Sabtu, 31 Mei 2008

Persilangan Diskursus Kemiskinan (Crossing Poverty Discourses in Indonesia)

Oleh Ivanovich Agusta

Saling sengketa perihal derajat kemiskinan dan upaya penanggulangannya belum pernah menghasilkan penyelesaian yang menguntungkan bagi orang miskin sendiri. Sebab kritik dari satu diskursus diarahkan pada diskursus kemiskinan lain yang berbeda. Akibatnya persoalan mendasar persilangan diskursus kemiskinan tidak pernah terpetakan dengan tepat.

Enam Diskursus

Saya mendeteksi di Indonesia muncul enam diskursus kemiskinan. Pertama, diskursus pembagian kelebihan. Mungkin ini diskursus yang muncul paling lama di etnis-etnis di Indonesia. Dalam suatu kelompok atau komunitas, orang yang berkelebihan membaginya kepada sesamanya yang kekurangan. Lebih tepat melihat fenomena ini sebagai "pembagian kekayaan", alih-alih "pembagian kemiskinan" ala Geertz.
Barang dan jasa yang dibagi relatif berkualitas sama, bukan barang jelek untuk recehan. Di desa-desa di Sulawesi Tengah, misalnya, kelapa yang jatuh sendiri ke tanah dimiliki oleh siapa saja yang hendak mengambilnya. Kelapa itu dapat juga dijual di pasar, sehingga orang-orang tua tetap mendapatkan uang dan makanan melalui pengumpulan kepala jatuh.
Kedua, dikursus kemiskinan rasial dan etnis. Mungkin istilah kemiskinan (poverty) muncul pertama kali di Indonesia pada awal abad ke 20. Pernyataan kemiskinan dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda kepada para keturunan indo di wilayah perkotaan (bandingkan masa kini di mana Indo merajai sinetron dan persentasi kemiskinan pedesaan diukur lebih tinggi). Posisi rasial Indo yang tidak jelas, representasi yang tidak tegas, akhirnya diikuti oleh ketidakjelasan akses kekuasaan ekonomi. Ketika mereka jatuh miskin, pemerintah Hindia Belanda untuk pertama kalinya memandangnya sebagai masalah kemiskinan.
Bukan berarti tidak ada kemiskinan di kalangan pribumi, namun pribumi dipandang bukan manusia utuh, atau dipandang sebagai manusia kera. Persoalan dengan pribumi (inlander) bukanlah kemiskinan, melainkan upaya penjinakan agar mereka tidak liar (minimal tidak sopan). Bandingkan warisan ini dalam memandang kemiskinan yang agaknya pasti muncul di Papua maupun Badui.
Ketiga, diskursus kemiskinan relasional. Kemiskinan merupakan akibat logis hubungan orang miskin dengan kapitalis. Saat ini pihak-pihak yang mengembangkan community development (CD) sejajar dengan Bank Dunia menghasilkan hierarki masalah, hierarki tujuan, dan ragam pencapaian tujuan, lalu diakhiri upaya mengambil keputusan yang paling murah di antara jalan-jalan itu. Pendeknya CD untuk efisiensi (bukankah salah satu pertanyaan yang trendi ialah: apakah dengan CD maka pembangunan menjadi lebih murah?).
Tapi Barisan Tani Indonesia pernah mencatat pernyataan pada tahun 1950-an, di mana CD dijalankan untuk menggali relasi penindasan lokal. CD melahirkan pernyataan bahwa kemiskinan di desa merupakan hasil relasi penghisapan orang miskin oleh tujuh setan desa. Ini diskursus pembangunan struktural melalui CD.
Keempat, diskursus kemiskinan produksi. Saya kira yang didiskusikan oleh pemerintah, donor dan swasta di Indonesia sepenuhnya berada dalam diskursus ketiga ini. Tentang arkeologi kemiskinan dari Barat ini, banyak sumber sudah mengungkapnya. Diskursus ini muncul bersamaan dengan laju Revolusi Industri. Proletariat yang muncul mula-mula dipandang sebagai masalah kemiskinan, dan hendak diatasi dengan tindakan-tindakan karitatif. Ini cikal bakal community development ala karitatif hingga berpola CSR/corporate social responsibility. Dari masa ini pertama kali muncul pemahamanan untuk memberikan recehan kepada pengemis dan orang miskin. Bantuan karitatif kemudian diorganisasikan, dan setelah Perang Dunia II terutama dilakukan oleh lembaga Bretton Woods (Bank Dunia dan IMF).
Pola bantuan dan program penanggulangan kemiskinan tetap sama, yaitu jangan sampai lapisan terbawah ini jatuh sakit dan meninggal (karena menjadi persoalan tersendiri), namun dibantu sampai pada batas bisa berproduksi, atau tepatnya menunjang sistem produksi industrial (kini batasan itu dijabarkan dalam bentuk garis kemiskinan atau upah minimum buruh).
Teori kemiskinan terbaru Bank Dunia yang digunakan di Indonesia, yaitu CDD/Community-Driven Development menjelaskan "pangsa pasar" program penanggulangan kemiskinan tersebut: khusus untuk keluarga miskin dan keuangan mikro. Setelah lepas dari level itu maka orang miskin keluar dari program-program CDD.
Sebagai perbandingan, Marx akan memandangnya sebagai upaya untuk memperbesar tentara-buruh (labor army) sehingga buruh selalu tersedia dan mudah didesak berupah murah. Lebih jauh, saya menduga "target" kemiskinan yang dipandang ideal ialah mula-mula 16% (mathesis menghasilkan angka dua kali deviasi standard (Sd) statistika). Yang sangat berhasil tentunya kala kemiskinan tinggal 2,5% (ini ruang terkecil dalam kurva normal statistika).
Kelima, diskursus potensi orang miskin. Pernyataan-pernyataan diskursus baru ini muncul terutama pada dekade 1970-an. Kelembagaannya mudah dikenali, karena mengutamakan kelompok dan tindakan-tindakan peningkatan potensi (peningkatan kapasitas). Pembangunan alternatif, people centered development, basic needs approach, dankonsep serupa mempercayai bahwa orang miskin tidak tepat didefinisikan sebagai “orang yang tidak memiliki” (the have not), tetapi paling tepat sebagai “orang yang memiliki potensi”.
Pada pernyataan ekstrim, petani dan orang miskin merupakan pihak yang mengetahui masalah dan peluang jalan keluarnya sendiri. Pihak luar menjadi diperlukan (penyuluh, pendamping), terutama untuk mewujudkan potensi tersebut menjadi kekuatan/kekuasaan nyata. Kalau CDD membatasi upaya pada tataran sampai bisa berproduksi, diskursus potensi orang miskin berupaya mengembangkan potensi mereka setinggi-tingginya, baik dari level individual, kelompok, hingga gabungan kelompok (pada pemikiran peningkatan kapasitas petani, nelayan dan koperasinya), maupun baik lokal, regional, nasional dan internasional (pada kredit mikro). Mudah untuk meletakkan Mubyarto, Sajogyo, Masri Singarimbun, LSM Bina Swadaya, Bina Desa, di sini.
Keenam, diskursus kemiskinan yang diharapkan. Saya menduga diskursus ini masih terdapat di Indonesia, meskipun pernyataan-pernyataannya masih saya gali lebih lanjut. Sebagai perbandingan, di dunia Arab diskursus ini didokumentasikan dalam Mukaddimah (karya Ibnu Khaldun), maupun suatu disertasi tentang tindakan Rabiah Al Adawiah. Orang berlomba memberikan harta bendanya kepada orang miskin, sehingga muncul larangan memberikannya melebihi dua pertiga kepemilikan (bandingkan diskursus kemiskinan produksi yang hanya memberikan recehan). Zuhud atau asketisme juga dipandang sebagai jalan lempang menuju ketinggian derajat manusia dalam aspek rohani dan intelektualitas (bandingkan dengan iklan kebutuhan vitamin untuk meningkatkan neuron di otak). Sayup-sayup di Indonesia terdengar asketisme pertapa untuk meningkatkan ilmu.

