Jumat, 04 Juli 2008

Penerima Penghargaan Cendekiawan Berkomitmen “Kompas” 2008: Genre Sajogyo dan Kemiskinan (Genre of Sajogyo and Poverty in Indonesia)

Oleh Ivanovich Agusta

Kemiskinan kiranya masih menjadi atmosfer dunia kehidupan kita. Berpihak kepada kaum miskin, halaman pertama Kompas kian sering dihiasi kisah nelangsa kemiskinan multidimensional. Sejak balita yang kelaparan hingga nenek tua yang tidak disantuni negara.

Dirunut balik, debat perihal posisi pemihakan kepada kaum miskin kembali memanas setelah pemerintah menaikkan harga BBM, sekaligus menghilangkan akses dan subsidi terhadap minyak tanah.

Lebih jauh lagi, telah terbongkar pula skandal penggunaan data kemiskinan dan penghitungan lama dari Badan Pusat Statistik untuk mendukung pidato Presiden 16 Agustus 2006. Sebelum itu posisi intelektual dalam iklan pendukung kenaikan berlipat ganda harga Bahan Bakar Minyak (BBM) muncul menjelang akhir 2005. Sebenarnya sejak 1990-an pun telah terbentang tarik ulur pencarian posisi di tengah prasyarat isu kemiskinan sebagai pembalut utang luar negeri.

Sayang kerap luput dari pengamatan –padahal sangat penting—sejatinya sejak awal 1970-an konstruksi kemiskinan mulai tumbuh dengan subur dalam tesis ilmuwan sosial Indonesia tersohor. Secara khas perumusan ide mereka bersumber dari fenomena rakyat kita sendiri. Pada ranah praktis, jejak mereka terekam dalam implementasi program pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat guna menanggulangi kemiskinan.

Komunitas Epistemis Kemiskinan

Di awal 1970-an demografer Masri Singarimbun beserta ekonom DH Penny mendalami kasus kemiskinan di Yogyakarta, lalu berujung pada kebutuhan program Keluarga Berencana. Sosiolog Sajogyo mengkaji gizi di Jawa Barat sembari mencomot survai pertanian se-Jawa, akhirnya mengolah survai sosial dan ekonomi nasional. Hasilnya terentang dari Taman Gizi hingga garis kemiskinan nasional berbasis ukuran beras. Ekonom Mubyarto mengabstraksikan tesis-tesis tersebut menjadi Ekonomi Pancasila, yang kini menjadi sandaran proposal Ekonomi Kerakyatan.

Pada dasawarsa berikutnya karya pentolan ilmu sosial di atas berkulminasi pada penerbitan laporan dan buku bertopik kemiskinan struktural Indonesia. Tapi kita tahu diskursus kemiskinan menjadi tabu ke muka Presiden, sehingga secara formal ditutup kala itu juga.

Ironisnya, Presiden pula yang membuka kembali isu kemiskinan secara formal dalam Inpres Desa Tertinggal pada tahun 1993 –yang jelas didesakkan oleh narasi besar donor internasional. Kini, di sela-sela wacana kemiskinan yang ternyata kian memadat, menjadi krusial untuk membaca ulang atas ide komunitas pentolan ilmuwan di atas.

Pertama, ide kelompok ilmuwan ini orisinal sehingga membuka celah pembahasan dan penanggulangan kemiskinan secara khas bagi rakyat Indonesia. Kedua, sekalipun konteks sosial pembacaan masa kini lebih terbuka, pencarian dasar relevansi bagi rekonstruksi ide mereka sungguh mudah. Ide tersebut melekat pada pemahamanan sifat struktural kemiskinan di Indonesia. Refleksi ide mereka bersejajar secara kontemporer dalam teks-teks Muhammad Yunus, Amartya Sen, Robert Chambers, dan lain-lain.

Meski beranjak dari keilmuan yang berbeda, komunitas epistemis di atas bersama-sama memijak paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia (people-centered development). Kacamata ini memandang kemunculan kemiskinan terjadi lantaran kelompok masyarakat tersusun secara hierarkis. Serentak dengan itu, penganut paradigma ini menjaga argumen tumbuhnya solidaritas antar lapisan. Jalan inilah yang menumbuhkan asa kerjasama seluruh pihak di dalam bangsa ini.

