Senin, 21 April 2008

Pemotongan APBN/D Laik Dijalankan

Oleh Ivanovich Agusta
Hati terasa gemas menerima sajian diskursus kesulitan pemotongan 15 persen APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Seorang menteri menawar perintah menteri keuangan (Menkeu) tersebut: pemotongan akan dilakukan kepada aparatnya sendiri, maka layanan kepada masyarakat bakal menurun. Menteri lainnya hendak menurunkan pengawasan sehingga kualitas proyek menjadi rendah.
Di satu titik memang berkembang pertanyaan, untuk siapakah keputusan Menkeu tersebut? Pertanyaan serupa sudah muncul sejak pemotongan biaya perjalanan pada tahun anggaran 2007. Pertanyaan itu dikipasi rumor bahwa dana juga mengalir kepada konglomerat-pejabat untuk menambal proyek swastanya yang kedodoran. Belum cukup dari tahun anggaran lalu, maka pada tahun anggaran ini dilaksanakan kebijakan serupa, ditambah rencana pelimpahan proyek untuk menguatkan tambalan tersebut.
Rumor sebaiknya dilawan dengan transparansi keproyekan! Nah, dalam konteks yang sama itulah menjadi janggal mendapati diskursus kesulitan pemotongan APBN, yang hampir pasti merembet kepada pemotongan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Apalagi dengan menakut-nakuti pelemahan layanan dan kualitas proyek. Sebetulnya pemotongan 15 persen, bahkan mungkin sampai 25 persen anggaran tetap laik diberlakukan dalam APBN/D. Sangat mungkin pemotongan serupa layak pula dilaksanakan di lembaga yudikatif dan legislatif.
Transparansi Proyek
Anggaran pemerintah terbagi atas biaya rutin untuk menjalankan pemerintahan, dan biaya pembangunan untuk menggerakkan ekonomi masyarakat. Setelah reformasi diketahui anggaran pembangunan biasanya lebih rendah daripada anggaran rutin. Sayang penggunaan anggaran rutin sering dipermasalahkan lantaran dibelikan barang mewah pejabat pusat dan daerah, seperti mobil, mebel dan bangunan baru. Tulisan ini tidak menyoroti anggaran rutin, sekalipun penghematan barang mewah pasti bisa dilakukan di sini.
Tulisan lebih meninjau efektivitas anggaran pembangunan. Penyaluran anggaran dilakukan secara swakelola atau tender. Anggaran tiap kegiatan swakelola tidak lebih dari Rp 50 juta, dan secara keseluruhan berjumlah jauh lebih kecil daripada nilai yang ditenderkan.
Maka pembangunan Indonesia saat ini hampir seluruhnya dilaksanakan swasta, bukan oleh pemerintah sendiri. Peraturan tender dengan batas nilai rupiah yang kecil di atas sempat mengundang perdebatan. Di satu sisi, tender memungkinkan aliran dana konsumsi dari pemerintah kepada swasta, sehingga menggerakkan perekonomian lokal maupun nasional.
Namun di sisi lain, menguatnya peran swasta langsung dalam pembangunan menandakan tertancapnya kuku-kuku neoliberalisme. Tentu hasil kegiatan swasta selalu diklaim oleh pemerintah, kecuali saat muncul musibah seperti banjir yang langsung dialamatkan kepada kelalaian konsultan drainase.
Dalam tender inilah pemerintah biasa mengambil rente. Keleluasaan rente bahkan diresmikan melalui libur hari Sabtu, agar aparat pemerintah bisa “ngobyek”. Lazim diketahui, setelah dana proyek dinegosiasikan, lantas kantor dan aparat pemerintah memperoleh rente yang tinggi. Mungkin 20 persen, bahkan biasa pula mencapai 60 persen dari nilai proyek. Jangan lupa mencatat fakta korupsi di pengadilan: kebutuhan hidup keseharian dan barang mewah aparat pemerintah juga biasa dicukupi konsultan swasta. Lagipula sebagian pejabat mendirikan konsultan untuk menggerakkan mencairkan anggaran pembangunan di kantornya sendiri.
Tidak pelak lagi, seharusnya pengurangan rente pemerintah itulah yang menjadi pengisi kebutuhan pemotongan dana APBN/D. Pemotongan rente semestinya sekaligus memerangi korupsi. Di samping itu, anggaran rutin yang tidak perlu dipotong jelas meniadakan alasan pengurangan layanan masyarakat atau penurunan kualitas pembangunan.
Pembangunan Partisipatif
Pemerintah masih mengembangkan Program Pengembangan Sistem Pembangunan Partisipatif (P2SPP). Evaluasi menunjukkan, bahwa partisipasi masyarakat dan transparansi dalam musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) menjadi satu-satunya cara efektif mewujudkan pembangunan yang murah dan bersih.
Sejak tahun 1998 puluhan program pemberdayaan mengajak masyarakat berpartisipasi menggali kebutuhan dan merancang anggaran, lalu mendiskusikannya dalam musrenbang desa dan musrenbang kecamatan. Sampai pada level kecamatan partisipasi masyarakat terkawal erat.
Sayang usulan warga kerap dimatikan lalu diubah dalam musrenbang di tingkat kabupaten, propinsi, hingga nasional. Tiba-tiba bisa muncul usulan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau titipan kepala daerah. Lebih lanjut, saat pembahasan anggaran tiba-tiba menyelinap titipan anggota DPR/D (Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah).
Menariknya, uji coba P2SPP memunculkan peluang perubahan wajah APBN/D menjadi lebih murah dan efektif. Bisa lebih efektif karena pembangunan bermula dari penggalian gagasan warga secara partisipatif. Pembangunan lebih murah karena usulan masyarakat bisa dikerjakan sendiri oleh warga, sekaligus ditambahi swadaya lokal.
Syaratnya, pertama, musrenbang dijadikan satu-satunya wahana pengisi anggaran pembangunan dalam ABPN/D. Syarat ini membatasi campur tangan di belakang layar oleh pejabat eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Kedua, SKPD, DPR/D, juga swasta, turut berkompetisi dengan masyarakat sejak tataran desa. Posisi setara di antara tiang-tiang pembangunan tersebut memungkinkan pembangunan dirasakan bersama-sama sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga pengendalian.
Ketiga, penyebaran informasi hasil musrenbang. Informasi menjadi bahan pelajaran untuk mengusulkan kegiatan pembangunan tahun berikutnya.