Persilangan Diskursus

Agaknya program ke depan yang penting ialah menemukan persentuhan beragam diskursus-diskursus tersebut, di samping mengkritik diskursus yang muncul. Syukur-syukur mampu mencetuskan suatu pernyataan baru yang membuka ruang diskursus baru.
Kemiskinan rasialis, misalnya, mampu menegakkan kolonialisme, dengan memandang pribumi sebagai orang malas (mitos ini muncul pada tahun 1920-an, padahal seabad sebelumnya pribumi dimitoskan garang seiring Perang Diponegoro). Persilangan diskursus ini dengan diskursus kemiskinan produksi menghasilkan pelainan (othering) kepada orang-orang yang dipandang liar. Misalnya berwujud program penanggulangan kemiskinan untuk suku terasing. Program kemiskinan di Papua juga selalu dipandang memiliki kekhususan, tanpa harapan tinggi untuk berhasil menanggulanginya (mungkinkan mengharapkan dari orang liar?).
Persilangan diskursus pembagian kelebihan dan kemiskinan produksi menghasilkan mekanisme pemerataan proyek, meskipun dalam kerangka CDD yang mengharuskan persaingan. Di Salatiga, Ponorogo, Jombang, misalnya, program PPK yang mengharuskan persaingan antar desa disertai dengan upaya lobi di luar ruangan persaingan, saling membantu desa yang belum pernah mendapatkan.
Mengapa Mubyarto, Sajogyo dan Masri Singarimbun berminat mengembangkan Program IDT (Inpres Desa Tertinggal)? Mengapa petinggi Bina Swadaya meyakini Program IDT mengembangkan pendekatan LSM yang selama ini hanya mengurusi segelintir desa, menjadi sekitar 20.000 desa?
Tidak lain karena ada persentuhan diskursus potensi orang miskin dengan diskursus kemiskinan produksi. Ada pengembangan kelompok di sana, walau sesungguhnya sedang bertarung untuk memperlakukan kelompok sebagai pemercepat kemandirian versus kelompok konsumen (consumer group) dari donor. Ada pengembangan potensi di sana, walaupun sejatinya bertarung pengembangan potensi tanpa batas, versus pengembangan potensi terbatas untuk berproduksi.
Pertarungan kekuasaan antar diskursus ini berakhir jelas. Saat ini donor unggul dalam membentuk teori CDD, kelembagaan PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat), KPK (Komite Penanggulangan Kemiskinan), hingga mengganti pendamping LSM menjadi konsultan pendamping dari swasta.