Lokus ini juga memperlancar operasionalisasi makna mutakhir kekuasaan sebagai penjaga gawang solidaritas sosial. Konsekuensinya, praksis pemberdayaan yang kian marak saat ini diarahkan kepada pengejawantahan potensi atau kemandirian kelompok dan warga masyarakat. Kapasitas pendukung lainnya berupa pengembangan jaringan antar kelompok tersebut. Maka tidaklah mengherankan kelompok epistemis ini senantiasa mengedepankan metode partisipatif dan pendampingan sebagai solusi kemiskinan Indonesia sejak 1990-an.

Mungkin karena Sajogyo –yang lahir 21 Mei 1926—telah berkiprah di atas panggung intelektual nasional sejak awal 1960-an, genre teks-teksnya kerap menjadi suluh warga komunitas ini. Tak syak lagi, perkembangan komunitas epistemis ini turut menyebarkan genre Sajogyo ke tengah arena pembangunan dan kemiskinan.

Teks-teks penting Sajogyo muncul sebagai buah disertasinya (1958) tentang transmigrasi spontan di Lampung, makalah Modernization without Development (1972), buku laporan perihal Usaha Peningkatan Gizi Keluarga (1973), hingga artikel ringkas Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan (1977).

Etika Perumusan Masalah

Sebaiknya menelisik pemikiran Sajogyo dari pintu aksiologis, lantaran olah intelektualnya berbalut etika. Menimba ilmu segera setelah Indonesia merdeka, ia mengorientasikan ilmu pengetahuan bagi lapisan bawah. Etika solidaritas sebangsa kiranya juga tersarikan dari pergaulan ilmuwan sejak revolusi Indonesia.

Etika ini menyusupi genre Sajogyo saat merumuskan permasalahan etis pembangunan. Ia mengawali sejarah pembangunan dari modernisasi pertanian yang berpangkal dari dua pola usahatani. Yaitu usahatani sawah di Jawa, dan perkebunan di luar Jawa. Selama masa Orde Baru (1969-1997) modernisasi pertanian berlenggang di atas konteks industrialisasi.

Dalam konstelasi industrialisasi yang reduksionistis, usahatani padi memainkan peran penyedia beras murah. Tingkat harga rendah dimaknai sebagai peluang konsumen –yang dipercayai lebih banyak buruh industri dan sektor informal—untuk membelinya sekalipun penghasilan mereka dipatok rendah pula.

Sayang tenaga kerja yang diserap industri tergolong rendah, dan banyak warga negara berusaha di sektor informal. Baik industri dalam negeri maupun pindahan dari luar negeri dilaporkan hanya memberikan gaji yang terlalu rendah bagi kehidupan buruh.

Sebagai evaluasi, lahir pertanyaan utama Sajogyo. Sejauhmana petani dan lapisan bawah lain memperoleh manfaat pembangunan? Pertanyaan lanjutan baginya ialah, sejauhmana mereka dapat melepaskan diri dari kemiskinan struktural?

Sajogyo sempat mengusulkan untuk menguatkan sosok struktur ekonomi melalui telaah pola nafkah. Mengutip antropolog Ben White, lapisan atas melakukan strategi akumulasi (dari surplus pertanian mampu membesarkan usaha di luar pertanian, dan sebaliknya), lapisan tengah berkonsolidasi (bertahan), sementara lapisan bawah mengutamakan selamat (jika tidak waspada dapat muncul kegawatan rumahtangga). Terlihat bahwa perbedaan lapisan menghasilkan respons yang berlainan terhadap industrialisasi. Ini terekam dalam pemanfaatan peluang usaha dan kerja pada buruh industri dan sektor informal, maupun pemaknaan atas lahan pada petani.

Ketimpangan struktur ekonomi di atas mendapatkan dukungan dari struktur politik. Birokrasi dari atas makin mendominasi peranan kepala desa, sembari melemahkan posisi mereka. Dalam struktur diskursus, ternyata aparat pemerintah masih mendominasi lapisan bawah melalui arus penyuluhan, pendidikan serta penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pada titik ini Sajogyo mengusulkan pertanyaan etis, sampaimana pembangunan dapat mengatasi kemiskinan struktural. Menurutnya modernisasi seharusnya mencakup cita-cita pembangunan, berupa demokratisasi di mana kesenjangan antar warga negara menurun. Selain itu, perbaikan kehidupan warga negara diupayakan sejauh mungkin atas dasar swadaya. Sajogyo menutup etika pembangunan dalam teks: tanpa peningkatan kehidupan lapisan bawah, maka modernisasi tidak menghasilkan pembangunan yang bermakna.

