Senin, 21 April 2008

Petani “Emoh” Pembangunan (When Indonesias' Peasants Deny Development)

Oleh Ivanovich Agusta

Mengesankan! Kompas edisi Jumat lalu (11/4/2008) memuat kesiapan perlawanan petani Kulon Progo menghadapi tekanan untuk mengubah gumuk pasir menjadi terowongan tambang pasir besi. Tidak tanggung-tanggung, artikel pendukung memenuhi halaman pertama (paling atas, lagi!) sampai lembaran khusus Fokus.

Edisi tersebut saya koleksi, sebagai dokumen dukungan sebuah koran kepada petani. Lebih khusus, sebagai upaya sebuah Kompas menyentuh pembaca khasnya: golongan menengah dan elite Indonesia. Kekhasan ini melekat pada pola wacana yang dibangun, yang berbeda dari wacana untuk lapisan bawah dan bawah-tanah.

Meskipun berulang kali melepas kisah tragis rakyat terpinggirkan di halaman pertama, namun pembaca Kompas yang diwakili pejabat dan analis sosial tetap mempertanyakan nilai sejumlah kasus dibandingkan keseluruhan populasi Indonesia. Orientasi kuantitas utilitarian dijawab wartawan melalui angka potensi kerugian tambang pasir kepada belasan ribu rakyat pesisir Kulon Progo.

Penguatan pernyataan wacana digali dengan mengumpulkan sebanyak mungkin data pendukung, bukan menggali falsifikasi pada data lawannya. Maka wawancara disesaki ujaran petani, aktivis agraria dan tambang, ketimbang inkoherensi pernyataan pejabat dan pengusaha tambang tersebut.

Akhirnya, agar suatu kasus menyentuh emosi, maka disusun cerita melankolis aktor-aktor tragedi. Wartawan menampilkannya melalui mulut sejumlah petani yang ditipu pengusaha dan penguasa untuk menanam benih hibrida, dan akhirnya selalu gagal panen.
Saya kira menulis kekpentingan rakyat dalam wacana kelas menengah dan elite di atas memang penting sebagai pembuka. Namun penguatan wacana berikutnya memerlukan pengenalan wacanan rakyat secara lengkap, yaitu disertai klaim kebenaran dan institusi yang menjadi konteks kebenaran rakyat. Gugahan dari sini mungkin lebih meyakinkan kekuatan wacana rakyat yang sesungguhnya.

Petani Paling Berhak

Memanfaatkan ujaran Frantz Fanon, rakyat yang paling tertindas menjadi manusia yang paling berhak menyatakan merdeka. Perkataan “merdeka” bisa keluar dari mulut elite dan golongan menengah. Namun pernyataan dari rakyat pinggiran paling bermakna untuk menggerakkan seluruh sumberdaya miliknya.

Di Indonesia, siapakah yang lebih berhak menyatakan merdeka dibandingkan petani? Di masa kerajaan, petanilah yang ditekan untuk memenuhi ransum istana hingga pembangunan candi akbar. Di masa kolonial petani adalah subyek pengisi tanam paksa di kebun hingga jalan raya. Sejak Orde Baru pemerintah menahan petani mencipta beras dengan harga lebih murah dari upah buruh industri terendah.

Fanon melanjutkan, wacana kelas menengah dan elite bercirikan penghindaran konflik fisik, semata-mata karena tidak berani menanggung resiko. Sebaliknya rakyat tertindas mematerialkan wacana dalam kekuatan fisik, sekaligus menunjukkan keberanian mereka mencipta sejarah.

Di masa klasik nabi mempercayai doa umat tertindas sebagai pengoreksi dunia lantaran senantiasa dikabulkan Tuhan. Di Eropa Karl Marx menemukan golongan proletar industri sebagai pencipta sejarah sosialisme. Untuk Indonesia, Sartono Kartodirjo dan Rex Mortimer mencatat berulangnya petani menggalang kekuatan fisik melawan raja, kolonialis, hingga pemerintah.

Institusionalisasi wacana rakyat berbentuk gerakan antar mereka sendiri, berbentuk organisasi formal, maupun terkumpulnya simpatisan di sekitar mereka. Sebagai pengganti insting pada hewan, manusia berorganisasi untuk mempertahankan diri.
Mengikuti Abraham Maslow, orang-orang yang teraktualisasi-diri selalu tertarik dengan keadilan dan moralitas. Tidak mengherankan Maslow memastikan, sekalipun sehari-hari mereka terlihat netral, namun selalu menunggu saat-saat untuk berpihak kepada golongan yang disakiti begitu ketidakadilan mengemuka. Saya menduga dukungan dan pengorganisasian untuk petani meningkat usai pemuatan Kompas.

Trik pengusaha dan penguasa nantinya berkisar pada pemuatan angka-angka pendukung disertai kelompok kecil pengguna kekerasan fisik. Petani tentu siap beradu fisik, namun penguatan wacana-petani membutuhkan kelompok cendekiawan organik.

Di sinilah media massa menjadi penting. Baik berupa koran, majalah, tabloid (yang paling lama disimpan di rumah), radio dan televisi. Khusus untuk koran ini, teriring usul agar membuat koran yang beredar khusus di antara golongan bawah –jenis media ini belum muncul di antara grup Kompas.

Pasca-Pembangunan

Pembangunan didasarkan humanisme ala Kantian. Seorang dewasa –ternyata maksudnya Barat—menjadi seorang humanis, dan dirinya memiliki tugas memberdayakan (”meng-humanis-kan”) orang yang belum dewasa: orang desa di negara Selatan. Evolusionisme menguatkan diskursus desa sebagai awal evolusi menuju kota. Juga pertanian sebagai pangkal menuju kemodernan industri dan masyarakat jasa.

Ketidakmandirian desa terwujud dalam mekanisme penggabungan untuk memudahkan pengelolaan dan kontrol. Kategorisasi pengontrolan berupa kecamatan dan kabupaten, dan dimaterialkan dalam pengiriman sumberdaya pembangunan berurut dari tingkat nasional sampai desa.

Wacana serta institusi pembangunan menempatkan petani di desa pada kalangan terbawah. Posisi ini bukannya mendapatkan limpahan layanan, melainkan rente tertinggi.
Maka tak salah menginginkan kesetaraan posisi orang desa. Akses rakyat dan simpatisannya dalam wacana dominan ditempuh melalui media massa terlaris. Dan institusi kelompok pinggiran dikuatkan hingga jaringannya di tingkat internasional.