Senin, 21 April 2008

Kemiskinan sebagai Akibat (Poverty as a Result in Indonesia)

Oleh Ivanovich Agusta
Pusaran arus besar pemikiran sekitar kita saat ini menerjemahkan kemiskinan sebagai pangkal penyebab masalah sosial dan ekonomi. Bersumber konstruksi ini, penanganan pengurangan orang miskin berpotensi bersilang jalan. Pada satu kutub kemiskinan diatasi lewat pemberdayaan –mengasumsikan potensi inheren orang miskin. Di kutub seberang dana dibagikan langsung agar segera pada survai berikutnya pendapatan orang miskin sementara waktu berada di atas garis kemiskinan.
Untuk mendesakralisasi bahwa pandangan itu sebatas representasi yang kita konstruksikan bersama, sebaiknya sejenak memikirkan masalah ekonomi dan sosial kita sendiri. Benarkah honor kita dipengaruhi keberadaan orang miskin di sekitar kita? Benarkah kegagapan kita berkomunikasi dengan warga sebangsa dikarenakan orang miskin?
Coba lebih luas. Apakah orang miskin yang mendapatkan hewan kurban, memperoleh dana kompensasi dari pemerintah, bakal lepas dari kemiskinan tahun depan? Apakah bangunan TK, selokan, tempat mandi yang dibangun di lokasi tertinggal mengurangi orang miskin di sana?
Saya kira tidak demikian. Representasi orang miskin Indonesia baru muncul awal abad lalu, bahkan dialamatkan kepada golongan indo dan di perkotaan. Bukan berarti pada pribumi dan di wilayah pedesaan tidak muncul kemiskinan, namun kolonialis hanya memicingkan mata kepada Indo dan Belanda totok, yang kala itu dominan di kota. Representasi sekarang berkebalikan, justru kemiskinan mendominasi pedesaan. Dan, mustahil membayangkan indo mendominasi golongan miskin.
Bangunan lain ialah representasi kekalahan orang bawah. Boeke berkeras menuduh pribumi malas hingga ditaklukkan penjajah. Namun dengan merentang sejarah lebih panjang, Geertz membalik teks merujuk penjajahan berkepanjangan sebagai penyebab utama yang menghasilkan akibat utama kemalasan pribumi. Penjajah menutup sebagian besar pintu kemajuan dengan kekerasan, sehingga pribumi tidak memiliki kegiatan selain menunggu pintu itu terbuka, secara sukarela maupun melalui perjuangaan.
Nah, dari sinilah hendak ditilik peluang baru untuk menangani kemiskinan!
***
Pandanglah teks Boeke lagi, dan letakkan pada konteks kemiskinan. Kemiskinan menjadi penyebab kita dijajah pihak lain –sebangsa maupun bangsa lain. Inilah warisan representasi pemikiran Boeke. Sekalian diingat, Ranis mencatat dualisme Boeke menjadi nenek moyang teori-teori modernisasi. Relevansinya, teori modernisasi diterjemahkan menjadi program pembangunan oleh donor dan pemerintah—hingga kini. Setelah mewujud program, representasi orang miskin bukan sekedar diskursus mengawang-awang, tetapi sekaligus berkaki dan berkepentingan dalam bentuk fisik, tata keuangan, hingga politik mobilisasi.
Belajar dari Geertz –yang sudah melawan teks Boeke—perlawanan diskursus dominan dilakukan dengan membalik komponen logika representasi kemiskinan. Orang miskin bukanlah penyebab masalah, melainkan kemunculan dan perkembangan masalah sosial maupun ekonomi sebelumnya telah mengakibatkan merebaknya jumlah dan penurunan kualitas orang miskin.
***
Ada satu perubahan kualitatif penting! Lewat diskusi tangga stratifikasi dengan komunitas-komunitas lokal, hingga dua tahun lalu garis kemiskinan pemerintah dipandang setara dengan garis kemiskinan warga desa dan kota dalam Pulau Jawa. Akan tetapi garis kemiskinan pemerintah lebih tinggi daripada garis kemiskinan komunitas di luar Jawa. Artinya sampai tahun 2005 angka kemiskinan yang dilansir pemerintah untuk Jawa kemungkinan valid. Namun dipastikan pemerintah terlalu bernafsu mengkonstruksi representasi kemiskinan luar Jawa, padahal kenyataannya di sana lebih banyak penduduk berpotensi mandiri.
Perubahan data muncul akhir tahun 2007 dan awal 2008. Tiba-tiba garis kemiskinan pemerintah lebih rendah daripada konstruksi garis kemiskinan warga. Bahkan ini terjadi di Jawa, termasuk wilayah tetangga metropolitan Jakarta. Tak ayal lagi realitas kemiskinan di mata masyarakat melebihi cara pandang pemerintah. Kemiskinan di tengah masyarakat memang meningkat, di Jawa dan luar Jawa. Dengan pola pertanyaan melingkar dan padat jebakan rahasia, dapat dipastikan hingga kini jawaban lokal tersebut lebih valid. Dengan kata lain, tanpa bias keinginan memiskinan diri agar menangguk bantuan dana –yang terkoreksi dengan metode ini—kenyataannya memang warganegara Indonesia merasakan tetangganya dan dirinya bertambah miskin!
Teknik menggali asal muasal kemiskinan dipraktekkan dengan menuliskan konsep kemiskinan di tengah, lalu mencari penyebab di sebelah diri dan akibatnya di kanan. Di lapangan yang muncul bukanlah variabel terurut dari atas ke bawah, melainkan berbentuk kait mengait jaringan variabel. Kemiskinan juga tidak pernah akibat dari faktor tunggal.
Jika variabel terpaksa diperas, kemiskinan merupakan akibat kesenjangan sosial dan ketiadaan kesempatan ekonomi. Representasi kesenjangan sosial berbentuk pelunturan solidaritas lintas strata sosial, bahkan kian menuju ketakutan elite terhadap orang miskin –yang pernah terjadi di Eropa selama Revolusi Industri periode 1750-1850.
Kesenjangan ekonomi diterjemahkan dari ketertutupan akses ekonomi orang miskin. Juga karena mereka sulit memulai usaha dari titik awal yang sama. Dekade 1960-an dan akhir 1990-an pernah menjentikkan ide reforma agraria dalam bentuk pembagian lahan dan transmigrasi, agar tercipta titik pangkal seluruh petani sebelum beranjak bersaing. Ide itu kian sulit lantaran mustahil membagi luas lahan tersedia kepada seluruh petani, juga karena pekerja di luar lahan pertanian kian melimpah.
Membanding kedua penyebab utama di atas, tiada berlebihan warga menjagokan perbaikan solidaritas antar lapisan atas dan bawah sebagai pemecah utama kemiskinan.
Nah, diskursus baru muncul. Maukah kita Gotong Royong, dengan G dan R besar?