.
Sayup-sayup terasa paralelisme sejarah dengan pemilu pertama awal reformasi Indonesia, tahun 1999. Gairah orang desa kepada Partai Golkar membalik opini kelas atas yang menginginkan penghancuran partai pemerintahan Soeharto ini.
Politik mutakhir orang desa mencuatkan tiga temuan penting. Pertama, tidak tepat (lagi) memaknai orang desa bersifat masa bodoh kepada politik. Mereka justru mempertontonkan pilihan politisnya.
Kedua, opini sementara pihak salah sewaktu menafsirkan pilihan orang desa adalah mengusung status quo. Sebaliknya, orang desa sedang menyampaikan pesan pentingnya pemimpin menyejahterakan kelompok terbawah bangsa.
Ketiga, permainan politik semacam demokrasi, sosialisme, juga kapitalisme bisa ditolerir sementara waktu. Namun pada saatnya rakyat desalah yang mengevaluasi seluruh faktor politik, atas penilaian kemampuan pemerintah memenuhi bahan pokok kebutuhan rakyat, disertai akses lembaga keuangan, alat dan bahan produksi. Di samping sejalan dengan kasus Thaksin, pernyataan ini difalsifikasi oleh penurunan dukungan justru pada presiden Venezuela populer, Hugo Chaves, beberapa waktu lalu.
Industri atau Pertanian
Konteks pedesaan berbeda –mungkin juga berlawanan—dengan perkotaan. Buruh dan kelompok menengah merupakan elemen penting kota. Merekalah yang mengiris kue ekonomi lebih besar sejauh didasarkan pertumbuhan dan kapitalisme global.
Perbedaan konteks sosial penting, karena menjelaskan arti suara buruh dan kelas menengah di Eropa sejak Revolusi Industri (1750-1850). Industrialisme dibarengi perusakan ikatan komunitas, kekerabatan, dan kelompok kecil di desa. Penguatan individualisme lalu melemparkan orang desa ke posisi buncit sejauh aspek pengetahuan, ekonomi, dan status sosial. Wilayah pedesaan berikut pola sosial desa hampir-hampir menghilang, digantikan dominasi politik, ekonomi, hingga demografi masyarakat kota.
Saat sebagian pakar menelan bulat-bulat proposisi kekuatan politis orang kota –sebagaimana sejarah Eropa—akar serupa tumbuh dari boikot buruh yang menggetarkan dunia kolonial. Misalnya sejak pergantian abad ke 20 di Indonesia. Sebetulnya goncangan terasa karena ekonomi industri dan masyarakat kolonialis sungguh bergantung kepada tukang, operator dan kerani.
Namun proklamasi kemerdekaan membalik posisi itu. Dukungan orang desa kepada kemerdekaan jelaslah otentik! Karena merekalah yang benar-benar dirugikan dan ditindas sejak merkantilisme VOC dan berlanjut dengan tanam paksa Hindia Belanda. Karena merekalah –yang meliputi hampir seluruh rakyat Indonesia—yang benar-benar membutuhkan kemerdekaan!
Jika merekam perlawanan-perlawanan petani serta bantuan orang desa dalam perang gerilya, patutlah menyematkan golongan revolusioner di dada mereka. Sebagai catatan, saat itu pedagang, pegawai, cerdik cendekia –bukan orang desa— justru mendapatkan keuntungan, pekerjaan dan uang dari gerak ekonomi kolonial.
Sementara industrialisasi Eropa merusak ikatan komunitas desa, penjajahan Belanda, Inggris, Perancis, dan Jepang justru membiarkan ikatan komunal tetap terjalin. Hanya pemerintahan Soeharto yang berupaya merusaknya demi massifikasi pembangunan ekonomi desa sejak 1979.
Namun mengacu pada kedalaman kapitalisme sebagai indikator impak pembangunan, ternyata data potensi desa 2006 menunjukkan sepuluh persen desa tidak pernah menjalani monetisasi, sementara 70 persen desa tetap mengandalkan tukar menukar lokal melengkapi pertukaran komoditas dengan kapitalis dari luar desa.
Lebih lanjut, masih 60 persen penduduk tinggal di pedesaan. Sedangkan ikatan dengan desa muasal tetap membetot sebagian orang kota.
Alhasil, suara orang desa dan jaringannya tetap mayoritas dalam kancah politik nasional. Keterbukaan masa kini memungkinkan orang desa memamerkan pilihan politisnya. Namun tekanan yang terlalu mendalam juga berakhir sama, karena kemelaratan meringankan beban orang desa kala melakukan revolusi pilihan–contohnya saat orang desa mempertahankan proklamasi kemerdekaan.
Evaluasi Impak
Argumen orang desa mendukung Thaksin tegas, yakni pada kemampuannya menyediakan kebutuhan secara murah atau gratis. Evaluasi impak kepemimpinan bangsa ini bernilai tinggi, jika dibandingkan kasus negara-negara Sub Sahara Afrika yang sama-sama dilanda krisis ekonomi. Di Afrika pemimpin yang semula didukung orang desa kemudian mencederainya lantaran mengalah kepada donor internasional yang justru menghendaki pengurangan subsidi rakyat dan pertanian. Akibatnya orang desa menarik dukungannya.
Sayang pemerintah Indonesia tampaknya bersatu gerbong dengan Afrika. Orang desa dilukai melalui pengurangan subsidi migas untuk melaut hingga memasak. Harga alat dan bahan pertanian ditinggikan sekaligus menjadi langka. Tekanan ditambah dengan pembatasan harga dan keuntungan komoditas pertanian guna melayani orang kota yang jelas-jelas berjumlah lebih sedikit.
Jika bersedia, periode awal kemerdekaan membuka celah penyelesaian lain kala alat dan bahan produksi juga terbatas, yaitu solidaritas sosial. Di kala panggilan “bung” benar-benar merepresentasikan sempitnya kesenjangan sosial-ekonomi antara pemimpin bangsa dan orang desa.