Senin, 02 Juni 2008

Peluang Martir Kalangan Agamawan

Oleh Ivanovich Agusta

Salah satu isu utama di sekitar kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak) ialah terbunuhnya martir. Kenangan akan martir sebagai peletup perubahan rejim menghantui sejak pergantian dari pemerintahan Soekarno kepada Soeharto, dari Soeharto kepada Habibie, dan dari Habibie kepada Abdurrahman Wahid.
Tidak heran kemunculan martir saat ini dipandang berpotensi untuk merubuhkan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Tak heran pula aparat pemerintah menahan mati-matian jatuhnya martir.
Berkaca dari sejarah, martir kerap muncul dari kalangan mahasiswa. Orang biasa boleh meninggal tanpa menggoyang pemerintahan, namun kematian seorang mahasiswa dalam demonstrasi segera membuncah menjadi bola salju yang menuntut kejatuhan rejim.
Kekerasan polisi kepada mahasiswa beberapa pekan silam, misalnya, diramaikan sebagaimana upacara menunggu seorang martir. Suasana dipandang menjadi genting, dan semua pihak bersiap bergerak. Namun toh tidak seorangpun meninggal sebagai martir.
Aparat negara yang berpotensi mengendalikan sekaligus melakukan kekerasan berupaya menahan diri untuk tidak melakukannya. Sayang, tidak diperkirakan munculnya potensi kekerasan dari –memakai istilah Khamami Zada—kelompok Islam radikal. Zada mendeteksi kelompok tersebut antara lain FPI (Front Pembela Islam), Laskar Jihad, Hizbut Tahrir.
Dan kini terjadilah kekerasan oleh FPI kepada kelompok-kelompok keagamaan lain, yang antara lain terdiri atas Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah pada hari Minggu (31 Mei 2008) di bilangan Monumen Nasional.
Akankah muncul martir dari kalangan agamawan?

Belajar PKI dan PDIP

Setelah Barisan Tani Indonesia (BTI) –organisasi onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI)—berhasil merumuskan tujuh setan desa, ternyata salah satunya ialah golongan kiai di pedesaan. Kuntowijoyo mencatat, pada saat itu terlalu sulit bagi warga desa untuk melukai kiai di desanya sendiri, maupun warga desa lain yang menjadi tetangga dan kerabatnya.
Namun dalam suatu massa yang besar, selalu muncul perkecualian. Dan justru tindakan pengecualian tersebut menghasilkan martir. Seorang kiai terbunuh.
Hasilnya ialah tikaman balik yang merajalela bak air bah berdarah sepanjang tahun 1965 dan 1966. Lalu di pedesaan terjadi pembunuhan PKI secara besar-besaran, sebagian akhirnya dilakukan oleh warga desa sendiri.
Bukti sejarah lain akan hadirnya martir di luar kalangan mahasiswa ialah kala kantor yang diduduki simpatisan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan diserbu massa pada pertengahan tahun 1996. Hanya selang beberapa jam kemudian rakyat lapisan bawah ganti membakar Jakarta.
Sebetulnya bentrokan FPI dan NU sudah pernah terjadi beberapa tahun lalu, kala Gus Dur diusir dari suatu seminar. Balasannya ialah pengusiran anggota FPI dan perusakan hartanya, terutama di Jawa Timur.

Memperhitungkan Organisasi Massa

Segera setelah PKI dibekukan, pengembangan pengetahuan sosial perihal organisasi massa terhenti bertahun-tahun. Akibatnya kita gagap menghadapi organisasi massa yang menjamur sejak awal reformasi.
Namun kini mau tidak mau kita perlu memperhitungkan ulang organisasi massa dalam suatu kondisi sosial dan politik yang sangat cair. Organisasi massa masa kini tidak pernah seketat di masa sebelum 1970-an. Pada masa itu organisasi massa sangat tergantung kepada segelintir atau pemimpin tunggal, sehingga Soeharto dengan mudah memberangusnya dalam suatu politik korporatif.
Akan tetapi kini organisasi massa bersifat cair. Pertama, organisasi massa membentuk stelsel yang otonom sehingga jumlahnya meningkat pesat. Yang selama ini dideteksi sebagai teroris menggunakan praktek ini.
Kedua, simpatisan dapat mendukung suatu organisasi massa dalam waktu-waktu tertentu, tanpa perlu menjadi anggota aktif. Suatu mobilisasi, entah berbentuk demonstrasi atau anarki, dapat menggerakkan simpatisan-simpatisan yang memiliki tujuan pribadi tersendiri atau sejajar dengan organisasi massa tersebut. Demonstrasi di antara anggota dan simpatisan organisasi massa yang berbeda (seperti pada AKKBB) mengindikasikan hal ini.
Ketiga, individu dalam organisasi massa menjadi lebih mandiri dalam berpikir dan berkesadaran, sehingga mampu menyempal dari organisasi massa tersebut. Di masa reformasi sempalan kerap menuju titik yang lebih radikal, misalnya pada kemunculan partai sempalan.
Keempat, sementara pemikiran dan tindakan konvensional berkembang di kampus, organisasi massa kian menjadi wadah gerakan sosial baru. Benjamin White telah mendeteksi gerakan kritis dalam organisasi massa. Sebetulnya tidak hanya itu, Zada melihat gerakan ultra kanan pula yang diwadahi media massa.
Sebetulnya untuk meningkatkan keadaban negara-negara modern Norbert Elias telah menyarankan pengucilan tindak kekerasan hanya dalam wadah legitimasi aparat militer dan polisi. Namun sebaliknya, sejak reformasi kita justru memilih membuka keran bagi organisasi massa pengamanan swakarsa.
Maka sejak itu kita pun harus bersiap akan mengucurnya martir dari keran organisasi massa. Tidak terkecuali dari organisasi massa keagamaan.