Genre “Sampaimana”

Berpanggung dalam etika pembangunan –yang dibedakannya dari panggung modernisasi—produksi teks Sajogyo hakekatnya adalah rajutan jawaban atas fokus pertanyaan “sampaimana”. Frase pertanyaan “sampaimana” mengedepankan jenis ilmu pengetahuan yang bersifat praksis. Artinya proposisi-proposisi dibangun tertuju kepada tujuan penggunaan teks hasil penelitian.

Dalam khasanah sosiologi klasik aspek tujuan mewujud pada teks evolutif atau historis. Pengaruh ini tidak terelakkan dalam genre Sajogyo.

Namun Sajogyo telah melangkah lebih panjang, dengan menggali posisi responden sejauh rentang garis historisnya. Teks dimanfaatkannya pula sebagai wahana evaluasi perubahan responden hingga saat penelitian berlangsung.

Tidak mengherankan produksi teks Sajogyo bersifat post-factum (after the fact) dalam rangka mengevaluasi posisi historis, tetapi sekaligus menyajikan rekomendasi (preskriptif). Nah, aksiologi kegunaan (untuk apa hasil penelitian ini) tidak diterakan dalam teks prediksi masa depan yang netral, melainkan langsung untuk mengelola tujuan. Sajogyo meletakkan sifat teleologis teks guna memihak kepada lapisan bawah. Retorika yang ia bangun bukan sekedar “tujuan apa?”, namun juga “dengan cara apa (bagaimana) tujuan dicapai, oleh siapa, dan untuk siapa hasil akhir itu?”.

Sajogyo memandang penting kajian pembangunan sebagai suatu proses sosial yang terus menerus dan runtut. Secara metodologis ia memandu melalui pertanyaan, “Sampaimana metode kajian dinilai bermanfaat untuk mengembangkan program sekaligus mendukung pemberdayaan masyarakat?”.

Pemihakan kepada lapisan bawah sudah saatnya ditunjukkan kala merumuskan kategorisasi lapangan untuk keperluan pengolahan dan analisis data. Sajogyo mengusulkan panduan pertanyaan, “Sampaimana masyarakat adat atau lapisan bawah terdaftar, dilaporkan, dan dipantau? Sampaimana tipologi konseptual yang tersusun mampu menjadi alat penilai kemajuan dan perluasan partisipasi lapisan bawah?”.

Akhirnya genre “sampai mana” menuju puncaknya, saat Sajogyo mengajak pengkaji pembangunan untuk merefleksikan narasi yang dibangun melalui laporan penelitian maupun ujaran pidato kenegaraan. Ia mengusulkan pertanyaan preskriptif yang perlu dijawab, yaitu “Sampaimana kegiatan lapisan atas melibatkan lapisan bawah? Terhadap kalangan bawah, sampaimana gotong royong dilakukan untuk mengelola bantuan dari luar, dan sampaimana program berlanjut atas dasar kemampuan usaha golongan miskin sendiri maupun kerjasama dengan kelompok yang lebih mampu?”.

Relevansi Baru

Dapat disimpulkan bahwa genre “sampaimana” (tujuan tercapai) yang diciptakan Sajogyo kental oleh dimensi aksiologis pemihakan bagi si lemah. Sikap yang diambil ialah mengembangkan keswadayaan sebagai pengikat kemandirian, kemerdekaan, pemberdayaan, dan penguatan lapisan bawah. Serentak dengan itu dikembangkan demokratisasi, dalam rupa kerjasama antar pihak serta solidaritas golongan atas kepada golongan lemah. Kedua sisi harus disebut bersamaan agar teks merekam evaluasi tujuan akhir suatu pembangunan bagi warga terlemah.

Yang menarik, dengan mengangkangi dua fondasi, yaitu post factum (deskriptif dan historis) serta preskriptif (rekomendasi hasil penelitian), genre Sajogyo sejak awal sudah terhindar dari persoalan metodologis kontemporer ilmuwan sosial Indonesia: pengetahuan siapakah yang tercantum dalam teks?

Dalam genre Sajogyo, posisi peneliti, pembawa program, pendamping, guru, penyuluh dan lain-lainnya berkedudukan setara terhadap masyarakat. Yaitu sebagai orang luar yang berminat berinteraksi dengan masyarakat (orang dalam). Genre “sampaimana” mengarahkan metodologi kepada aksi kerjasama, tepatnya bertindak dan belajar bersama warga.