Kamis, 26 Juni 2008

Metode untuk Angket DPR

Oleh Ivanovich Agusta

Keputusan pemerintah menaikkan harga BBM (bahan bakar minyak) ada baiknya dimaknai pula sebagai kelemahan –bahkan ketiadaan—argumen akademis untuk menolaknya. Malah akademisi yang ditugaskan dalam lembaga pemerintah ataupun berdiri di luarnya masih menyorongkan dukungan teori berikut data guna mengolah skema kenaikan harga. Peluru-peluru ini akhirnya menguatkan pemerintah untuk menyatakan ketiadaan argumen yang kuat sebagai alternatif di luar kenaikan harga BBM.

Pelajaran pahit yang harus ditarik, ialah kelemahan argumen ilmu-ilmu konvensional untuk menelisik kebijakan publik yang absurd. Contohnya, ilmu konvensional membentur tembok baja dan gagal menjelaskan bagaimana pengalihan subsidi BBM tetap tidak akan mengubah orang miskin menjadi kaya.

Sebaliknya, ilmu konvensional tidak pernah menyelami tingkat kesenjangan sosial yang relatif tetap sejak 1970-an, di tengah terpaan angin pelipatan harga berulang kali. Artinya tetap bercokol sejumlah orang kaya yang kalis dari pengaruh kenaikan harga –persentasenya tetap, berarti jumlah absolutnya meningkat.

Bahkan ilmu-ilmu konvensional tidak menjelaskan absurditas kenaikan harga minyak yang bersifat hiper-realitas. Harga tidak lahir sebagai refleksi kondisi riil jumlah minyak di lapangan, karena jelas kuantitas minyak tidak serta merta menyusut dalam hitungan jam mengikuti laju harga –sebagaimana ilmu ekonomi diajarkan di sekolah dan dipraktekkan pemerintah.

Faktanya, harga minyak menjelma sebagai fungsi imajinasi kelangkaan sumberdaya dan imajinasi ketiadaan sumber alternatif. Fakta pasar modal lainnya ialah, keputusan selalu diambil untuk menjelaskan waktu mendatang, bukan atas realitas hari ini –inilah fakta penting kuatnya imajinasi dalam harga minyak!

Kalau sumber kebijakan absurd berasal dari imajinasi, mengapa lalu ilmu konvensional menghitungnya sebagai suatu realitas empiris? Jelas ilmu berbasis realitas empiris selalu salah kala menjelaskan realitas imajiner.

Yang lebih tepat diuji sebetulnya ialah, mengapa pemerintah tidak kuasa mengendalikan imajinasi harga minyak agar tetap rendah dalam pasar di atas–malah pemerintah tidak memiliki sejumput kekuatan untuk memasuki pasar imajiner itu.

Maka menjadi terang bahwa imajinasi ekonomi minyak berkaitan dengan suatu kekuasaan. Fakta bahwa tidak memilik kekuasaan mengendalikan imajinasi ekonomi minyak sudah menjelaskan bahwa pemerintah lemah.

Posmodernisme Minyak

Bersandar pada kesadaran bahwa absurditas kebijakan kenaikan harga BBM memasuki arena posmodernisme atau hiper-realitas, konsekuensinya metode angket oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) sebaiknya berada dalam atau mengikutsertakan metode-metode posmodernisme. Mempraktekkan metode konvensional (semata) hanya akan mengembalikan buntut hak angket kepada pemerintah kembali.

Pertama-tama, pintu pikiran perlu dibuka selebar-lebarnya untuk memaknai hak angket sebagai hak rakyat meneliti keseluruhan aspek kebijakan pemerintah yang telah dinilai absurd. Janganlah ekonomisasi kata menyempitkan angket semata-mata sebagai salah satu metode survai, yang kebetulan tergolong kasar dalam hal hasil dibandingkan metode survai lainnya.

Menyipitkan mata dengan metode konvensional semata berpotensi meruntuhkan jumlah angket DPR dibandingkan survai BPS (Badan Pusat Statistik) terhadap hampir seratus ribu rumahtangga di seluruh kabupaten Indonesia.

Persoalan pemerintah sebetulnya berpokok pada praktek definisi kebijakan secara ekonomis. Kebijakan adalah suatu keputusan yang diambil berdasarkan fungsi dari, pertama, sumberdaya terbatas. Kedua, alternatif pemecahan biaya paling minimal.

Paradigma ini membutuhkan hierarki tujuan tindakan –makin banyak hierarki tujuan makin mengefisienkan keputusan. Artinya, semakin pragmatis terhadap harga pasar minyak yang tidak kuasa dikotak-katik itu, maka keputusan pemerintah semakin tepat.

Tidak pernah disadari bahwa dalam konteks kehidupan berbangsa, pencomotan paradigma ekonomis kebijakan mengasumsikan ketiadaan weltanschauung.

Sikap bangsa Indonesia sebagaimana terekam dalam Pembukaan UUD 1945 menunjukkan ketiadaan hierarki tujuan atau ketiadaan pragmatisme –tujuan berbangsa untuk mewujudkan kesejahteraan umum sebagai harga mati otomatis dipandang tidak efisien. Tujuan tunggal menunjukkan ketiadaan tempat hierarkis bagi alternatif lain –baik kapitalisme maupun neo-liberalisme.

Persoalan lainnya dari metode kebijakan pemerintah –sudah dinyatakan di atas—ialah “kesalahan kategoris” menggunakan analisis empiris atas fakta hiper-realitas. Ini terekam dalam argumen kelangkaan BBM dunia.

Untuk perihal weltanschauung dan posmodernisme minyak, angket DPT bisa berwujud mengkompilasi argumen pakar analisis diskursus. Metode diskursus jangan hanya ditembakkan kepada hiper-realitas harga minyak dan absurditas kebijakan pemerintah, namun satu paket dengan kajian ideologi berbangsa serta analisis kritis atas penghitungan dan data-data kuantitatif pijakan pemerintah! Analisis diskursus serumit ini sudah biasa dilakukan ilmuwan terkemuka kita.

Rakyat Bicara

Adapun untuk argumen kenaikan harga BBM sebagai “alternatif pemecahan biaya paling minimal”, angket DPR sebaiknya mengkompilasi keseluruhan suara rakyat yang terpengaruh kebijakan ini. Kompilasi mencakup jumlah rakyat yang terpengaruh (jumlah pelapor atau yang digali suaranya), dan kompilasi dampak kenaikan harga BBM.

Data yang terkumpul kemudian disusun secara hierarkis. Pertama, dari posisi elite sampai jelata, untuk menguji argumen “kenaikan harga BBM dirasakan seluruh lapisan masyarakat”.
Kedua, hierarki dampak kenaikan harga BBM untuk menguji pernyataan bahwa dampaknya kecil, sebagaimana dinyatakan sebagai “kurang dari dana BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang dibagikan”.